Tepat 17 Agustus 2020, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berumur 75 tahun. Sebuah ukuran umur yang sudah tidak muda lagi. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Artinya bahwa pendirian republik ini mengacu pada kemerdekaan seluruh umat manusia termasuk bangsa Indonesia yang terbentang dari Sabang di Aceh hingga Merauke di Papua. Seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali seharusnya menikmati kemerdekaan ini termasuk kemerdekaan dalam hal beragama dan berkeyakinan. Lanjutan daripada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 jika kita melihat Pasal 29 Ayat 2 sudah sangat jelas bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduknya untuk memeluk agama dan kepercayaan serta cara peribadatan sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Tetapi pada kenyataannya, sekelompok warga negara dari Kabupaten Sampang di Pulau Madura Provinsi Jawa Timur belum mendapatkan kemerdekaan itu. Mereka yang diusir dari kampung halamannya karena memiliki pemahaman agama yang berbeda dari kelompok agama lain bahkan menjadi pengungsi di negeri sendiri. Tak tanggung-tanggung mereka mengungsi di Sidoarjo sudah hampir delapan tahun. Ironis memang, di saat kita gembor-gemborkan untuk mendukung kemerdekaan bangsa lain, di negeri kita sendiri justru sekelompok masyarakat dikebiri kemerdekaan beragama dan berkeyakinannya. Jika di Timur Tengah sana, Israel mengusir penduduk lokal Palestina dikarenakan sentimen keagamaan dengan dogma mereka adalah bangsa pilihan Tuhan. Maka di Indonesia, para pengungsi Sampang ini juga terusir karena dituduh melakukan penistaan agama. Jadi dalam hal ini ada sekelompok masyarakat yang merasa dirinya menjadi pembela agama, dan menuduh kelompok warga lain menistakan agama hanya karena memiliki pemahaman agama yang berbeda. Apa bedanya mereka dengan motivasi Israel di Timur Tengah yang sama-sama menggunakan isu agama. Maka saya dapat katakan, tragad Sampang ini adalah Palestina lain yang terjadi di nusantara.
Jika kita bisa memahami kelompok masyarakat lain percaya bahwa Tuhan punya Anak walaupun dalam kepercayaan islam itu tidak dibenarkan, mengapa kita tidak bisa menghargai kepercayaan masyarakat yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki penerus yang telah ditetapkan. Jika kita bisa memahami orang lain yang percaya adanya Dewa-Dewi, maka mengapa kita tidak bisa memahami kelompok lain yang percaya bahwa mereka yang ada di sekeliling Nabi Muhammad SAW bisa saja salah. Jika kita bisa memahami kelompok lain yang percaya jika ada Anak Tuhan yang mati untuk menebus dosa seluruh umat manusia, maka mengapa kita seperti kepanasan ketika ada kelompok masyarakat yang memperingati kematian cucu Nabi Muhammad SAW.
Mengapa memperingati kematian para pembesar agama maupun mereka yang dikatakan adalah keturunan Nabi Muhammad SAW bisa dilakukan, tetapi memperingati tragedi kesyahidan cucu Nabi Muhammad SAW itu tidak bisa. Apakah mereka para pembesar agama dan yang dikatakan keturunan Nabi Muhammad SAW memiliki keutamaan yang lebih daripada cucu Nabi Muhammad SAW sehingga peringatakan kematiannya boleh dilakukan sedangkan untuk cucu Nabi Muhammad SAW tidak boleh. Bukankah cucu Nabi Muhammad SAW adalah darah daging langsung dari Nabi Muhammad SAW yang tentu pernah merasakan nikmat belajar langsung dari beliau. Sedangkan para pembesar agama dan mereka yang dikatakan keturunan Nabi Muhammad SAW adalah orang yang memiliki jarak 14 abad dengan beliau. Saya yakin dan percaya, peringatakan kesyahidan cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Husain akan kembali membuat para pembenci keluarga Nabi Muhammad SAW ini akan keluar dari sarangnya untuk membubarkan acara ini. Seharusnya pihak penegak hukum dalam hal ini intelijen sudah melakukan antisipasi munculnya gerakan intoleran yang akan mengganggu jalannya peringatan haul super habib ini. Ya betul bahwa Husain cucu Nabi Muhammad SAW ini adalah super habib, ia bahkan lebih habib dari seluruh habib yang ada di Indonesia dan sebenarnya tidak dapat dibandingkan.
Refleksi 75 tahun kemerdekaan adalah kembalinya pengungsi Sampang ke kampung halaman mereka. Dan tidak ada lagi intimidasi, persekusi, serta teror terhadap mereka yang menjalankan kepercayaan agama sesuai dengan yang mereka yakini. Para pengungsi Sampang dan para pecinta Husian juga adalah warga negara Indonesia yang seharusnya diperlakukan sama. Jika ada yang mengatakan mereka menistakan agama, sudah seharusnya mereka kembali membaca Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang berbicara tentang kemerdekaan beragama dan berkepercayaan. Aturan ini merupakan konstitusi negara kita sehingga aturan dibawahnya adalah aturan yang inkonstitusional ketika bertentangan dengan ini termasuk aturan penistaan agama. Sehingga tidak diperlukan lagi label sesat yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu. Selain kontraproduktif dengan harmonisasi kebebasan beragama dan berkepercayaan, keluaran lembaga ini dalam bentuk fatwa sesat justru menjadi semacam legitimasi untuk mengagresi keyakinan pihak lain atas nama agama. Sudah selayaknya lembaga ini dipertimbangkan untuk dibubarkan saja demi kerukunan umat beragama.
Jika memang pemerintah dan penegak hukum serius untuk memenuhi kemerdekaan beragama dan berkepercayaan warganya, maka terlebih dahulu tindakan nyata yang harus dilakukan adalah pulangkan pengungsi Sampang. Yang mereka butuhkan bukanlah relokasi tetapi rekonsiliasi. Mereka bukanlah teroris, mereka bukanlah koruptor, mereka bukanlah bandar narkoba, mereka hanyalah warga negara biasa yang dituduh melakukan kejahatan karena memiliki pandangan keagamaan yang berbeda. Dan yang kedua adalah jamin keamanan pelaksanaan kegiatan peringataan kesyahidan cucu Nabi Muhammad saw. Jika anda memang pecinta nabi Muhammad SAW, maka cintai juga cucu beliau dan salah satu bentuknya adalah menjamin terlaksananya peringatan haul super habib ini. Dan jika tidak, silakan pertanggung jawabkan kelak ketika Nabi Muhammad SAW bertanya bagaimana anda memperlakukan keluarga dan keturunan beliau SAW.
Merdeka….
Makassar, 17 Agustus 2020
Bagus
ReplyDelete