Akhir
akhir ini ada sekelompok orang yang begitu luar biasa membela sosok yang
dikatakan habib itu. Sosok ini sedemikan dianggap agung dan sakral sehingga
pembelaan baginya adalah sebuah keharusan. Sebenarnya jika merujuk pada
tinjauan etimologis, habib berarti
yang dicintai/ kekasih. Ini adalah gelar kehormatan yang ditujukan kepada para
keturunan Nabi Muhammad SAW yang tersebar di beberapa negara pasca beliau
wafat. Dari tinjauan etimologis di atas, jelaslah bahwa seseorang dikatakan
sebagai habib dikarenakan memiliki garis keturunan dari Nabi Muhammad SAW.
Terkhusus di Indonesia, ada beberapa organisasi yang mencatat siapa saja yang
dianggap sebagai keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Saya ingin mengembalikan
ingatan kita mengenai sosok keturunan Nabi Muhammad yang keturunannya banyak
tersebar di Indonesia. Beliau adalah cucunda Nabi Muhammad SAW yaitu Husain bin
Ali yang bergelar Asy Syahid dikarenakan beliau syahid dalam perjalanan
memperjuangkan agama Kakeknya. Beliau syahid di Padang Karbala, Irak pada
tanggal 10 Muharram dalam keadaan banyak pengikutnya yang berkhianat. Jika kita
berbicara pada konteks ini maka saya dapat katakan bahwa Husain bin Ali adalah
habib dari segala habib dikarenakan beliau adalah cucu dari Nabi Muhammad SAW.
Jika kita mengklaim sebagai pembela habib, maka yang dikedepankan dan pertama
kita bela tentunya adalah Husain bin Ali sebagai habib dari segala habib.
Kita mungkin harus belajar bagaimana Mukhtar Al Tsaqafi
menjadi orang terdepan dalam membela Husain bin Ali sebagai cucunda Nabi
Muhammad SAW walaupun itu terjadi pasca peristiwa Karbala. Beliau bangkit dan
menuntut darah atas para pembunuh Husain yang diketahui pada saat itu
dijalankan atas perintah Yazid sebagai pelanjut generasi Bani Umayyah. Dalam
sejarahnya Mukhtar lahir di Thaif sebuah daerah di semanjung Hijaz yang
sekarang berada di negeri Arab Saudi. Ayah Mukhtar yaitu Abu Ubaid bin Mas’ud
ats-Tsaqafi gugur dalam perang Jisr. Keberanian dan kegigihan yang ada di dalam
diri Mukhtar ini diwariskan dari ayahnya. Kedua orang tuanya berasal dari Suku
Thaif, yang memang terkenal sebagai pencetak generasi yang cerdas dan
berpendidikan di kalangan bangsa Arab.
Pamannya yaitu Saad bin Masud Al
Tsaqafi diangkat menjadi gubernur Madain pada masa Kekhalifaan Ali bin Abi
Thalib. Ketika Saad berseteru dengan Khawarij diangkatlah
Mukhtar sebagai penggantinya di Madain sebagai seseorang yang ahli dalam
peperangan. Setelah syahidnya Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah ketika itu, anaknya
yaitu Hasan dalam sebuah peperangan melawan Muawiyah dan
pengkhianatan beberapa sahabatnya, beliau ke Madain dan berlindung di rumah
Saad yang ketika itu sebagai gubernur. Ada sebuah catatan sejarah yang
mengatakan, suatu saat ketika Hasan bin Ali telah tiba di Madain dan berlindung
di rumah Saad, maka berkatalah Mukhtar, “Apakah Anda ingin kekayaan atau kemuliaan?
Tangkaplah Hasan dan serahkan kepada Muawiyah, saat itu ambillah segala apa
yang Anda inginkan.”Maka saat itu Saad pun membentak Mukhtar dan berkata, “Semoga
Allah mengutukmu! Kau lelaki macam apa, bagaimana mungkin aku menyerahkan putra
dari putri Muhammad SAW kepada musuhnya?”.
