PANCASILA DALAM PENGAMALAN KETUHANAN

Disadur dari buku karangan Yudi Latif yang berjudul Mata Air Keteladanan, tersebutlah sebuah kisah toleransi yang ditunjukkan oleh pendiri bangsa ini dalam proses pengamalan nilai pancasila terutama sila yang pertama. Saya memulai dari perjalanan hidup seorang Prawoto Mangkusasmito, seorang tokoh Partai Masyumi dan Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada 02 April 1952 s/d 31 Juli 1953 dan menjadi Wakil Ketua I Konstituante pada 10 November 1956 s/d 05 Juli 1959. Hingga di akhir dekade 1950-an tokoh yang dikenal sederhana ini bahkan belum juga memiliki rumah.

 

Di tengah keadaan perbedaan pandangan politik yang tajam mengenai Dasar Negara di Konstituante pada saat itu, I.J. Kasimo yang juga menjabat sebagai Ketua Partai Katolik pada saat itu tergugah rasa empatinya setelah mengetahui keadaan Prawoto Mangkusasmito yang hendak membeli rumah. Ia merasa tergerak hatinya untuk memberikan bantuan. Ia tahu bahwa rumah yang hendak dibeli oleh Prawoto ini adalah rumah seorang suster Katolik keturunan Tionghoa yang bernama Tan Kin Liang. Ia pun membawa Prawoto memersuasi pemilik rumah tersebut dan pada akhirnya rumah yang berada di Jalan Kertosono Jakarta ini akhirnya bisa dibeli pada tanggal 20 Maret 1959. Bahkan menurut sumber lain, Kasimo ikut membantu dalam pengumpulan dana guna keperluan pembelian rumah tersebut.

 

Kisah kerelaan gotong royong dan persaudaraan diantara dua anak bangsa dengan latar belakang agama dan politik yang berbeda ini secara jelas menggambarkan semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan. Semangat ketuhanan yang penuh rasa empati, berkasih sayang, toleran, dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Pandangan yang dilandasi semangat ketuhanan yang berkebudayaan menempati posisi tinggi dalam dasar negara ini. Dalam uraiannya, Bung Karno di pidato mengenai prinsip ketuhanan pada tanggal 01 Juni 1945 berkata:

 

“Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut menurut petunjuk Isa Al Masih. Yang islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap oranya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan.”

 

Ketuhanan tanpa egoisme agama itu digambarkan oleh Bung Karno sebagai ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, dan ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Ada banyak nama (sifat) Tuhan, namun seluruh sifat Tuhan itu bisa dikristalisasi menjadi Rahman dan Rahim yang berarti Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sebagai perwujudannya, manusia mengembangkan hubungan cinta kasih kepada Tuhan (hablun minallah) dan hubungan cinta kasih kepada sesama manusia (hablun minannas) maupun dengan makhluk lainnya.

 

Sejarah bangsa ini sarat dengan contoh ketulusan beragama yang menjadi landasan kecintaan dalam pergaulan hidup para pejuang dan tokoh-tokoh bangsa. Sjafruddin Prawinegara sebagai seorang tokoh partai Masyumi ketika memberikan bingkisan buku biografinya kepada Herman S. Endro menulis dengan tangannya sendiri untaian kata-kata sebagai berikut:

 

“Tidak ada timur dan tidak ada barat, tidak ada muslim dan tidak ada Kristen, tidak ada hindu dan tidak ada budha, kalau mereka berlomba-lomba berbuat baik dalam bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

 

Untaian kata-kata ini mengingatkan kita pada sosok bapak pluraisme Indonesia yaitu K.H. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sapaan Gus Dur. Beliau pernah berujar seperti ini:

 

“Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, maka orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

 

Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa menjabarkan bahwa penekanan pasa sila ini bukan pada kata Tuhannya, karena urusan Tuhan adalah urusan keyakinan masing-masing individu sesuai agama dan kepercayaan yang ia anut. Melainkan Ketuhannya yang berarti sifat “menuhan”. Yang dimaksud adalah berproses meniru, mendekati, dan menjiwai sifa cinta kasih Tuhan. Apapun agama dan Tuhan yang ia yakini, jika tiap warga negara berusaha untuk meniru, mencoba mendekatkan diri, dan menjiwai sifat cinta kasih Tuhan sesuai dengan tuntunan agama dan kepercayannya, maka Insya Allah akan sampai pada titik keesaan, yaitu berlomba-lomba dan bersatu dalam kebaikan.

 

Panasakkang Maros, 05 Agustus 2020



Comments