NELAYAN TERJEPIT REKLAMASI

 

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kegiatan reklamasi jika dilakukan dengan terarah dan sesuai dengan sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bahwa memang betul jika salah satu kemajuan suatu negara dapat dilihat dengan pembangunan dimana-mana termasuk jika kita membahas proyek reklamasi yang sangat cocok dengan kota pantai seperti Makassar. Proyek ini merupakan proyek strategis nasional dengan nama proyek Makassar New Port (MNP) yang memang langsung dibentuk oleh Presiden Jokowi. Salah satu aktivitas untuk memperlancar proses reklamasi itu adalah dilakukannya penambangan pasir laut di pulau kodingareng yang masih berada dalam wilayah administarasi kota Makassar walaupun terpisah sekitar 12 KM dari bibir pantai di kota Makassar. Proyek ini dimiliki oleh PT. Pelindo IV, bekerja sama dengan PT. Pembangunan Perumahan sebagai pemenang tender, yang lantas mempekerjakan PT. Benteng Laut Indonesia dan PT. Boskalis International Indonesia mengeruk pasir untuk kebutuhan reklamasi.

Masalah pun kemudian muncul dikarenakan proses pengerukan pasir ini berdampak buruk pada kegiatan nelayan di pulau tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Suadi, nelayan di wilayah tersebut bahwa para nelayan hanya menginginkan wilayah tangkap ikan tidak diganggu. Para nelayan adalah pihak yang sudah lebih dulu melakukan penangkapan ikan disana. Kemudian datanglah kapal Boskalis datang menambang di situ juga. Betul bahwa itu memang adalah wilayah mereka menambang pasir, tetapi itu juga adalah wilayah penangkapan ikan para nelayan. Suadi menambahkan jika sebelum ada penambangan pasir maka mereka dapat memberoleh hingga Rp 700 ribu dalam sehari. Tetapi setelah adanya tambang maka turun drastis hingga hanya Rp 150 ribu setelahnya. Bahkan bisa cuma Rp 50 ribu atau malah tidak mendapatkan penghasilan sama sekali. Ia juga menambahkan jika uang Rp. 50 ribu itu kadang habis hanya buat kapal saja. Dan ironisnya bahkan sampai berhutang ke warung juraganya. Bahkan pernah suatu waktu, Suadi tidak sempat makan malam karena keterbatasan tersebut.

Awalnya para nelayan mengira tambang itu hanya beroperasi sekitar satu mingguan sehingga mereka hanya melakukan pendiaman. Tetapi ternyata sudah berbulan-bulan masih juga belum berhenti. Ketika bulan April kemarin warga sudah marah sekali karena pemasukan mereka semakin sedikit dan bahkan semakin mengkhawatirkan maka mereka membuat aksi penolakan. Dalam aksi itu ada sekitar 100 perahu nelayan yang ikut aksi dan dilakukan beberapa kali. Di tengah kerasnya tuntutan dari nelayan perihal penutupan penambangan pasir ini, Mansur Pasang Daeng Manre nelayan lain disana pada tanggal 14 Agustus ditangkap saat hendak menemui istrinya yang sedang berdemonstrasi bersama sekitar ratusan perempuan nelayan di depan kantor gubernur sejak sehari sebelumnya. Para pendemo menuntut Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah untuk mencabut izin aktivitas tambang pasir yang dilakukan kapal milik PT Boskalis International Indonesia, perusahaan asal Belanda yang bergerak salah satunya di bidang reklamasi lahan. Daeng Manre dibawa ke Polda Sulawesi Selatan, dengan tuduhan sengaja merusak dan bermaksud merendahkan rupiah sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011.  Vonis ini tidak berdiri sendiri. Ia terkait dengan aktivitas Manre di luar mencari ikan, menurut Suadi, teman Manre yang juga berprofesi nelayan.

Kasus Manre bermula pada tanggal 16 Juli 2020 ketika seseorang dari ‘perusahaan’ memberikan amplop kepada beberapa nelayan di Kodingareng, yang salah satunya diberikan kepada Daeng Manre. Amplop itu diberikan oleh ‘perusahaan’ sebagai uang damai agar mereka tidak lagi protes terhadap tambang pasir laut. Para nelayan protes dan meminta tambang pasir dihentikan karena itu “membuat keruh air,” gelombang laut menjadi tinggi, dan akhirnya ikan jadi sulit ditangkap. Sebelumnya perusahaan juga pernah menawari mereka ganti rugi kepada nelayan dengan catatan mereka tidak akan protes lagi dan membiarkan penambangan  berjalan seperti biasa. Para nelayan menolak dengan tegas dan tetap pada pendirian untuk meminta penambangan pasir dihentikan sekaligus meminta pertanggungjawaban kerugian yang selama ini disebabkan oleh kapal penambang pasir.

Sebenarnya penangkapan Daeng Manre tidak lebih dari sebuah upaya kriminalisasi bagi mereka yang mencoba melawan proyek perusak lingkungan tersebut. Upaya pemberian amplop kepada para nelayan justru adalah cara mafia proyek untuk menutup rapat rapat aspirasi para masyarakat. Perobekan amplop yang dilakukan sebagai penegasan bahwa mereka masih punya siri (malu) sebagai budaya orang Makassar. Mereka malu untuk disuap karena bagi mereka penyuapan sama saja dengan kekalahan mereka dalam memertahankan hak hidup. Jadi sebenarnya yang coba ditolak oleh Daeng Manre bukanlah rupiahnya atau bahkan mencoba menghinakannya. Yang ditolak adalah budaya sogok menyogok dan tentu Daeng Manre akan sangat malu melakukan itu semua.

Gambaran penolakan tambang pasir ini sebagai bagian dari proses reklamasi di sekitar Pantai Losari dan daerah Metro Tanjung Bunga Makassar adalah potret bahwa tidak selamanya pembangunan fisik kota adalah jawaban untuk masyarakat. Betul bahwa reklamasi mempercantik tampilan kota apalagi kota itu mengusung konsep water front city seperti Kota Makassar. Tetapi yang harus diingat bahwa secantik apapun tampilan reklamasi itu akan terasa sia-sia ketika hanya memperkaya segelintir orang dan membuat lingkungan tercemar. Anda bisa buktikan bagaimana air di sekitar Pantai Losari yang berada di dekat Masjid Terapung itu sangat berbau dikarenakan tidak ada sirkulasi air ke laut lepas. Padahal dahulu tidak seperti itu walaupun pada dasarnya itu adalah air laut. Kita bisa mengambil contoh di tempat lain tepatnya di daerah Pantai Tanjung Bayang yang berjarak sekitar 5 KM dari Pantai Losari ke arah selatan. Di pantai ini belum dilakukan reklamasi dan orang masih bebas berenang di laut lepas bahkan dengan beberapa genangan sampah. Air tidak berbau padahal sifat airnya sama dengan yang ada di Pantai Losari. Itu tentu dikarenakan oleh reklamasi Losari yang asal jadi dan tidak direncanakan dengan baik terutama dalam hal memerhatikan dampak lingkungannya. Itu baru dilihat dari dampak lingkungan dan perekomoniam, belum termasuk dampak buruk lainnya perihal reklamasi yang asal asalan dan tidak memerhatikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Makassar, 22 Oktober 2020



Comments