Salah seorang ulama yaitu Ayatullah Khui meyakini bahwa riwayat ini
tidak bisa dijadikan pegangan disebabkan riwayat tersebut dinukil secara mursal
atau terputus sanad perawinya dari golongan sahabat. Dia juga menambahkan,
dengan mengasumsikan bahwa hadist ini sanadnya shahih, maka juga dapat
dikatakan bahwa Mukhtar tidak serius dalam ucapannya, bahwa dia dia ingin
mengetahui pandangan pamannya seperti yang dijelaskan oleh Sayid Muhsin al-Amin.
Sebelum peristiwa Karbala, Husain bin Ali memerintahkan Muslim bin Aqil
untuk memeriksa kebenaran surat penduduk Kufah yang menyatakan dukungan kepada
beliau untuk bangkit melawan Yazid. Muslim sempat bermalam di rumah Mukhtar
yang memang pro pada Al Husain, tetapi setelah keberadaan Muslim diketahui oleh
aparat Ubaidilah, maka Muslim pun berpindah-pindah ke beberapa tempat hingga
akhirnya ia tertangkap dan dibunuh. Dan ketika itu juga Mukhtar lagi tidak
berada di Kufah. Dalam peristiwa karbala Mukhtar tidak ikut serta dalam kabilah
Husain bin Ali dikarenakan ia dipenjara oleh Gubernur Kufah pilihan Yazid bin
Muawiyah yang pada saat itu dijabat oleh Ubadilah bin Ziyad. Artinya
ketidakhadiran Mukhtar di rombongan Al Husain bukanlah ketidakhadiran yang
disengaja. Pasca peristiwa Karbala, atas perantara Abdullah bin
Umar di sisi Yazid dia dibebaskan. Sebab, saudari Mukhtar yakni
Shafiyah binti Abu Ubaid adalah istri Abdullah bin Umar. Tentu pembebasan ini
bersayarat karena ketika Mukhtar dibebaskan, Ubaidillah memberi syarat padanya
supaya tidak menetap di Kufah lebih dari 3 hari. Dan jika setelah 3 hari masih juga
terlihat di Kufah maka darahnya akan ditumpahkan. Sejak itu maka dimulailah
langkah taktis Mukhtar untuk bangkit dan melakukan pembalasan dendam atas darah
Husain bin Ali.
Dalam pergerakan kebangkitannya, Mukhtar Al Tsaqafi sempat
bergabung dengan Abdullah bin Zubair dari klan Zubair. Sebelum menerima tawaran
itu, Mukhtar memberikan syarat bahwa ia bersedia berbaiat terhadap Abdullah bin
Zubair dengan syarat klan Zubair harus selalu meminta pertimbangannya dalam
segala urusan. Ketika Abdullah bin Zubair mengumumkan kekhalifahan dirinya dan
orang-orang ramai membaiatnya, Mukhtar yang mengetahui watak Abdullah bin
Zubair dan ketamakannya atas kekuasaan tetap turut membaiatnya karena dia juga
merupakan musuh Bani Umayyah. Selama tinggal di Makkah, Mukhtar sempat
mengalami masa genting karena wilayah itu sedang dalam pengepungan tentara Bani
Umayyah. Tentara tersebut mengepung kota dan memasang meriam yang berisikan
batu api untuk dilemparkan ke arah Ka’bah oleh perintah Hushain bin Namir yang
merupakan panglima pasukan itu. Batu api berjatuhan di atas rumah-rumah dan
atap masjid-masjid dan membakar dinding Kabah. Setelah menyerang tempat
tersebut, Hushain memerintahkan pasukan infantrinya untuk menyerbu Makkah dan
membantai siapa saja yang dijumpai. Mukhtar yang bekerjasama dengan kaum muslim
lainnya ikut serta melawan para tentara Damaskus. Dan ketika perang masih
berlangsung, muncul berita tentang kematian Yazid. Di tengah peperangan yang
masih sengit Hushain berusaha menyembunyikan kabar tersebut namun berita itu
telah cepat menyebar yang membuat pasukan Damaskus kocar kacir dan ketakutan sehingga
menghentikan peperangan.
