Diskusi tentang omnibus law akan sangat sulit dilakukan ketika pemikiran awal yang terbangun adalah buah dari berita palsu yang dikonsumsi. Saya melihat ada begitu banyak pihak yang menolak omnibus law tetapi tidak disertai dengan kemampuan literasi yang cukup. Isu tentang penghapusan pesangon, penghapusan UMP, penghapusan hak cuti, status outsourcing dan karyawan tetap, PHK yang sewenang-wenang, pelarangan protes buruh dengan ancaman pemecatan, hingga persoalan libur, adalah berita palsu yang menjadi primadona para kaum miskin literasi. Jika mau jujur, ada begitu banyak bahkan dari sekelas mahasiswa pun yang termasuk dalam golongan ini. Sebenarnya berdemonstrasi adalah hak segala setiap orang dalam rangka menyuarakan pendapat dan itu memang dijamin oleh undang-undang. Tetapi marilah kita berdemosntrasi dengan disertai kemampuan literasi yang cukup. Bukankah perintah pertama dalam Al Quran adalah “bacalah” dan bahkan Al Quran sendiri menyuruh kita terlebih dahulu menyaring informasi yang kita dapat.
Selanjutnya adalah mari kita lihat benarkah produk hukum terbaru DPR ini begitu menakutkan bagi buruh atau pekerja dan hanya menguntungkan para pengusaha. Walaupun sebenarnya ada banyak pembahsan di omnibus law ini termasuk masalah kehutanan hingga label halal, tetapi isu utama yang coba diangkat adalah tentang ketenagakerjaan. Yang saya pahami dasar dari sebuah aturan dibuat adalah adil, bukan berbicara suka atau tidak. Begitupun perihal omnibus law ini terutana yabg berkenaan dengan hubungan pengusaha dan karyawan. Artinya dalam hal ini pemerintah mencoba menjadi penengah bagi kepentingan pengusaha dan karyawan. Jika kepentingan pengusaha saja yang diperhatikan, maka tentu pemerintah melanggengkan kapitalisme di tengah masyarakat. Sedangkan jika pemerintah hanya melihat kepentingan pekerja saja, maka yang terjadi akan lebih parah. Terjadi kelesuan ekonomi karena pengusaha menutup kantor yang berimbas pada PHK besar-besaran dan tentu implikasi dari semua itu adalah kekacauan sosial dan instabilitas nasional. Apakah itu yang dikehendaki seperti keinginan beberapa pihak yang memprovokasi untuk melakukan mogok nasional.
Mari coba kita lihat isi dari aturan ini agar lebih valid datanya sehingga meminimalisir berita-berita palsu yang beredar. Kemudian selanjutnya saya lakukan komparasi dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 sebagai aturan ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 sebagai aturan jaminan sosial ketenagakerjaan sebelum omnibus law ini disahkan. Pertama adalah tentang uang pesangon, tidak benar bahwa di omnibus law ini tidak ada uang pesangon pasca PHK. Hal ini diatur di pasal 156 dengan bunyi sebagai berikut:
- Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja;
- Ayat ini berbicara tentang rincian pesangon minimal 1 bulan upah dan maksimal 9 bulan upah;
- Ayat ini berbicara tentang rincian uang pengahrgaan minimal 2 bulan upah dan maksimal 8 bulan upah
Jika dikomparasikan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003, ayat ini mengalami perubahan dalam hal uang penghargaan. Maksimal yang diterima itu bisa mencapai 10 bulan gaji. Jadi artinya bahwa tidak ada penghapusan hak buruh setelah ia di PHK. Persoalan mengalami penurunan nilai adalah bentuk win-win solution pengusaha dengan buruh. Dan bahkan jika kita mau teliti membaca dengan saksama omnibus law ini, karyawan itu mendapat jaminan dari pemerintah pasca ia terkena PHK dan itu tidak ada di aturan sebelumnya. Aturan ini terkait dengan UU No. 40 tahun 2004 pada pasal 18 tentang jaminan sosial yang meliputi:
- Jaminan kesehatan;
- Jaminan kecelakaan kerja;
- Jaminan hari tua;
- Jaminan pensiun;
- Jaminan kematian.
Di perubahan dalam omnibus law ditambahkan poin “f” yang meliputi juga jaminan kehilangan pekerjaan. Pasti yang koar-koar menolak ini tidak semuanya paham bahwa pemerintah menjamin pekerja yang kehilangan pekerjaannya melalui BPJS ketenagakerjaan.di dalam pasal 46 D disebutkan:
- Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa pelatihan dan sertifikasi, uang tunai serta fasilitas penempatan;
Yang berarti bahwa anda yang terkena PHK dan sebelumnya terdaftar di BPJS ketenagakerjaan, berhak mendapatkan jaminan berupa pelatihan dan uang tunai. Langkah ini sudah diawali oleh pemerintah dengan menyelenggarakan sistem kartu pra kerja. Dan bahkan sebagian kalangan sudah menikmati program ini.
