SONGKABALA, TRADISI PENOLAK BALA SUKU MAKASSAR

 

Hampir sebagian besar di nusantara memiliki tradisi menolak bala (bencana). Di tanah Makassar tradisi ini masih terjaga dan umum dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat seperti di daerah Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Di daerah ini, tradisi menolak bala disebut songkabala. Tradisi ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan umunya dilaksanakan oleh masyarakat pada saat akan terjadi sebuah bencana seperti banjir, gempa bumi, gerhana bulan, angin ribut, menyebarnya wabah penyakit dan lain sebagainya. Disadur dari karya ilmiah Risnawati dalam wawancaranya dengan tokoh adat bernama bapak H. Abd Latif Daeng Gassing dijelaskan bahwa songkabala juga dilakukan pada bulan-bulan Islam yang telah disepakati masyarakat. Yaitu pada bulan Muharram, bulan Sya’ban, dan bulan Rajab.

Songkabala yang dilakukan pada bulan Muharram yang disebut sebagai Jepe Syura atau Bubur Syura. Latar belakang penamaan syura tentu sangat identik dengan istilah asyura atau peristiwa 10 muharram. Ada banyak peristiwa yang terkait dengan ini termasuk jika kita meilhat tradisi bubur syura di tempat lain seperti di tradisi suku jawa. Mengutip laman NU, suku jawa juga mengenal pembuatan bubur di bulan muharram. Bubur yang dibuat berupa bubur abang dan bubur putih dan dibagikan serta disajikan pada hari asyura yang tidak lain untuk merawat ingatan beberapa peristiwa sejarah. Bubur putih bermakna rasa syukur akan panjangnya umur hingga mendapatkan tahun baru kembali, semoga kehidupan tambah makmur. Seperti juga rasa syukunya Nabi Nuh AS setelah berlayar dari banjir bandang, dan syukurnya Nabi Musa AS setelah mengalahkan Firaun. Disamping itu Bubur Putih merupakan lambang kebenaran dan kesucian hati yang selalu menang dalam catatan sejarah yang panjang. Meskipun kemenangan itu tidak selamanya identik dengan kekuasaan, seperti syahidnya cucunda Nabi Muhammad SAW yaitu Al Husain sebagai kelompok putihan yang ditumpas oleh Yazid bin Muawiyyah sang penguasa tiran pada saat itu.

Kembali ke pelaksanaan songkabala biasa dilakukan di masjid ataupun di rumah. Pada prosesnya hal yang perlu dipersiapkan adalah bubur bisa sepiring atau lebih, pisang raja atau pisang susu tiga sisir yang sudah di dibuang ujungnya (sunat) kemudian disimpan dalam wadah yang disebut kappara. Kemudian telur  dadar sesuai  diletakkan di atas bubur, gula merah yang sudah dicairkan satu piring, lilin satu atau dua diletakkan di dalam mangkok yang telah diisi beras sebagai penahan. Ada juga korek api yang digunakan untuk membakar lilin, uang (Batu Pangnganjai),  daun sirih yang sudah dilipat-lipat, padi yang sudah goreng  (Bente)  disimpan  pada wadah kecil seperti mangkok. Dan kemudian membawanya ke masjid pada sore hari  menjelang malam sebelum shalat maghrib. Setelah shalat maghrib, Jepe Syura tersebut langsung dibacakan doa-doa dan setelah itu dilakukan makan bersama. Tujuan dari Jepe Syura seperti yang dikemukakan oleh seorang Tupanrita atau yang bermakna cendikiawan dalam bahasa Makassar mengatakan Jepe Syura sebagai ritual untuk menghilangkan hal-hal yang tidak baik pada bulan Muharram dan sebagai pembuka bulan dalam Islam serta ia juga mengatakan bahwa bulan Muharram adalah tahun baru Islam yang harus dilakukan ritual penyambutan untuk menolak malapetaka dengan memanjatkan doa-doa keselamatan.

