Di
Nusantara, kesenian Pencak Silat memiliki nama yang berbeda-beda serta variasi
gerakan yang berbeda-beda pula. Di tanah Makassar, Pencak Silat dikenal dengan nama manca, dan
orang yang yang memiliki ilmu tersebut disebut sebaagai pamanca. Manca diperkirakan
telah ada di tanah Makassar sejak abad ke XVI. Keahlian memainkannya adalah
salah satu bagian penting dalam kehidupan masyarakat Makassar. Mereka memiliki
sebuah prinsip bahwa warisan dari orang tua kepada anak-anaknya terutama anak
laki-lakinya baru akan dianggap paripurna ketika kekayaan rohani berupa kepintara
manca telah
diwariskan. Disebut sebagai kekayaan rohani karena diwarisi melalui orang tua yang
dilengkapi dengan pangngisengang kaburaneang atau ilmu kejantanan. Seperti
ilmu kebal terhadap senjata, maupun ilmu kebatinan lainnya. Pada zaman kerajaan, manca banyak digunakan untuk kepentingan keluarga
raja dan kaum bangsawan. Sejak kecil mereka dilatih dan dibekali ilmu manca
hingga bisa menguasainya. Di kalangan masyarakat biasa atau ata, pamanca adalah
orang-orang pilihan yang selalu berada di garis terdepan saat perang. Gelar
mereka adalah tu barani yang berarti sang pemberani dalam Bahasa Indonesia
karena menjadi yang terdepan dalam peperangan. Menjadi seorang pamanca berarti
menguasai ilmu bela diri maupun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yaitu bersifat
jujur, berani, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, berjiwa satria, serta
bersikap rendah hati.
Mengutip
informasi dari seorang pamanca yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan,
bahwa permulaan untuk memulai pencak silat khas Makassar ini ada beberapa faktor
yang harus diperhatikan. Pertama harus memiliki niat yang jelas bahwa ilmu
kebatinan ini bukanlah ilmu yang digunakan untuk gagah-gagahan, bukan pula
digunakan untuk membuat kita serasa lebih hebat dari orang lain. Tujuan dari pelajaran
manca ini adalah sebagai sarana bela diri yang dapat dipergunakan
sewaktu-waktu. Karena jika kita melanggarnya maka akan ada nakasa (sial) yang
justru akan menimpa kita. Setelah memperbaiki niat dan mengatahui tujuan belajar
manca, maka yang harus dipersiapkan adalah alat untuk kegiatan manca. Pakaian untuk
latihan disesuaikan dengan kemampuan yang jelasnya menggunakan songkok. Tetapi untuk
pementasan, manca menggunakan pakaian adat tradisional Makassar termasuk
penutup kepala passapu/patonro.
Untuk
alat, manca terdiri dari senjata seperti lading (pisau), badik, paddang
(pedang), cekele dan sejenisnya. Tetapi sebelum memainkan gerakan dan alat
manca tersebut, sebagai pernghormatan kepada khalifah (guru) maka harus
dipersiapkan ayam kampung seekor dan telur sebutir. Ayam dan telur ini
diberikan kepada sang khalifah yang kelak akan mengajari gerakan dan alat
manca. Walaupun sebenarnya ini bukanlah syarat mutlak karena tidak semua murid memiliki
materi yang cukup. Jadi syarat ini diperuntukkan hanya sesuai kemampuan. Dalam berbagai
kebudayaan suku Makassar, pemberian sesuatu kepada guru ketika hendak belajar
adalah hal yang sangat wajar. Bukan hanya menjadi semacam ucapan terima kasih
karena sudah diberikan kesempatan belajar, tetapi juga adalah bagian dari
pangadakkang (menjunjung tinggi adat) seorang murid kepada gurunya. Saya masih ingat
bagaimana beberapa teman yang hendak belajar mengaji di rumah, diminta untuk
menyediakan songkolo (makanan terbuat dari beras ketan), ayam hitam kampung,
telur ayam kampung, lauk pauk, dan lain sebagainya. Bahkan bukan hanya dalam
urusan belajar mengaji, banyak ilmu yang sebelum diajarkan harus dimulai dengan
syarat membawakan songkolo, telur, dan ayam ini.