Selanjutnya adalah isu penghapusan UMP. Isu ini tidak benar karna faktanya pada pasal 88 c disebutkan
- Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jarring pengaman;
- Upah minimum sebagaimana yang dimaksud ayat 1 merupakan upah minimum provinsi.
Redaksi ini memang mengalami perubahan jika dibandingkan dengan UU Nomor 13 tahun 2003 yang sebenarnya memiliki substansi yang sama bahwa ada penetapan upah minimum. Jadi artinya tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai pengupahan antara omnibus law dengan UU Nomor 13 tahun 2003. Hal yang ditambhakn dalam omnibus law ini yaitu penekanan pada proteksi usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan indsutri padat karya yang memilki upah minimum tersendiri. Aturan ini ditetapkan di pasal 88E untuk industri padat karya dan pasal 90B untuk UMKM. Di tulisan saya sebelumnya tentang omnibus law yang terbit pada bulan maret 2020 kemarin juga menyoroti adanya standar pengupahan tersendiri bagi industri UMKM.
Adanya aturan ini justru baik dalam rangka memicu masyarakat kita berwirausaha tanpa harus takut memikirkan gaji karyawannya sesuai dengan batas minimum UMP. Jadi seperti ini ilustarasinya. Saya ambil contoh UMKM dalam hal ini pedagang donat. Donat kualitas bagus yang menyamai rasa donat kelas perusahaan warabala bisa didapat dengan harga Rp. 7.000,- s/d Rp. 10.000,-. Saya mengambil patokan Rp. 10.000. dengan modal sekitar Rp. 8.000,-. Jika rata-rata yang terjual adalah 30 biji dalam sehari, berarti ada keuntungan sekitar Rp. 60.000,-/hari. Sehingga hitungan kasar dalam sebulan keuntungan yang didapat adalah Rp. 1.800.000,-. Jika karyawan yang digaji ada satu orang dengan standar UMK Makassar sekitar Rp. 3.100.000,-, maka dapat dipastikan usaha itu tidak akan bisa bertahan lama karena keuntungan belum bisa menutupi gaji karyawan. Itu belum termasuk dengan biaya lain seperti sewa tempat, BBM, dan listrik.
Ini yang menjadi alasan saya bahwa untuk industri padat karya dan UMKM tidak harus dibebani dengan upah minimum seperti perusahaan besar karena akan menghambat potensi masyarakat kita untuk berwirausaha. Sejauh upah yang diberikan layak bagi kemanusiaan, menurut saya tidak ada masalah ketika sekelas padat karya dan UMKM tidak menggaji karyawannya dengan upah minimum seperti umumnya. Ada begitu banyak guru honorer yang bahkan gajinya sangat jauh dari UMP bahkan jauh dari nilai kemanusiaan tetapi mereka tetap survive mengajar. Coba bandingkan dengan gaji beberapa buruh di kota besar. Bahkan ada yang bisa menggunakan motor sport pergi berunjuk rasa. Bukankah kepemilikan motor sport seperti itu sudah jauh di atas dari kata layak untuk kemanusiaan.
Sebenarnya masih banyak yang bisa dibahas perihal aturan setebal 1.000an lembar ini, tetapi untuk sekarang ini saja dahulu yang kita bahas. Ingat, omnibus law tidak melulu berbicara tentang ketenagakerjaan. Ada banyak bab lain yang harusnya dikawal juga sehingga kesannya demonstrasi yang dialkukan memang murni dan tidak miskin literasi. Ada lingkungan, ada kehutanan, hingga labelisasi makanan. Coba pikir sejenak, apakah pantas makanan yang dikonsumsi diberi l;abel halal oleh ormas tertentu maupun pemerintah. Bukankah kita berhak atas diri kita sendiri dan seharusnya pihak lain seperti ormas dan oemerintah tidak punya hak untuk mengatur sampai yang detail seperti kehalalan makanan. Bukankah labelisasi makanan halal dapat ditengarai menjadi ajang komersialisasi agama. Mengapa hal ini luput dari kritik mahasiswa dan buruh, ataupun pemuka agama. Saya dukung bentuk demonstrasi damai dan sehat yang dilakukan sebagai cerminan dari negara demokrasi. Ingat, demonstrasi damai dan sehat.
Makassar, 08 Oktober 2020
Comments
Post a Comment