Jika kini masih ada yang mencoba membenturkan
antara budaya sebagai keraifan lokal dan agama yang umumnya datang dari luar,
maka hal itu tidak berlaku untuk budaya suku Makassar dan tentu bisa menjadi
referensi yang baik bagi penikmat budaya di nusantara. Kita bisa lihat
bagaimana sangat banyak produk budaya orang Makassar yang awet hingga sekarang
dengan memadukan agama sebagai jalan hidup dan budaya sebagai identitas
kedaerahan. Sebagai contoh pakaian adat perempuan suku Makassar yang disebut
sebagai baju bodo yang berarti baju berlengan pendek. Dahulu baju ini adalah
baju yang berlengan pendek dan memiliki kain yang transparan sehingga tampak
bagian dada perempuan. Seiring perjalanan waktu dan masuknya islam menjadi simbol
agama orang Makassar maka baju bodo pun mengalami perkembangan. Perubahan awal
dari baju bodo adalah kain yang digunakan sudah tidak transparan lagi. Dan di
era sekarang, baju bodo sudah ada yang memadukannya dengan hijab dan sama
sekali tidak ada penolakan maupun keberatan dari pecinta budaya di Makassar
bahwa budaya lokal Makassar sudah dijajah oleh bangsa lain karena adanya hijab
tersebut yang diidentikkan merupakan produk dari luar maupun alasan adanya
pakem dari pakaian adat yang melarang memadukannya dengan produk luar.
Bagi masyarakat Makassar, memadukan budaya ataupun
dapat diistilahkan sebagai akulturasi bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan.
Karena jika kita ingin konsisten untuk menolak semua hal yang berbau dari luar,
maka ini sama saja tidak ada bedanya dengan para ekstrimis agama. Jika jargon para
ekstrimis ini adalah kembali ke masa Nabi misalnya yang ditandai dengan
pemahaman kaku, maka sama saja dengan para fasis budaya ini yang bersembunyi di
balik bahasa melestarikan budaya nusantara. Gampangnya seperti ini, apakah
memang kebudayaan itu terutama pakaian adat adalah produk yang berdiri sendiri
dan tidak ada pengaruh dari luar. Jika ingin konsisten, bukankah pakaian adat
seperti kebaya bermula di abad ke 15 masehi dan sebelumnya para perempuan
terutama di daerah Jawa hanya memakai kain lipat (selubung). Bahkan dalam
relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur digambarkan bahwa kebanyakan
khususnya perempuan tidak menutupi bagian payudara. Bahkan pakaian perempuan
paling sederhana hanya selembar kain yang panjangnya sebatas lutut. Sementara
untuk pakaian pria, yang paling sederhana hanya memakai kain serupa dengan
cawat atau celana pendek. Mengapa bukan pakaian ini yang dilestarikan sebagai
kebudayaan lokal jika memang ingin konsisten melestarikan budaya. Bukankah
gambaran di relief itu adalah gambaran pakaian di masa lampau. Ataukah memang
kritikan terhadap hijab tidak lebih daripada sebuah serangan terhadap budaya
tertentu yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai sebuah ajaran agama untuk
setiap kaum muslimat.
Selain berkenaan dengan pakaian adat perempuan suku
Makassar yang disebut baju bodo, akulturasi budaya juga terpampang pada sinrilik
atau syair syair perang orang Makassar di masa lampau seperti kerajaan Gowa dan
Tallo yang menggunakan bahasa Arab di bagian penutup untuk memohon kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Seperti dalam penutup kalimat sinrilik Tu Barani Ri Gowa yang
berbunyi “Dasi na dasi nitarimai paknganrona nasaba Allah Taala” yang berarti
semoga diterima karena Allah Taala. Penggunakan kalimat Allah Taala yang
berarti penyebutan Tuhan dalam bahasa Arab dan bukan kata Karaeng atau Batara
yang berarti Tuhan dalam bahasa Makassar menunjukkan bahwa penggunaan bahasa
luar bukanlah hal tabu dalam budaya suku Makassar bahkan ini tercermin di syair
syair perang yang nota bane sebenarnya adalah sesuatu yang sakral. Bahkan
produk kebudayaan lainnya seperti sinrilik Tuanta Salamaka yang berisi ajaran Syekh
Yusuf didahului dengan menggunakan bahasa Arab dalam bentuk membaca Surah Alfatihah
padahal sebenarnya bisa saja menggunakan terjemahannya.
Contoh lain dari akulturasi ini adalah bagaimana
peristiwa Maulid Nabi Muhammad SAW atau dalam bahasa Makassar disebut sebagai Maudu
menjadi perayaan tahunan suku Makassar. Sebelum virus corona menyerang,
perayaan ini begitu meriah di berbagai daerah. Mulai dari Kabupaten Pangkep,
hingga yang paling terkenal yaitu perayaan Maulid Maudu Lompoa di daerah Cikoang
Kabupaten Takalar. Mengapa dalam tradisi suku Makassar merayakan Maulid begitu
penting padahal Nabi Muhammad SAW adalah orang dari luar yang tidak memiliki
darah Makassar. Bagi orang Makassar, identitas itu penting tetapi itu bukan
menjadi tolak ukur kebenaran. Nabi Muhammad SAW memang bukanlah orang yang
memiliki keturunan Makassar, tetapi ia adalah simbol kebenaran ajaran yang
melekat hingga kini. Dalam artian masyarakat Makassar tidaklah fanatik suku
(rasis) dalam melihat tokoh. Mau dari Makassar maupun tokoh luar, jika membawa
kebenaran maka tentu diapresiasi.
Sebenarnya masih banyak lagi contoh bagaimana suku
Makassar begitu akulturatif terhadap budaya luar apalagi budaya itu memiliki
singgungan agama. Kita boleh saja menggaungkan penggunaan pakaian adat dalam
hal melestarikan budaya, tetapi bukan berarti menolak akulturasi. Ingat jika kita
memahami nusantara adalah sebuah kesatuan, maka ada banyak suku yang bisa
dilihat dan bukan hanya berkutat pada suku tertentu saja. Akulturasi yang
terjadi pada kebudayaan suku Makassar dapat kita lihat juga pada suku suku lain
di nusantara. Kita bisa melihat contoh itu di budaya Melayu, Minang, Aceh, Bugis,
Banjar, Bima maupun suku lainnya bahwa akulturasi itu adalah hal yang sah sah
saja dalam perkembangan budaya. Jika ada yang alergi dengan ucapan Assalamu Alaikum
yang disebut sebagai budaya luar, maka seharusnya kita juga alergi dengan
ucapan Rahayu. Bukankah Rahayu berasal dari bahasa Sansekerta yang sejenis
dengan kata Raharja maupun Rahajeng. Bukankah pula Sansekerta itu adalah produk
impor dari tanah Hindustan.
Mari kita sudahi hal hal yang ditujukan untuk
membenturkan budaya dan agama. Jika kita bisa menghargai orang yang berbusana
adat tanpa embel embel apapun, maka seyogyanya juga kita harus menghargai
mereka yang melestarikan budayanya dengan tetap tidak meninggalkan ajaran
agamanya. Bukankah itu inti dari bhinneka tunggal ika. Salamakki…
Panasakkang Maros, 24 Oktober 2020
Comments
Post a Comment