ANGIN, HUJAN, DAN PELAYARAN ORANG MAKASSAR

 

Kondisi angin dan hujan memiliki keterikatan erat dan sangkut paut dengan kegiatan nelayan yang hendak berlayar untuk mencari ikan. Tulisan ini disadur dari sebuah wawancara pendek dengan salah satu anak nelayan di Pulau Saugi Kabupaten Pangkep. Sebagai salah satu suku yang sebagian daerahnya berbatasan dengan laut, maka tidak heran jika banyak diantara orang Makassar yang berprofesi sebagai nelayan. Mulai dari daerah Kabupaten Pangkep di utara, terus ke selatan daerah Kota Makassar hingga melewati daerah Kabupaten Bantaeng dan menuju Kabupaten Kepualan Selayar. Sepanjang garis pantai itu, masyarakat Makassar yang daerah tinggalnya berbatasan dengan laut maka kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai nelayan kecuali di kota Makassar yang warganya seperti tidak terlalu menekuni profesi ini.

Pertama-tama saya akan mencoba membahas tentang jenis angin dan hujan serta bagaimana pengaruh keduanya. Secara umum dapat dipahami bahwa hujan terjadi karena adanya proses penguapan air laut yang diakibatkan oleh panas kemudian naik dan menjadi titik titik air. Setelah titik titik air itu terkena angin, maka turunlah titik titik air itu ke tanah yang disebut sebagai hujan. Awalnya ketika pertama kali mengenal istilah penguapan air laut yang menjadi hujan ini (kondensasi) saya seperti kembali ke masa kecil. Peristiwa ini saya pahami seperti apa yang terlihat di film kartun dan saya sulit untuk membayangkan apakah betul ada air laut yang naik karena proses penguapan. Setelah mendapat penjelasan dari narasuber bahwa memang betul, keadaan kondensasi itu memang kadang terjadi di tengah laut. Penjelasan ini bahkan diamini oleh nelayan yang ada disana.

Dalam istilah masyarakat nelayan di daerah Pulau Saugi Kabupaten Pangkep, angin dijelaskan memiliki dua macam. Yang pertama disebut sebagai Angin Kamiara dan yang kedua adalah Angin Baratappa. Angin Kamiara adalah angin yang berhembus tetapi tidak disertai dengan hujan. Ini adalah angin yang patut diwaspadai karena di tengah lautanan, angin ini tampak seperti tornado yang siap menerjang kapal nelayan yang hendak berlayar. Kemudian Angin Baratappa adalah angin yang umum terjadi di laut. Angin ini bisa mengakibatkan hujan maupun naiknya ombak. Sedangkan untuk istilah hujan (bosi) ada beberapa yang narasumber sebutkan dalam istilah para nelayan di Pulau Saugi, Kabupaten Pangkep. Yang pertamadalah Bosi Balendang. Hujan ini ditandai dengan gelapnya awan dan umumnya berasal dari daratan (parang) atau pegunungan (bulu) menuju laut (dolangang). Hujan jenis ini juga dikenal sebagai tanda musim peralihan atau musim pancaroba. Entah dari musim kemarau ke musim hujan maupun sebaliknya.

Hujan selanjutnya disebut dengan istilah Bosi Bara. Dalam pengertiannya adalah hujan ini berasal karena memang telah mencapai musimnya yaitu bara yang dalam bahasa Makassar berarti musim hujan. Jadi kondisi hujan ini adalah kondisi hujan normal karena memang sudah waktunya turun hujan sesuai siklus alam. Hujan berikutnya dikenal dengan istilah Bosi Bardaja. Istilah ini jika melihat dari katanya adalah serapan dari kata Indonesia yaitu kata bardaja yang berarti barat daya. Hujan jenis ini adalah hujan yang berada di posisi antara ke arah selatan ataukah menuju ke arah barat atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan posisi barat daya. Angin ini sifatnya kurang bersahabat karena peletakan posisinya yang menyulitkan nelayan untuk mengambil perhitungan yang baik. Masih ada sebenarnya satu jenis hujan lagi yang tidak dijelaskan oleh narasumber tetapi saya mendapatkannya dari tutur yang diceritakan oleh orang tua. Ada istilah Bosi Na Marusu (hujan dari Maros) yang merujuk pada pengertian hujan yang terjadi ketika musim hujan sebenarnya sudah berakhir. Jadi ketika warga kota Makassar masih mendapati hujan ketika musim hujan telah berakhir, maka mereka menyebutnya dengan istilah Bosi Na Marusu.

