Saya
sebenarnya sudah sejak lama tidak sependapat dengan proyek reklamasi makassar
baik itu proyek CPI maupun MNP. Bukan karena saya anti dengan pembangunan suatu
kawasan, tetapi saya anti pada penindasan atas nama pembangunan. Mari kita
kilas balik sejarah reklamasi makassar ini. Dalam sejarahnya, proyek reklamasi pertama
digagas oleh pemerintah Kota Makassar dengan menerbitkan Perda RTRW Nomor 4 tahun 2015. Didalam
perda tersebut dijelaskan alokasi ruang reklamasi untuk
proyek CPI seluas 157,25 Ha dan rencana reklamasi untuk proyek lainnya seluas 4.000 Ha. Pemerintah dalam hal ini
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan akhirnya
bekerja sama dengan pihak pengembang untuk mereklamasi pesisir
Makassar guna kepentingan bisnis properti. Saya garis bawahi bahwa proyek
ini dilakukan guna untuk kepentingan bisnis dan bukan untuk kepentingan
kelestarian lingkungan.
Proyek
reklamasi ini pun mendapat penolakan yang keras dari masyarakat termasuk menolak
adendum AMDAL CPI yang dibuat oleh PT
Yasmin. Namun sayang penolakan ini tidak mendapatkan respon positif dari
Pemerintah dan berbuntut pada gugatan WALHI Sulsel dan masyarakat terhadap proyek CPI. Bahkan di tengah penolakan keras
masyarakat Galesong Kabupaten Takalar yang tempatnya menjadi objek pengerukan
pasir, proyek ini tetap dilakukan. Pengerukan pasir pun dilakukan oleh PT.
Yasmin dan PT. Ciputra dengan menggandeng PT. Boskalis untuk mengeruk pasir di
wilayah Galesong. Penolakan masyarakat ini ternyata tidak mampu menyadarkan
pemerintah agar segera menghentikan kegiatan tambang pasir laut
yang dilakukan oleh PT. Boskalis dan perusahaan penambang lainnya di perairan Galesong. Laut terus ditimbun
tanpa melihat kerusakan lingkungan yang mulai
dialami masyarakat. Bahkan di daerah lain yang seperti sekitaran
Kepualuan Sangkarrang Kota Makassar yang pasirnya juga dikeruk untuk
kepentingan reklamasi, pihak nelayan dikriminalisasi. Padahal menurut Pasal 66
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) disebut bahwa setiap orang yang memperjuangkan
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara
pidana maupun digugat secara perdata. Pasal ini seharusnya melindungi para
nelayan terhadap upaya pembungkaman aksi protes di Kepulauan Sangkarrang.
Kemudian
untuk menggiring opini publik, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan membangun mesjid
di CPI yang kini dikenal
dengan nama Masjid 99 Kubah. Hal tersebut dilakukan agar gejolak masyarakat
dapat diredam. Hal ini mengingatkan saya pada strategi para kaum borjuis di
masa kegelapan Eropa yang menggandeng isu agama untuk memuluskan langkahnya. Inilah
yang dikritik oleh Karl Marx terhadap mereka yang menggunakan agama untuk
kepentingannya dengan sebutan “agama adalah candu”. Dan untunglah usaha
tersebut tidak berhasil. Dan bahkan masyarakat pesisir dan nelayan Galesong
terus berteriak meminta penghentian tambang pasir laut dan reklamasi. Dari
riset yang dilakukan WALHI Sulsel, penambangan pasir laut yang dilakukan PT
Boskalis untuk proyek CPI telah mengakibatkan 250 orang nelayan beralih profesi
menjadi pekerja informal seperti
tukang batu dan pemulung. Selain itu, pendapatan 6.474 orang nelayan menurun hingga 80%. Kemudian, dampak
lainnya adalah abrasi pantai. Hampir di seluruh desa terjadi abrasi sepanjang 10 hingga 20 meter. Akibatnya 20
rumah hancur berat dan 2 pemakaman
umum juga rusak parah.