Selanjutnya ada beberapa ritual yang berbeda dilakukan pada bulan Syaban untuk menolak bala, seperti ritual yang disebut dengan Mata Syaban. Kegiatan ini diawali dengan mempersiapkan  sesajian atau  makanan  berupa Kado Massingkulu terbuat dari daun bambu yang diisi dengan beras (nasi) yang berbentuk seperti segitiga sama sisi. Massingkulu artinya menyiku. Kaddo Massingkulu berfungsi untuk menyikut segala bencana atau  bala  yang akan  terjadi dan menahan untuk tidak terjadinya bencana yang datang dari segala arah. Kemudian Lappa-Lappa atau dalam bahasa Makassar berarti melipat lipat yang merupakan makanan terbuat dari daun kelapa muda yang dilipat-lipat dibentuk sedemikian rupa menyerupai persegi panjang, diisi dengan beras ketan putih atau beras ketan hitam lalu dililit dengan menggunakan tali rapia yang kuat supaya beras yang dimasukkan tadi menyatu dengan daun kelapanya.  Fungsi dari lappa-lappa menurut masyarakat yaitu  untuk melipat-lipat segala bencana yang akan terjadi dan akan menghadang bala bencana tersebut dari depan dan menjauhkannya, dan  sebagainya. 

Tidak  berbeda jauh dengan makanan yang dipersiapkan untuk ritual di bulan Muharram,  untuk bulan Sya’ban tetap dipersiapkan bubur dan telur dadar goreng dan pisang seperti pisang raja dan lain sebagainya, yang disiapkan dalam satu wadah atau tempat yang disebut oleh masyarakat sebagai Kappara yang ditutup dengan Pattongko Kaddo atau wadah penutup yang berbentuk bulat. Dalam  wadah inilah  bubur  dan telur dadar serta pisang tersebut disimpan kemudian dibawa ke masjid pada waktu sebelum shalat maghrib. Di masjidlah makanan-makanan tersebut dikumpulkan, kemudian setelah shalat maghrib dilaksanakan, maka dilakukan pembacaan doa untuk meminta  keselamatan  kepada  yang  maha  kuasa dan menjauhkan segala bencana yang akan terjadi di bulan tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan  melakukan  makan  bersama oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para penduduk yang hadir kemudian dilanjutkan dengan shalat isya. Setelah shalat maka dilanjutkan dengan zikir dan meminta doa untuk keselamatan dan hal ini dilakukan sampai masuk waktu subuh. Syarat dari doa tersebut jika ingin dikabulkan menurut kepercayaan masyarakat sekitar agar menahan kantuk dan jangan tertidur sampai waktu menjelang waktu subuh.

Pada bulan Rajab juga dilakukan ritual ini disebut Miraja. Tentu sejarah penyebutan ini tidak terlepas dari kepercayaan bahwa di bulan  Rajab terjadi peristiwa Isra Mikraj atau peristiwa perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW untuk menerima perintah shalat. Pelaksanaan Songkabala pada bulan ini hanya dilakukan dengan mengirirmkan doa-doa keselamatan yang biasanya dilakukan di Masjid pada waktu terbenamnya matahari atau setelah shalat maghrib dilaksanakan. Adapun pelaksanaan Songkabala di luar bulan Muharram, bulan Sya’ban, dan  bulan  Rajab hanya dilakukan pada saat-saat akan terjadinya bencana atau bala. Untuk waktu pelaksanaan songkabala sendiri sangat bergantung dari informasi passuroang atau orang yang mendapat perintah. Dan passuroang mendapatkan perintah untuk melaksanakan songkabala lewat mimpi dan adanya bisikan dari Karaeng Patanna Parasangang atau Raja yang menguasai tempat itu. Segera setelah mendapatkan lewat mimpi, maka passuroang menyampaikan kepada pemuka adat untuk segera melaksanakan ritual songkabala ini.

Khusus Songkabala untuk menghilangkan penyakit, biasanya yang digunakan adalah pisang dengan perlakuan tertentu sesuai dengan adat serta kepercayaan masyarakat setempat. Untuk pisang diperlakukan seperti pemotongan semua ujung pisang sambil dicuci atau menurut masyarakat disebut Nisunnaki Untiya yang berarti pisang yang disunat. Maksudnya  yaitu  untuk membersihkan atau membuang kotoran yang terdapat pada pisang. Setelah Tupanritaya membacakan doa-doa pada makanan Songkabala tersebut maka selanjutnya masing-masing satu jenis makanan digabung, diikat menjadi satu kemudian ada yang digantung di tempat tertentu yang memiliki maksud tertentu, seperti diatas pintu dan ada juga yang digantung diatas tiang tengah rumah (Benteng Tangngaya).

Makassar, 19 Februari 2021



Comments