TEROR SOLO DAN UJARAN KEBENCIAN


Peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok orang di kegiatan doa bersama jelang pernikahan atau midodareni putri Habib Umar Assegaf di Jalan Cempaka Kota Solo yang merupakan rumah almarhum Segaf bin Jufri kembali memperlihatkan penyakit intoleransi itu makan memprihatinkan di negeri ini. Provokasi mereka hingga terdengar suara takbir bahkan yang miris ada ungkapan kafir dan bunuh terhadap kelompok tertentu menjadi catatan yang sangat mengenaskan di dalam kehidupan berbangsa menjelang peryaaan hari kemerdekaan negara ini yang ke 75. Bahkan Habib Umar Assegaf sendiri menjadi korban dari keberingasan kelompok teror ini. Hingga akhirnya ia harus ditolong dan dibawa ke rumah sakit untuk segera mendapatkan perawatan.

Kejadian miris ini yang dilatarbelakangi oleh kebencian terhadap kelompok agama tertentu walaupun sebenarnya para teroris ini salah alamat, sudah pada level yang sangat menghawatirkan. Belum hilang di ingatan kita, kejadian intoleran juga menimpa para penghayat kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan di Kuningan Jawa Barat. Mengapa hal ini terus menerus terjadi dan seperti ada pembiaran yang dilakukan oleh pemangku jabatan di negeri ini. Apakah karena kelompok seperti Sunda Wiwitan dan kelompok minoritas lainnya tidak memiliki pemeluk yang signifikan sehingga bukan komoditas yang penting untuk dibela karena tidak berpengaruh dalam hal perolehan suara untuk kontestasi politik. Padahal sudah sering saya sampaikan di artikel yang saya tulis bahwa negara seharusnya menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan warganya bahkan pada tingkatan pelaksanaan dari ibadah mereka.

Saya mengutip kembali bunyi konstitusi kita di UUD 1945 yang mengatur tentang agama dan pelaksanaan ibadahnya. Bunyi pasalnya sebagai berikut:

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”

Walaupun dalam konstitusi sudah menjelaskan dan menjamin kebebasan ini, tetapi kekerasan tetap saja terjadi. Apa sebenarnya yang melatar belakang mengapa persekusi dan kekerasan berlatar belakang perbedaan pemahaman agama ini masih kerap terjadi. Dalam kacamata saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa para pelaku teror ini seperti tidak tersentuh hukum dan terus saja melakukan aksinya. Faktor yang paling dominan dalam membentuk karakter para pelaku persekusi dan kekerasan ini adalah begitu masivnya ceramah bernuansa kebencian yang beredar, baik itu di media maupun di mimbar-mimbar. Mereka dengan bebas mengatakan kelompok tertentu sesat sehingga dengan mudah kelompok yang dianggap sesat ini dipersekusi. Kisah tragis pengungsi Sampang Madura yang hingga kini masih mengungsi di Sidoarjo adalah contoh nyata begitu bahayanya ujaran kebencian dibalut dengan tameng agama yang dihembuskan para penceramah ini.

Mengapa pemerintah seperti diam saja untuk menindaki para penebar kebencian ini. Apakah hendak mengulangi tragedi Sampang yang terjadi di rezim SBY. Kita terlalu jauh memikirkan para pengungsi korban konflik di Timur Tengah, di Kashmir, atapun di Rohingya, tetapi pemerintah seperti tutup mata terhadap nasib pengungsi Sampang yang diusir oleh mereka para pelaku teror hanya karena sentimen keagamaan. Jika ada sekelompok orang yang memercayai Tuhan memiliki anak yang jelas bertentangan dengan konsep ketauhidan ajaran agama Islam, mengapa kita begitu susah untuk menghormati sekelompok orang yang percaya bahwa ada orang tertentu yang dipilih oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Bukankah pemahaman mereka tidak meronrong keutuhan NKRI. Bukankah pemahaman mereka tidak ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Bukankah pula pemahaman mereka tidak mendidik komunitasnya untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. Jika bisa berbeda pemahaman mengenai keesaan Tuhan, mengapa tidak bisa berdamai dengan orang yang lebih mengutamakan seseorang di atas yang lainnya.

