MAPPALILI, TRADISI MASYARAKAT LABAKKANG SEBELUM MENANAM PADI

 

Dalam tradisi masyarakat Makassar, ada tradisi yang dilakukan sebelum melakukan penanaman padi. Di Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan, tradisi ini dikenal dengan istilah Mappalili. Kegiatan ini sudah berlangsung secara turun temurun yang diwariskan dan dilestarikan oleh masyarakat disana. Tradisi ini berlangsung setiap tahun sebagai penanda menuju pergantian tahun. Tujuan dari tradisi ini selain memohon agar diberikan hasil panen yang lebih baik, kegiatan ini juga semacam menjadi ajang silaturahmi bagi para petani agar senantiasa saling tolong menolong demi mendapatkan panen yang lebih baik.

 

Mappalili dipimpin oleh seseorang yang disebut sebagai Pinati dan pemimpin barisannya disebut sebagai Pallapa Barambang. Pesta adat ini sebenarnya berlangsung selama dua hari. Hari pertama adalah hari persiapan sebelum turun ke sawah yang dimulai dengan membersihkan benda pusaka berupa badik, poke, dan lain sebagainya yang dilaksanakan di Balla Lompoa Labakkang. Setelah pembersihan benda pusaka dilakukan, maka kegiatan selanjutnya adalah menjemput para pemangku adat dan para aparat pemeintah dalam rangka membicarakan persiapan kegiatan Mappalili besok di tanah yang kelak akan ditanami padi. Pertemuan ini juga dapat disebut sebagai kegiatan Appakruru yang berarti bersiap-siap sebelum mengawali ritual di sawah.

 

Tradisi Mappalili juga mengenal adanya Aru atau Angngaru, yang merupakan semacam sumpah sebelum melakukan ritual. Berbeda dengan Aru Tu Barani Gowa yang lebih familiar baik itu digunakan dalam upacara adat bangsawan bangsawan, ritual pernikahan, maupun Aru lain seperti masyarakat di daerah Pakjenekang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Aru Mappalili lebih kental dengan budaya masyarakat Labbakkang yang tercermin dari teks Aru yang diucapkan. Berikut teks Aru dalam ritual Mappalili :

 

Cini cini sai, tabe kipammoporang mama, niaki hadere , ri baruga siangta, tanjengang pamminasaku, empoang kupatinggi,

 

I kambe mi anne, pattola padang na Labbakang, bulua raya Teko, barumbunna Malise, gowaja batunna Gentung

Pappinasa tamaanre, mangngadu tamatappu, lansikkikangngi birinna tumabbutta pakrasangang, Julu borikku Labakkang sarruang nirampe

 

Siri na pacce, empo sipakatau, abbulo sibatang,

Punna takammayya aru ku kana tojengku, pinra anrengku, niassa jari jariku

 

Singkamma ji anne aru ku ri dallekangta, dasi na dasi, natarima pangnganrota alla ta ala

 

Keesokan harinya, para barisan Mappalili yang dipimpin oleh Pallapa Barambang ini menuju sawah diikuti dengan membawa benda pusaka yang telah dibersihkan, peralatan seperti cangkul dan kerbau yang menjadi Pajjeko, dan ada juga gabah yang kelak akan dibagikan kepada masyarakat oleh para pemangku adat dan pemerintahan beserta Pinati. Kegiatan ini dimulai sekira pukul 05.00 pagi dari Balla Lompoa menuju Kalompoang yaitu tempat pelaksanaan Mappalili di sawah. Setalah sampai, maka dilakukan kegiatan menggarap sawah dengan melibatkan cangkul dan sawah yang disebut Pajjeko. Kegiatan ini diistilahkan Angnganre yang dalam bahasa Indonesia berarti makan. Maksud dalam pengertian makan disini bukanlah makan sebagaimana memasukkan makanan ke dalam perut, tetapi lebih pada makna metafora dimana makan dianggap sebagai kegiatan menggarap sawah atau dalam kalimat lain makan berarti melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsi dari Pajjeko tersebut.

 

Setelah Pajjeko Angnganre, maka kegiatan selanjutnya adalah Patura Tedong yang berarti pertaruhan kerbau. Tradisi ini mirip dengan tradisi masyarakat Toraja yang berada di sebelah Utara daerah Sulawesi Selatan. Kegiatan ini seperti pada umumnya dimana ada kerbau yang dilibatkan untuk bertarung sebagai simbol bahwa bahwa masyarakat disana adalah masyarakat pekerja keras yang siap untuk melakukan tanam padi. Menanam padi di daerah ini umumnya dilakukan dua kali dalam setahun yaitu pada akhir tahun jika telah masuk musim hujan dan permulaan awal bulan puasa jika musim kemarau telah tiba. Khusus untuk ritual Mappalili hanya dilakukan sekali setahun yaitu pada kegiatan tanam padi di musim penghujan.

 

Setelah kegiatan Pattura Tedong, kegiatan selanjutnya adalah saling melempar tanah yang dilakukan oleh masyarakat disana sebagai simbol kesuburan tanah dan siap untuk ditanami padi. Tanah yang dilempar umumnya tanah yang telah diairi atau dalam keadaan becek sehingga walaupun terkena badan, tidak terlalu sakit. Kegiatan terakhir sebelum mengembalikan benda pusaka ketempatnya adalah kegiatan Mappakrebbo (saling rebutan) gabah yang dibawa tadi oleh para barisan Mappalili. Rebutan ini dilakukan oleh masyarakat dan dipercaya bahwa bibit padi yang didapat akan mendatangkan padi yang subur sehingga panen melimpah.

 

Makassar, 24 November 2020




Comments