Selanjutnya hal penting lain yang saya sampaikan di artikel ini adalah pantangan-pantangan/ kaidah  apa saja ketika kita hendak berlayar. Pantangan tersebut ketika dilanggar maka kita akan mendapatkan nakasa (bala/sial), dan adapun pantangan/ kaidah tersebut saya awali dari ketidakbolehan atau membawa saja sedikit telur ketika hendak berlayar. Pantangan ini sebenarnya lebih pada kehatian-hatian mereka yang hendak berlayar. Ada yang berpendapat sama sekali tidak boleh membawa telur. Tetapi ada juga yang berpendapat boleh membawa telur asalkan  tidak terlalu banyak. Kemudian larangan yang kedua adalah larangan membahas hewan berkaki empat ketika pergi berlayar. Kita dilarang untuk membahas mulai dari sapi, anjing, kambing, dan segala jenis hewan yang berkaki empat. Yang ketiga adalah ketika melaut dan hasilnya tidak memuaskan atau cenderung nihil, maka sangat dilarang untuk berkata tena (tidak/ diksi umum) tetapi menggunakan kata sempo (tidak/ diksi khusus). Sebenarnya kedua istilah ini memiliki makna yang sama yaitu “tidak”, tetapi penggunaan kata untuk istilah nelayan dikhusukan menggunakan kata sempo dan bukan kata lain ketika kurang atau bahkan sama sekali tidak mendapat ikan. Sama ibaratnya dengan kata mati dan meninggal. Kata mati adalah kata umum sedangkan meninggal adalah kata yang dikhusukan manusia. Kan tidak lucu jika dikatakan kucing peliharaan Heri meninggal dunia.

Selanjutnya adalah ketika hendak menaiki kapal, maka perhatikanlah kondisi permukaan air dimana kapal tersebut bersandar. Jadi ketika kapal bersandar, tentu kapal tidak akan tenang karena terus digoyang oleh ombak. Nah ketika ombak itu berhasil menaikkan sedikit posisi kapal dari permukaan awalnya, maka pada saat itulah waktu yang tepat untuk naik ke kapal. Kemudian pantangan selanjutnya adalah jangan tergesa-gesa dan tiba masa tiba akal jika hendak berlayar. Harus apparuru (mempersiapkan) segala sesuatunya dengan baik apalagi jika perjalanan memakan waktu berbulan atau bertahun-tahun. Persiapan itu dilakukan di sebuah rumah dan sangat tidak disarankan jika tidak ada waktu jeda istirahat dari bepergian jauh kemudian langsung berlayar. Pantangan selanjutnya adalah tidak boleh berlayar di waktu duka. Ini sebenarnya sifatnya situasional karena hari duka yang dimaksud setiap orang itu berbeda. Ada yang menganggap hari kematian saudaranya adalah hari berduka sehingga dia tidak akan melaut di hari tersebut. Ada juga yang menjadikan hari kematian Nabi atau keluarga Nabi sebagai hari duka sehingga tidak melakukan perjalanan. Jadi untuk pantangan ini sangatlah situasional, tergantung penetapan masing-masing individu hari dukanya. Dan yang terakhir adalah jangan melaut ketika malam Jumat.

Tulisan ini sebenarnya masih butuh kritikan dan saran sebagai penyempurna. Tidak seperti tulisan saya lainnya yang saya anggap sudah mendapatkan data yang kredibel, tulisan ini masih sangat membutuhkan masukan dari para pemerhati budaya terkhusus budaya Makassar. Salamakki…

Panasakkang Maros, 23 Oktober 2020



Comments