ATTOMPOLOK, RITUAL AKIKAHAN SUKU MAKASSAR

 

Pada dasarnya, akikah merupakan bagian dari ajaran Islam. Meski demikian, tradisi akikahan yang berlangsung di Indonesia terkhusus di Tanah Makassar yang dilakukan oleh Suku Makassar memiliki keunikan tersendiri. Syukuran akikahan yang dalam Bahasa Makassar disebut “attompolok” sangatlah kental dengan makna penyelamatan lingkungan dan pesan moral. Bukan hanya berpikir secara instan, tetapi attompolok ini juga dimaksudkan agar kelahiran sebuah generasi tidak merusak atau membebani alam sekitar sekaligus menjaga tradisi gotong royong dan memelihara kekerabatan. Prosesi attompolok memiliki perbedaan persyaratan bagi bayi yang merupakan keluarga bangsawan dengan masyarakat biasa. Untuk anak bangsawan, maka diwajibkan untuk menyediakan 29 bibit kelapa. Sedangkan untuk masyarakat biasa, jumlah kelapa yang disediakan tidak sebanyak itu. Biasanya 12 biji saja atau semampunya. Dalam acara attompolok tersebut, bibit kelapa dihias dengan sangat indah dan ditaruh dalam kamar bayi. Kemudian beras yang ditaruh dalam baskom juga dihiasi dengan bentuk kelapa yang menyerupai kepala manusia. Penanaman kelapa ini merupakan upaya agar bayi yang baru lahir tersebut memiliki bekal yang dipersiapkan untuk kebutuhan hidupnya. Terdapat pesan moral yang penting bahwa sebagai orang tua sudah seharusnya menyiapkan segala sesuatu bagi kehidupan bayi dalam untuk jangka panjang dan tidak merusak alam.

 

Selain itu disediakan pula sebuah kelapa muda yang dibuka dan airnya digunakan untuk membasahi gunting guna memotong rambut sang bayi. Kelapa muda tersebut melambangkan sebuah kesegaran dan kesehatan yang diharapkan selalu menyertai kehidupan anak yang dilahirkan tersebut. Sebelas lilin kecil merupakan simbol agar kehidupannya selalu diliputi jalan yang terang. Dua potong gula merah juga disediakan sebagai simbolisasi agar kelak kehidupan si anak tersebut selalu manis, menyenangkan, dan penuh kegembiraan. Ditambah pula dengan dua buah pala yang berisi pengharapan agar bayi tersebut bisa bermanfaat bagi orang lain. Ia akan selalu ada ketika orang lain membutuhkannya. Tak ketinggalan, sebuah tasbih dengan sebuah cincin emas yang dicelupkan ke air kemudian disentuhkan di dahi menunjukkan agar ajaran agama islam selalu menjadi pegangan dalam seluruh kehidupannya. Maka tak heran agama ini dianut oleh hampir seluruh suku Makassar dikarenakan ketika ia lahir maka orang tuanya memang berdoa agar kelak si anak menjadi seorang muslim hingga menemuai ajalnya.

 

Kemudian untuk menambah suasana, dinyalakan pula dupa sebagai wewangian dalam prosesi potong rambut bayi yang dilakukan oleh sanro/ siapa saja yang dianggap cakap dan terlatih dalam merawat bayi. Untuk sanro bayi, mereka diberi sedekah berupa 12 macam jenis kue yang ditaruh dalam satu nampan, 8 liter beras dan uang 20 ribu rupiah (umunya sekarang sudah disesuaikan dengan kebutuhan zaman) yang dibawa pulang setelah prosesi tersebut selesai. Ari-ari yang merupakan bagian tubuh bayi saat dilahirkan menjadi bagian penting. Setelah dicuci, ari-ari tersebut ditanam dengan harapan agar bayi tersebut selalu ingat akan kampung halaman dimana ia dilahirkan.

 

Kemudian barazanji atau syair barazanji (syair pujian dan menceritakan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW) juga umum diselenggarakan pada malam attompolok. Ada juga yang melakukan barazanji ini pada pagi atau siang hari bertepatan dengan hari pattompolok si anak. Pada acara tersebut rambut bayi dipotong dan ada pula pembagian minyak wangi kepada jamaah yang membacakan syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Pembacaan barazanji ini bentuk upacaranya mirip marhabanan yaitu perayaan mauludan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ketika para peserta dan undangan membacakan marhaban atau ketika berdiri maka sang ayah dari si bayi ini membawa si bayi ke tengah-tengah peserta, diikuti seorang lain yang membantu membawakan baki berisi bunga, wewangian, dan gunting. Tamu yang paling dihormati biasanya sanro bayi atau ustadz mengawali secara simbolis dengan mencukur beberapa helai rambut bayi, kemudian ayah membawa bayi ke tamu lain secara bergilir satu per satu, dan masing-masing tamu bergiliran mencukur secara simbolis saja. Sementara pembawa wewangian bertugas mengusapkan wewangian ke tangan orang yang baru mendapat giliran. Bila semua sudah mendapatkan giliran, bayi dikembalikan ke kamar tidur.

 

Sekadar diketahui teks keagamaan yang paling populer di seluruh Nusantara, yang hanya kalah populer dengan Al Qur’an, adalah karya yang dikenal sebagai barazanji. Sebuah kitab maulid yang dibaca oleh masyarakat Nusantara tidak hanya di sekitar tanggal 12 Rabiul Awal yang merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga pada banyak upacara yang lain seperti kegiatan akkorongtigi bagi calon mempelai yang biasa dilakukan pada malam hari sebelum akad nikah, pemotongan rambut seorang bayi untuk pertama kalinya atau bisa disebut attompolok, dalam situasi krisis, sebagai bagian dari ritual untuk mengusir setan, atau secara rutin dijadikan sebagai bagian dari wiridan berjamaah yang dilakukan secara rutin.

 

Barazanji juga merupakan jawaban atas masivnya sentimen kepada islam yang dikatakan akan mematikan potensi budaya lokal dikarenakan berasal dari tanah Arab. Saya kira pemikiran picik seperti itu harus dibuang jauh jauh dalam kehidupan kita. Tradisi ini dan sebagian besar tradisi suku Makassar menjelaskan kepada kita semua bahwa budaya dapat berjalan beriringan dengan agama. Tanpa harus mengecam bahkan menghilangkan satu sama lain. Artinya, masyarakat sekarang sudah selayaknya bisa berpikir bagaimana para pendahulu kita bisa menjalankan agama dan budaya secara bersama-sama sehingga tidak ada lagi alasan untuk membenturkan kedua entitas ini. Jika ingin langsung praktek, maka ada baiknya berkunjunglah ke tanah Makassar. Bagaimana adat dan agama bisa berjalan beriringan dan menurut saya itulah pancasila sejati. Ada agama dan ada kebudayaan yang saling berjalan beriringan.

 

Makassar, 02 Februari 2021




Comments