Dampak
lain dari proyek reklamasi ini tentu tangkapan nelayan yang berkurang. Seperti di
daerah Gelesong, beberapa nelayan sangat mengalami kerugian dari aktivitas pengerukan
pasir ini. Salah satu daerah yang terkena dampak paling parah adalah wilayah
desa Tamasaju. Dikutip dari data WALHI Sulsel ada 4.500 warga yang berprofesi
sebagai nelayan dan sekitar 3.150 yang terkena dampak. Apakah ada solusi dari
pemerintah untuk mereka yang terkena dampak. Ini belum termasuk daerah lain seperti
di Boddia, Galesong Baru, dan beberapa daerah lainnya. Proyek ini juga ternyata
menghancurkan kearifan lokal nelayan setempat. Para nelayan memberi nama setiap
daerah tangkapan mereka. Ada Pannangbungia, Bone Lure, Coppong Caddi, dan
lainnya. Di tiap wilayah tangkapan nelayan, ada banyak rompon baru yang dibuat dengan jarak sekitar 2
sampai 10 mil laut dari garis pantai. Sebelum
memancing ikan tenggiri,
para nelayan selalu singgah
di rompon untuk memancing ikan tembang yang digunakan sebagai
umpan. Jadi, wajar jika dampak ekonomi
sangat terasa ketika ada penambangan karena semua rompon milik nelayan hilang.
Selain
itu, titik kordinat lokasi tambang pasir laut
yang dilakukan oleh kapal Boskalis
masih diingat oleh nelayan
dan melakukan pengukuran kedalamannya. Medote yang mereka
gunakan cukup sederhana, yaitu dengan menggunakan tali yang diberi pemberat pada ujungnya.
Nelayan sangat bisa merasakan ketika
tali tersebut sudah mencapai dasar laut. Setelah diukur, ternyata kedalamannya
sudah mencapai 20 sampai 30 meter, yang sebelumnya hanya 9 sampai 11 meter. Dari
riset yang dilakukan WALHI, lokasi penambangan Boskalis telah merusak lima
titik wilayah tangkap yaitu Taka lantang, Taka Talua, Taka Bau, Taka taka, dan Panangbungia.
Di Kepulauan Sangkarrang Makassar juga terjadi kerusakan yang tidak kalah hebatnya.
Para nelayan sulit mendapatkan ikan
seperti jenis ikan tenggiri dan kerapu merah. Adanya aktivitas pengerukan pasir
laut oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT. Boskalis di wilayah tangkap
ikan perairan Spermonde menjadi penyebab utama. Jika sebelumnya para nelayan
bisa dapat 5 sampai 7 ekor ikan tenggiri, sekarang sangat susah dan bahkan terkadang
tidak ada. Ini pengaruhnya pengerukan pasir yang dilakukan Boskalis. Airnya di
wilayah tangkapan juga keruh karena karang di bawahnya hancur. Airnya juga tambah
dalam dan ombaknya bertambah besar.
Jadi
apa sebenarnya yang dibanggakan dari proyek reklamasi ketika menghancurkan
sumber mata pencaharian warga sekitar terutama nelayan yang daerah tangkapannya
terganggu. Belum lagi kerusakan lingkungan berupa abrasi karena terjadi
pengerukan terus menerus. Serta kerusakan ekosistem lainnya. Lucu memang ketika
lebih memilih membuat masjid yang fungsinya hanya sebagai ikon padahal dananya
lebih bermanfaat jika membantu nelayan. Atau dana yang dikeluarkan untuk
membuat masjid itu bisa dialihkan untuk revitalisasi Benteng Somba Opu di Kabupaten
Gowa yang tidak dirawat oleh pemerintah disana. Miris juga melihat gedung
tinggi dengan lantai beberapa tingkat tetapi dibangun di atas tangisan warga. Gedung
tinggi yang ikonik tetap tidak akan mampu mengembalikan kerusakan lingkungan
yang diakibatkan pengrusakan ekosistem. Gedung yang tinggi juga tidak akan
membuat nelayan sejahaterah yang memang kehidupannya sehari hari di laut. Gedung
tinggi hanyalah kepongahan para pemodal. Omong kosonglah semua pembangunan jika
merugikan warga lokal. Stop reklamasi jika hanya merugikan.
Makassar,
27 Februari 2021
Comments
Post a Comment