Fatwa lembaga kemsarakatan juga memegang peranan penting dalam tindak kekerasan dan persekusi terhadap kaum minoritas. Fatwa sesat yang dikeluarkannya seperti menjadi angin segar bagi mereka para teroris ini untuk melakukan teror, persekusi, dan kekerasan. Walapun dalam hirarki kekuasaan negara ini, lembaga kemasyarakatan bukanlah institusi negara. Ia hanyalah sebuah lembaga yang segala produk hukumnya tidak bisa dijadikan pegangan untuk melakukan tindakan terhadap kelompok tertentu. Pengungsi Sampang adalah contoh nyata dan jelas bahwa fatwa lembaga kemasyarakatan menjadi dalih penyerangan kelompok. Padahal kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak dasar sehingga fatwa sesat yang dikelaurkan oleh lembaga tersebut sebenarnya tidak memiliki kekuatan hukum. Tetapi anehnya pemerintah tidak pernah menertibkan aktor intelektual yang selalu saja mengeluarkan fatwa pemecah belah bangsa ini.

Ini menjadi faktor selanjutnya mengapa tindakan biadab ini selalu saja terjadi. Aparat pemerintah mulai dari Presiden dan Kepala Daerah hingga Penegak Hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan tidak serius menindaki penyakit yang sudah pada tahap kronis ini. Di tengah gencarnya pembangunan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, untuk pembangunan intoleransi warganya justru mendapatkan nilai merah. Pemerintah hingga saat ini tidak pernah melakukan tindakan serius untuk memulangkan pengungsi Sampang ke kampung mereka. Begitu juga dengan Gubernur Jawa Timur yang sama sekali tidak memiliki aksi nyata untuk memenuhi hak dasar warganya agar kembali ke kampung halamannya.

Pemerintah juga seperti membiarkan saja ujaran-ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas lalu lalang di mimbar-mimbar dan media sosial serta elektronik. Selama ujaran kebencian itu tidak dialamatkan kepada pemerintah, sepertinya mereka bebas saja mencaci dan memaki. Kelompok agama tertentu dikatakan sesat dan bahkan halal darahnya untuk dibunuh tidak menjadikan hal itu sebagai prioritas yang diberantas pemerintah. Padahal dari ujaran kebencian para penceramah ini, muncullah tindakan teror, persekusi, dan kekerasan. Mengapa yang cepat ditetapkan tersangka itu yang mengkritisi kebijakan penanganan covid-19, sementara para penjahat kemanusiaan yang selalu menyebar kebencian terutama yang terbaru ini pasca penyerangan di Solo itu masih saja bebas berkicau di dunia maya. Apakah pemerintah lebih takut dengan mereka yang bersorban ketimbang mereka yang bertato karena bersorban dianggap ahli surga dan bertato ahli neraka. Meragukan covid-19 sebagai sebuah pandemi memang berbahaya, tetapi menyebarkan ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu jauh lebih berbahaya. Mereka memersekusi, melakukan kekerasan, bahkan membunuh dan tindakan itu jauh lebih buruk daripada sebuah kiritik atas pandemi covid-19.

Biarkanlah orang beragama dan berkeyakinan sesuai dengan apa yang dianutnya. Tidak usalahkan menjadi hakim atas orang lain karena kelak anda tidak akan dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain. Orang mau beragama Islam, Kristen, Budha, berkepercayaan tradisional Sunda Wiwitan, Kejawen Jawa, Tolotang, dan lainnya itu adalah hak dasar yang seharusnya negara hadir memfasilitasi dan bukan malahan membatasi bahkan melarang. Pak Jokowi ingat UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2, jika anda tidak serius menjalankan amanat konstitusi ini berarti sama saja anda telah gagal menjalankan tanggung jawab sebagai Presiden Indonesia dalam hal pemenuhan hak dasar beragama dan berkeyakinan warganya. Dan itu tidak lebih baik dari rezim sebelumnya.

Makassar, 13 Agustus 2020




Comments

Post a Comment