Kembali
ke ilmu manca, setelah syarat telur dan ayam terpenuhi atau semampunya saja
seorang murid maka hal selanjutnya yang harus diperhatikan adalah hari
pelaksanaan manca. Baik pementasan maupun latihan, manca tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada malam Jumat. Dijelaskan bahwa pada malam Jumat adalah malam
dimana baiknya banyak beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan ini secara
tidak langsung menjelaskan jika manca ini sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam
yang sangat mengangungkan malam Jumat. Manca diawali dengan penabuhan gong atau
gendang dan kemudian akan muncul beberapa pamanca yang biasa terdiri dari dua
orang atau lebih. Kemudian pamanca melakukan gerakan yang dikenal dengan
istilah angngalle
bunga yang artinya mengambil atau memetik bunga. Bunga merupakan
gerakan inti manca,
yang berisikan teknik-teknik pukulan dan tangkisan. Ada yang dikenal dengan
istilah bunga silawar yang berarti bunga selembar.
Kemudian dalam
gerakan manca ada juga yang dikenal dengan istilah sulapa appa. Gerakan ini
adalah gerakan yang dimainkan oleh dua orang yang berlawanan dan akan saling
bepindah tempat ketika telah sampai untuk mengganti ke gerakan berikutnya. Tujuan
dari gerakan sulapa appa ini adalah dimaksudkan senantiasa saling membantu dan
saling tolong menolong jika ada diantara kita yang mengalami kesulitan maupun
musibah. Gerakan manca juga kadang dipadukan dengan gerakan yang menggunakan
senjata dan disebut dengan gerakan manca paddang. Manca paddang yang juga
sangat familiar di tanah Makassar sebelah selatan yaitu Kabupaten Kepulauan Selayar
ini adalah gerakan manca yang dipadukan dengan pedang maupun senjata sejensinya
seperti lading (pisau) maupun badik. Terakhir sebelum menutup artikel ini,
terkait dengan istilah sulapa appa maka ada filosofi mendalam dalam kebudayaan
orang Makassar mengenai istilah ini.
Dalam lontara Makassar,
sulapa appa disimbolkan dengan hurup sa yang melambangkan empat
unsur alam yang menjadi sifat manusia, yakni angin, air, api, dan tanah. Keempat
unsur alam ini bertalian satu sama lain dengan symbol dengan warna, yaitu
kuning, putih, merah dan hitam. Lebih jauh, simbol sa melambangkan empat sisi
tubuh manusia. Yang paling atas ialah kepala, sisi kiri dan kanan adalah kedua
tangan, dan yang paling dibawah adalah kaki. Orang Makassar juga melihat sulapa
appa dari segi pengetahuan agama Islam yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat,
Makrifat. Idealisme manusia sulapa appa adalah manusia yang menjaga prinisp keseimbangan
atas bawah (keadilan), kiri kanan (kesetaraan). Dengan alam, manusia sulapa
appa mengemban tanggung jawab untuk merawat kearifan lokal, keselarasan dalam tata kelolanya serta hubungan manusia dan sang
pencipta Allah SWT. Jika orang
yang memahami adat maka dia akan mengerti akan makna di balik kalimat “Punna
erokko ampabajiki tallasa nu ri lino, isseng baji laloi nikanaya appaka sulapa”
yang berarti “jika engkau ingin kebaikan
di hidupmu kenalilah dengan baik appaka sulapa.
Ada
beberapa pendapat yang membahas mengenai sulapa appa ini. Ada yang beranggapan bahwa
falsafah ini membawa empat unsur kehidupan yaitu Api, Angin, Air, dan udara. Dalam
kajian lebih lanjut kita akan mendapati bahwa keempat unsur itu kemudian akan
membawa sifat-sifat serta kebutuhan dalam diri manusia. Yang pertama adalah menjaga
tanahnya yang artinya bagaimana menjaga mulut. Kemudian menjaga angin yang
artinya bagaimana menjaga pergaulannya. Selanjutnya menjaga apinya yang
artinya membuat diri terjaga dan saksama. Dan yang terakhir adalah menjaga
airnya yang artinya bagaimana memilih dan menentukan perbuatannya.
Makassar, 31
Oktober 2020
Comments
Post a Comment