Kebersamaan Mukhtar dan Ibnu Zubair tidaklah lama dikarenakan
tujuan awal mereka memang berbeda. Ia meninggalkan Ibnu Zubair untuk pergi ke
Kufah dan bergabung dengan golongan pecinta Ali disana untuk menggalang
kekuatan dalam melancarkan rencana kebangkitan. Mukhtar dalam kebangkitan ini menggunakan
dua slogan; "Ya Latsaratul Husain" (demi darah al-Husain) dan "Ya
Manshural Ummah" (demi yang ditolong umat). Ketika ia memakai pakaian
perang, pada saat itulah ia memberi aba-aba para pengikutnya akan permulaan
kebangkitannya dengan dua slogan ini. Slogan "Ya Manshural
Ummah" pertama kali di perang Badar dan
slogan "Ya Latsaratil Husain" di pergerakan Tawwabin. Dalam gerakan Tawwabin, Mukhtar
tidak ikut andil dikarenakan baginya pergerakan ini tidak bermanfaat dan
menilai Sulaiman bin Shurad al-Khuzai tidak mengathui
strategi dan taktik perang. Dikarenakan ketidakhadirannya, sekira 4.000 orang
dari 16.000 orang yang telah berbaiat kepada Sulaiman menarik kembali baiatnya dikarenakan
alasan tadi bahwa Sulaiman tidak pandai dalam peperangan. Ketika itu juga pemimpin
Tawwabin bermaksud membebaskan Mukhtar dari penjara tapi ia mencegah mereka dan
berkata bahwa ia akan akan segera bebas. Setelah mengetahui kekalahan gerakan Tawwabin,
ia menulis surat kepada mereka yang masih hidup dan memberikan semangat untuk
tetap mengorbankan kobaran kebangkitan.
Mukhtar yang akhirnya dibebaskan untuk yang kedua kalinya
oleh Abdullah bin Umar bin Khattab yang menjadi penengah. Tak lama berselang, ia
pun mulai mengatur rencana bersama penduduk Kufah untuk mempersiapkan lagi
kebangkitannya dengan terlebih dahulu menjadi penguasa Kufah. Ini baginya
penting walaupun karena alasan ini banyak yang meragukannya dengan tuduhan
bahwa niat sebenarnya adalah kekuasaan dan bukanlah menuntut darah pembunuh Al
Husain. Mukhtar mengklaim dirinya menerima surat dukungan dari Muhammad bin
Hanafiyyah sebagai wakil dari Ali Zainal Abidin yang merupakan anak dari Husain
bin Ali. Walaupun juga banyak pihak yang meragukan keabsahan surat ini karena
Mukhtar selalu dianggap gila akan kekuasaan. Setelah banyak yang membaiatnya
dengan menjadikan surat dukungan dari Muhammad bin Ahanfiyyah sebagai dasar,
maka hal ini membantunya dengan mudah untuk dalam mengumpulkan dukungan penduduk
Kufah yang lain. Begitu pula dengan Ibrahim bin Malik Asytar yang awalnya
sempat meragukan surat dukungan ini, setelah ia yakin maka turut juga bergabung
dengan golongan Mukhtar ats-Tsaqafi.
Dalam peristiwa kebangkitan Mukhtar Al Tsaqafi ia juga
memiliki kawan setia dari tanah Persia yaitu Kiyan. Kebangkitan ini diawali
dengan keberhasilan Mukhtar menjadi penguasa Kufah, beberapa algojo dan juga
pembunuh Al Husain yang ikut dalam peristiwa Karbala mati terbunuh. Setelah
berkuasa di Kufah dan berita itu cepat menyebar, rombongan Mushab bin Zubair
telah membentuk pasukan besar dalam rangka penyerangan ke Kufah. Sementara itu
Ibrahim bin Malik Asytar sedang berada di Mosul dan dikarenakan tipu muslihat
pasukan Mushab, beberapa surat dari Mukhtar yang menghendaki agar Ibrahim
pulang tidak sampai bahkan ada beberapa surat palsu yang justru mengarah
kepadanya agar tetap di Mosul. Pasukan Mushab akhirnya melancarkan serangan yang
sangat kuat, dan memaksa pasukan Mukhtar kembali ke Kufah. Pasukan Mushab
mengejar Mukhtar hingga ke Kufah dan berhasil mengepungnya selama hampir empat
bulan di dalam istana.
