Mengutip pernyataan dari seorang Ayatullah Haeri, seorang ulama dari negeri Persia tentang pendapatnya mengenai hubungan antara suami dan istri. Beliau berujar jika ia terbiasa membantu istrinya untuk menyiapkan makanan di rumah. Ia menambahkan jika membantu istri di rumah itu seperti jihad. Pendapat yang dikemukakan oleh Ayatullah Haeri ini seperti menjadi hal yang tidak biasa menjadi contoh di masyarakat. Bahkan ada semacam keyakinan masyarakat terdahulu jika perempuan atau dalam hal ini seorang istri hanya berkutat di 3 “ur”. Di kasur sebagai pemuas hasrat suaminya, di dapur untuk mempersiapkan makanan, dan di sumur untuk mencuci. Ada labelisasi seperti itu yang terkesan menempatkan perempuan pada pekerjaan itu-itu saja.
Sebenarnya dalam era modern seperti ini, labelisasi perempuan atau istri dengan konsep 3 ur itu sudah selayaknya dikaji ulang. Bahwa lelaki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang proporsional ketika berumah tangga. Saya pribadi melihat tugas utama dari seorang suami dalam berumah tangga adalah mencari nafkah. Sedangkan kewajiban utama seorang istri adalah menghormati suami dan kelak ketika anaknya lahir maka ia menjadi madrasah awal untuk pembentukan karakter anaknya. Konteks hak dan kewajiban yang proporsional inilah yang saya maksud bahwa menjadi kewajiban di satu pihak tetapi tidak menutup kemungkinan pihak lain ikut membantu. Seperti dalam urusan mencari nafkah yang menjadi tanggung jawab seorang suami dan tidak menjadi kewajiban dari seorang istri. Tetapi jika nafkah yang diperoleh suami tidak mencukupi, maka seorang istri boleh membantu mencarikan nafkah dengan ketentuan sudah mendapat izin dari suami. Karena tentu kewajiban utama sorang istri adalah menghormati suaminya, jika suaminya tidak mengizinkan untuk mencari nafkah maka tidak boleh baginya untuk melanggar dari ketetapan suaminya tersebut.
Sama halnya jika kelak mereka memiliki anak, maka pihak yang menjadi penanggung jawab awal pembentukan karakter anak adalah seorang ibu. Walaupun begitu, mendidik anak pun hendaknya tetap dilakukan oleh suami dalam kerangka ia sebagai seorang pemimpin keluarga. Seorang anak tetap membutuhkan sosok bapak yang tentu juga akan berperan dalam pembentukan karakter anak walaupun tidak sebesar dari pihak ibunya. Inilah yang menjadi tugas pokok diantara suami dan istri yang saya garis bawahi bersifat proporsional. Dalam artian sumai dan istri masing masing memiliki tugas utama tetapi tidak menutup kemungkinan mereka saling membantu untuk melakukan tugas pokoknya.
Di luar dari tugas utama suami dan istri ini, maka kedua pihak harus saling membantu. Memasak makanan, mencuci pakaian, hingga membersihkan rumah dan pekarangannya adalah tugas bersama. Tidak lagi pekerjaan itu identik hanya sebagai tugas seorang istri. Jika istrinya lagi sakit, maka tentu seorang suami yang baik harus melakukan pekerjaan rumah tangga itu. Dan seperti yang dikatakan oleh Ayatullah Haeri bahwa seorang suami itu melakukan jihad. Sama juga konteksnya dalam kacamata sebagai seorang istri. Ketika seorang suami sibuk mencari nafkah di luar rumah, apakah wajar jika istri yang tinggal di rumah hanya diam dan tidak melakukan pekerjaan rumah tangga.
Ini yang seharusnya dipahami bahwa pembagian kerja seorang suami yang mencari nafkah di luar rumah meniscayakan istri yang berdiam di rumah harus melakukan pekerjaan rumah tangga. Perbuatan tersebut oleh salah seorang ulama dikategorikan sedekah istri terhadap suaminya. Dikatakan sedekah karena itu bukan kewajiban, melainkan adanya kesadaran yang tergugah dari dalam dirinya untuk melaukan tugas tersebut di saat suami berjuangmencari nafkah di luar rumah. Bukankah bahterah rumah tangga itu adalah kerjasama diantara suami dan istri. Artinya suami dan istri adalah rekanan yang kelak bersama-sama membentuk keturunan yang unggul. Hentikanlah pemahaman yang keliru dan menyamakan istri itu seperti budak yang oleh suaminya bebas diperlakukan apa saja karena menganggap dirinya sebagai pemimpin keluarga.
Panasakkang Maros, 26 Juli 2020
Comments
Post a Comment