SEMBELIHAN YANG AGUNG

Pada saat kurban yang dipersembahkan oleh Nabi Ibrahim AS diganti, beliau bertanya kepada Allah SWT. Ia berkata “Ya Allah adakah Engkau ragu dengan ketulusan niatku. Aku rela mengorbankan putra kesayanganku tanpa sedikitpun bertanya”. Nabi Ibrahim AS ingin merasakan penderitaan seorang ayah yang kehilangan putranya. Ia ingin sampai pada tingkatan derajat kesabaran pada sebuah kehilangan yang teramat besar nilainya. Tetapi Allah SWT mengganti putranya dengan sembelihan yang lain. Allah SWT Maha Mendengar dan menurunkan wahyuNya kepada Nabi Ibrahim AS. Kemudian Allah SWT bertanya kepada Nabi Ibrahim AS, “Ya Ibrahim siapakah makhluk ku yang paling engkau cintai?” Nabi Ibrahim AS menjawab, “Tuhanku, tiada makhluk yang Engkau ciptakan lebih aku cintai dari kekasihMu Muhammad SAW.” Kemudian Allah SWT kembali bertanya, “Wahai Ibrahim manakah yang lebih engkau cintai, dirimu atau dirinya”. “Dirinya”. jawab Nabi Ibrahim AS. “Manakah yang lebih kau cintai, putramu atau putranya.” Allah SWT melanjutkan pertanyannya. “Putranya lebih aku cintai.” Jawab Nabi Ibrahim AS. “Manakah yang lebih menyakitkan bagimu, dipenggalnya leher puteramu karena ketaatanmu kepadaKu ataukah dipenggalnya leher putra Muhammad oleh tangan dan kezaliman musuh-musuhnya?” Pertanyaan Allah SWT. Nabi Ibrahim menjawab “Dipenggalnya putra Muhammad membuatku jauh lebih menderita.” Ketauhilah kelak seorang putra Muhammad akan dipenggal oleh umatnya sendiri. Riwayat ini dikisahkan dalam kitab Al Khishol, dalam kitab Al Bihar, dan dalam beberapa kitab lainnya.

 

Maka Nabi Ibrahim AS pun merasakan duka cita yang teramat besarnya. Beliau telah mencontohkan kepada kita betapa untuk menghilangkan ego diri yang harus dikedepankan adalah kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak mungkin ego diri kita itu dapat dipangkas, tidak mungkin keangkuhan diri kita  itu dapat dihilangkan jika tidak tumbuh dalam hati kita kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Ialah sang Nabi yang diturunkan sebagai rahmat untuk seluruh alam semesta. Ialah sang nabi akhir zaman yang kedatanganya diketahui oleh setiap utusan. Nabi yang harus didahulukan bahkan dari diri kita sendiri. Bukankah di surah Al ahzab (33) ayat ke 6 disebutkan jika Nabi Muhammad SAW adalah lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. Mengapa kecintaan kepada Nabi SAW mesti didahulukan bahkan dari diri sendiri, karena itulah teladan teramat mulianya bagi kita untuk mengorbankan seluruh ego dan keangkuhan kita. Untuk kecintaan kepada nabi akhir zaman itulah kemudian Allah SWT menggelari sembelihan yang membuat duka Nabi Ibrahim AS dengan sembelihan yang agung.

 

Di surah As shaffat (37) ayat 107 dikatakan bahwa sembelihan itu ditebus dengan sembelihan yang agung. Sembelihan itu menjadi agung dikarenakan menjalankan perintah Tuhan. Sembelihan itu menjadi agung karena disandingkan dengan teramat besarnya pengorbanan. Sembelihan itu menjadi agung karena bersamanya ada kecintaan dan kerinduan pada nabi akhir zaman. Sungguh itulah teladan karena kita mengikuti Nabi yang di dalam dirinya terdapat uswatun hasanah atau contoh suri tauladan yang baik. Kata uswatun hasanah hanya diulang 3 kali di dalam Al Quran. Yang pertama pada Nabi Muhammad SAW, dan yang kedua pada Nabi Ibrahim AS, dan yang ketiga pada walladzina maahu (Al Mumtahanah Ayat 4) atau pada orang-orang yang bersamanya. Disini kita bisa menemukan titik temu dari kata uswatun hasanah itu yaitu kecintaan pada Nabi akhir zaman dan mendahulukan sang Nabi di atas semua keinginan.

 

Maka pada hari raya Idul Adha yang penuh keberkahan, mengenang mereka yang berada di rumah Tuhan bertawaf dan bersa’I, hanya satu yang terlintas di pikiran ketika bertawaf memakai pakaian ihram yaitu para malaikat yang mengelilingimu mencari kain kafan. Hanya satu yang terlintas di pikiran ketika jamaah diantara bukit Shafa dan Marwah berlarian yaitu Sitti Hajar dari bukit menyampaikan salam perpisahan. Ketika pada Nabi Ibrahim AS disampaikan akan ada pengorbanan yang lebih besar. Tidakkah pada saat itu Nabi Ismail AS bermohon agar dirinya menjadi penebus untuk Sayyidal Asghar. Jika Tuhan mengganjar semuanya di Padang Arafah hanya dengan diam berdiri. Apakah ganjarannya mematung di Padang Karbala dengan tangannya menimang bayi. Hanya satu yang terlintas di pikiran ketika memandang kabah tegak dengan kemuliaan yaitu kabah tetap berdiri karena pengorbanan ia yang dibunuh dalam keadaan kehausan.

 

Panasakkang Maros, 04 Agustus 2020



Comments