Seruan Mukhtar untuk melakukan perlawanan terhadap pasuan
Mushab ternyata tidak mendapat respon positif dari warga Kufah. Hanya ada
sembilan belas orang saja termasuk Said bin Malik pasukannya yang mau mengikuti
perintah Mukhtar melawan belasan ribu pasukan Mushab yang mengelilingi istana.
Mukhtar sempat kembali ke tempat tinggalnya dan sekali lagi pasukan Mushab
mengepungnya. Suatu hari Mukhtar keluar untuk melawan prajurit Mushab dan akhirnya
syahid di tangan dua bersaudara dari Bani Hanifa yaitu Tafra dan Tarraf putra
dari Abdullah bin Djaja. Setelah Mukhtar syahid, Mushab menulis surat kepada
sisa prajurit Mukhtar yang berjumlah sekira 5.000 orang bahwa ia akan mengampuni
mereka dan berjanji bahwa apapun yang terjadi mereka akan dijamin haknya. Dan ketika
mereka membuka gerbang istana, Mushab melanggar surat suaka yang telah
ditulisnya dan memerintahkan tentaranya untuk memenggal kepala mereka satu
persatu. Kebohongan dan kecurangan ini merupakan pelanggaran sumpah dan tercatat
sebagai pembantaian terbesar dalam islam yang sangat memilukan. Mukhtar
dimakamkan di dekat dinding masjid Kufah bagian timur, dan diletakkan di
samping makam Muslim bin Aqil.
Perjuangan Mukhtar yang memang total dalam membela martabat
keluarga Nabi Muhammad SAW adalah pelajaran yang kita dapat petik dan kita tiru.
Ia betul betul menjadi garda terdepat dalam membela semua hak hak keturunan Nabi
Muhammad SAW. Ia membela dan menuntut balas atas darah al Husain karena memang
beliau adalah sosok yang pantas dibela. Beliau adalah sosok yang dekat dengan
umat islam, dengan takwa dengan kezuhudan (sederhana) yang mengingatkan kita
pada sosok Nabi Muhammad SAW. Jika dibandingkan dengan gelagat beberapa orang
yang merasa dirinya adalah Habib, maka akan sangat jauh dari akhlak Al Husain.
Kita mungkin bisa saja menjadi Mukhtar berikutnya yang akan berkorban terhadap
keturunan Nabi Muhammad SAW, tetapi apakah akan semudah itu. Bukankah banyak
yang berkoar bahwa mereka pembela Habib tetapi di saat yang lain mereka juga
adalah pihak yang paling mempermasalahkan ketika ada peringatan syahidnya Al
Husain di tanggal 10 Muharram. Bukankah Al Husain adalah habib dari segala habib, tentu akan sangat
jauh jika dibandingkan dengan habib yang sudah punya jarak 16 Abad dari
kehidupan Nabi Muhammad SAW. Habib tidaklah berkata kasar dan mencela orang
karena kekurangan fisiknya. Habib adalah panutan dan manifestasi dari islam
rahmat bagi seluruh alam. Jadi pintar pintarlah memilih habib untuk dibela.
Jangan sampai membela habib yang beda 16 tahun dengan nabi Muhammad tetapi di
lain sisi mencela dan mempersekusi orang yang mencintai Al Husain.
Makassar, 28 November 2020
Luar biasa daeng.
ReplyDeleteAllahumma sholli ala sayyidina muhammad