Peristiwa penyegelan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat terhadap tugu makam sesepuh Sunda Wiwitan menambah panjang daftar tindakan diskriminasi terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan bagi kaum minoritas terutama kaum penghayat kepercayaan tradisional. Sebelum peristiwa ini, tindakan diskriminatif negara terhadap mereka tercatat sudah banyak. Tindakan diskriminatif itu dapat berupa pelarangan beribadah. Selain itu tindakan diskriminatif juga dapat berupa sulitnya mendapatkan akta pernikahan seperti yang dialami oleh Dewi Kanti Setyaningsih, seorang penganut Sunda Wiwitan. Ketiadaan akta pernikahan ini akan berdampak terhadap masa depan anaknya dalam hal ketiadaan akta kelahiran. Ketiadaan akta kelahiran tentu akan berimbas akan suliatnya anak tersebut diterima di sekolah negeri karena dianggap sebagai anak dari pernikahan yang ilegal karena tidak dicatat oleh negara. Padahal pendidikan adalah hak dasar setiap anak Indonesia termasuk kaum Sunda Wiwitan.
Diskriminasi lain yang mereka terima adalah pemaksaan untuk memilih salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia, seperti yang dialami oleh kelompok kepercayaan tradisional Tolotang di daerah Amparita, Kabupaten Sidrap, Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka dipaksa untuk memilih apakah agama islam atau agama hindu. Padahal kepercayaan tradisional Tolotang ini adalah kepercayaan yang berasal dari nusantara dan bukanlah produk impor. Mereka adalah orang bugis yang merupakan penghuni asli nusantara dengan kepercayaan lokalnya. Walaupun sekarang sudah ada keputusan dari Menteri Dalam Negeri untuk bisa mengosongkan di kolom agama atau dengan menuliskan penghayat kepercayaan tradisional sebagai kepercayaan mereka. Apakah dengan diberikannya kebebasan mengosongkan pengisian kolom agama atau mencantumkan kepercayaan tradisional akan menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap mereka.
Hingga saat ini masih banyak dari masyarakat kita yang memandang sebelah mata para penghayat kepercayaan tradisional ini. Mereka dianggap kaum musyrikin karena kerap malakukan ritual ibadah yang dalam kacamata beberapa agama disebut menduakan Tuhan. Apakah memang seperti itu pemahaman mereka, tentu kita tidak boleh melakukan simplifikasi sebelum mengorek kebenaran dari pihak yang tertuduh. Bukankah seorang penjahat pun dalam pengadilan diberi hak membela diri sebelum hakim memutuskan bersalah atau tidak. Jika dengan melestarikan budaya para pengahayat kepercayaan tradisional ini disebut musyrik, maka bagaimana dengan konsep agama yang menyembah batu, patung, hingga sapi. Bukankah hal itu dapat juga dimaknai dengan menyekutukan Tuhan. Jika yang menyembah batu, patung, hingga sapi tidak dianggap menyekutukan Tuhan tetapi itu hanyalah simbol, mengapa para penghayat kepercayaan tradisional ini bisa dilabeli musyrik. Bukankah mereka juga hanya menampilkan simbol dalam menyembah Yang Maha Kuasa. Sekali lagi saya katakan, ini adalah bentuk diskriminasi yang jelas dan benderang.
Selalu saya akan kutip dasar dari kebebasan beragama dan berkepercayaan di negeri ini. Mari kita buka sekali lagi UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 yang berbunyi:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Jika kita menjadikan UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi di negera kita, maka seharusnya tindakan penyegelan makam sesepuh Sunda Wiwitan ini adalah tindakan inkonstitusional. Ini adalah tindakan diskriminasi terhadap kelompok tertentu dalam hal ini penghayat kepercayaan tradisinoal. Seharusnya negara hadir untuk memfasilitasi setiap agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Dan bukan menjadikan musyrik sebagai alasan untuk membatasi dan bahkan melarang kegiatan ibadah mereka karena definisi dari musyrik sendiri sangat absurd. Simbol tertentu jika disembah adalah musyrik bagi penghayat kepercayaan tradisional, sedangkan untuk agama tertentu menyembah simbol bukanlah musyrik. Ini merupakan cacat logika karena tidak bisa berpikir adil. Bukankah adil itu seharusnya dimulai sejak dalam pikiran.
Jika agama memiliki Kementerian Agama, harusnya penghayat kepercayaan tradisional ini juga difalitasi oleh negara misalnya dengan membuat Kementerian Kepercayaan Tradisional atau mengubah nama Kementerian Agama menjadi Kementerian Agama dan Kepercayaan Tradisional supaya tidak ada lagi diskriminasi untuk mereka. Bukankah beragama dan berkepercayaan sudah sangat jelas dilindungi oleh Undang-Undang Dasar negara kita. Ataukah mereka kaum penghayat kepercayaan tradisional ini tidak difasilitasi karena mereka tidak memiliki basis massa pemilih yang signifikan dalam membantu perolehan suara. Inilah susahnya ketika pemimpin negara hanya memikirkan kepentingan suara mayoritas walapaun saya sebenarnya benci menggunakan terminologi mayoritas dan minoritas karena kita sebenarnya sejak 1928 telah mengikrarkan diri sebagai sebangsa dan setanah air. Tetapi pada faktanya, memang seperti itulah yang terjadi. Ada diskriminasi dari sekelompok mayoritas di negeri ini terhadap kaum minoritas. Dan parahnya pemerintah memfasilitasi tindakan diskriminatif ini. Padahal kepercayaan tradisional ini sudah lama ada jauh sebelum kedatangan agama yang dibawa dari luar nusantara.
Saya sendiri beragama Islam, tetapi melarang kelompok tertentu baik agama maupun kepercayaan tradisional untuk beribadah bukanlah ajaran agama ini yang saya pahami. Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu. Konteks agama yang saya pahami juga dimaksudkan dalam hal ini kepercayaan tradisional. Jika kaum muslim bisa memahami bagaimana kepercayaan kaum Kristiani dengan konsep trinitas walaupun tentu tidak sesuai dengan ajaran islam, maka seharusnya umat islam juga harus bisa memahami jika ada kelompok masyarakat yang menjadi penghayat kepercayaan tradisional walaupun tidak sejalan dengan konsep Islam. Mari kita saling menghormati satu sama lain dengan tidak mengganggu kelompok lain. Ingat, Indonesia ini bukan hanya milik kaum muslim tetapi milik semua agama dan kepercayaan.
Panasakkang Maros, 24 Juli 2020
Comments
Post a Comment