PARUNTU KANA DAN BOTO-BOTOENG DALAM BUDAYA LISAN SUKU MAKASSAR


Sastra lisan merupakan jenis sastra yang tersimpan dalam bentuk hafalan dan tutur secara turun temurun. Beberapa jenis sastra lisan berikut ini yang masih tercatat dalam budaya masyarakat Makassar, yaitu:

Kelong : Nyanyian
Paruntu Kana : Peribahasa
Parumama : Dongeng
Boto-Botoeng : Teka-Teki
Pangngissengang : Ungkapan Bertuah

Pada edisi tulisan sebelumnya, kita telah membahas sastra lisan kategori Kelong yang terdiri dari Kelong Biasa, Kelong Pappasang, dan Kelong Pangngisengang. Pada artikel kali ini kita akan membahasa contoh dari Paruntu Kana yang berarti Peribahasa dan Boto-Botoeng yang berarti Teki-Teki. Saya awali terlebih dahulu contoh dari Paruntu Kana yang berarti Peribahasa.

Kammai golla na kaluku/ Bagaikan gula dan kelapa/ Pasangan yang serasi

Rapanga golla na kurampeko kaluku/ berikan aku gula dan akan kuberikan kelapa/ Jangan ada dusta diantara kita

Pangkulu naboya na jarung tappela/ Kapak yang dicari tetapi jarum yang hilang/ Lebih besar pengeluaran daripada pemasukan

Kammai pak na palu-palu/ Bagaikan pahat dan palu-pau/ Pasangan yang serasi

Kammai pangkulu addundu nassala kalenna/ Bagaikan kapak yang terlepas dari gagangnya/ Penyesalan selalu datang di akhir perbuatan

Kammai jangang-jangang mate anrong/ Bagaikan burung yang mati induknya/ Anak-anak yatim piatu yang tidak dipedulikan

I lompo boyo/ Labu yang besar/ Besar badan namun tidak bertenaga

Selanjutnya adalah contoh dari Boto-Botoeng atau yang berarti Teka-Teki dalam sastra lisan kebudyaan Makassar baik yang berdialek Lakiung, maupun yang berdialek Turatea dan Bantaeng, berikut contohnya:

Apa nuboya accidongi kuntu mange lompo simboleng/ Apa yang kau perbuat sambil duduk wahai si besar konde
Maka jawabannya adalah Pandang/ Nenas

Iyannobo ia renrengi parruna/ Dia yang menikam tetapi dia yang keluar ususnya
Maka jawabannya adalah Jarung/ Jarum

Balla-balla angngondang jarang/ Rumah yang memburu kuda
Maka jawabannya adalah Bendi/ Dokar

Paklungang rate kayu/ Bantal di atas pohon
Maka jawabannya adalah Rappocidu/ Nangka

Garabba attula kaloro/ Tangkai bambu yang berjalan di sungai
Maka jawabannya adalah Kalengkere/ Belut

Assiana tassi lompo-lompo/ Bersaudara tetapi berbeda ukuran
Maka jawabannya adalah Unti/ Pisang

Baju eja lalang koko/ Baju merah dalam kebun
Maka jawabannya adalah Lada/Lombok

Nia bungunna karaenga tana buntulu kala/ Sumur yang tidak dapat ditemukan oleh burung gagak
Maka jawabannya adalah Ere kaluku/ Air kelapa

Nia lipakna karaenga nisassa natabasa/ Sarung yang tidak basah meskipun dicuci
Maka jawabannya adalah Raung pacco/ Daun pisang

Apa nubayu kuntu mange leklese/ Apa yang sedang kau lakukan wahai yang sering beringus
Maka jawabannya adalah Tongka cekla/ Bambu tempat garam

Manaki rolo nampa tianang/ Melahirkan dahulu baru hamil
Maka jawabannya adalah Pare tanang/ Padi

Jangang buleng lalang leang/ Ayam putih dalam goa
Maka jawabannya adalah Urusu/ Ingus

Sebenarnya masih banyak contoh dari Paruntu Kana dan Boto-Botoeng dalam berbagai dialek baik itu Lakiung, Turatea, Bantaeng, Konjo, hingga Silayara. Tetapi di artikel ini saya hanya menampilkan sebagian. Adalah hal yang menjadi tanggung jawab kita semua untuk melestarikan budaya ini. Selama ini yang banyak kita dengar adalah budaya sastra terutama sastra lisan seperti peribahasa dan teki-teki adalah budaya masyarakat melayu yang banyak diadopsi menjadi budaya bangsa Indonesia. Tetapi pada faktanya bahwa dalam kebudayaan masyarakat Makassar juga memiliki banyak budaya lisan termasuk peribahasa dan teki-teki. Budaya ini harus dipelajari dan dilestarikan untuk anak dan cucu kita sehingga mereka bangga dengan identitasnya sebagai suku Makassar dan tentu akan berdampak pada pelestarian kebudayaan itu sendiri.

Panasakkang Maros, 09 Juli 2020


Comments