Tanggal 21 Juni selain diperingati
sebagai tanggal wafatnya sang Putra Fajar Bung Karno, momen ini juga
diperingati sebagai tanggal lahir dari presiden ke-7 Republik Indonesia yaitu
Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi. Sebenarnya ada dua peristiwa yang
sangat penting di tanggal 21 Juni ini, ada yang wafat yaitu Bung Karno dan ada
yang lahir yaitu Jokowi di tanggal yang bersamaan. Entah kebetulan atau tidak,
walapaun sebenarnya antara Bung Karno dan Jokowi memang tidak memiliki ikatan
darah secara langsung. Yang sama dari kedua tokoh ini adalah mereka berdua merupakan
orang yang pernah/sedang menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Yang
menarik dari Jokowi adalah perjalanannya menuju RI 1 dicapai dengan
kegelimangan sebagai seorang pejabat pemerintahan.
Perjalanan sebelum menjadi seorang
Presiden, dimulai ketika Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo selama 2
periode. Dan setelah itu ia berhasil menjadi pemenang di kontestasi pemilihan Gubernur
DKI Jakarta. Artinya Jokowi bukanlah sosok yang tiba-tiba dipoles untuk menjadi
seorang Presiden. Ia memiliki latar belakang kepemimpinan yang jelas dan bukanlah
sosok kemarin sore seperti seorang politikus yang langsung menjadi calon Gubernur
karena faktor sang ayah. Mirip seseorang yang mendapat wild card hingga menjadi
penguasa di sebuah partai politik.
Jokowi adalah anomali dari
kebiasaan politikus Indonesia yang menumpang nama besar keluarga untuk
bertarung dan berkontestasi politik. Ia tidak membutuhkan itu semua untuk
menjadi seorang pemenang. Ia bukan keturunan Bung Karno dan bukan pula pelanjut
Dinasti Cendana apalagi Dinasti Cikeas. Ia bukanlah anak konglomerat dan bukan
pula penguasa dari keluarga militer. Ia dahulu hanyalah warga biasa sama
seperti kita yang berhasil mendobrak kemapanan sistem dinasti. Keberhasilannya akan
menginspirasi masyarakat biasa untuk memiliki keyakinan bahwa semua masyarakat Indonesia
punya hak yang sama menjadi pemimpin di negeri ini. Apakah itu anak tukang
kayu, anak tukang becak, anak petani, hingga anak nelayan atau dalam bahasa Bung
Karno Kaum Marhaen, punya kesempatan yang sama menjadi orang nomor satu di
negeri ini.
Sudah bosan kita melihat wajah
lama yang mengendalikan arah kepemimpinan negeri ini. Cucu Bung Karno yang ada
di pemerintahan sekarang walaupun di aliran darahnya mengalir darah Bung Karno,
tetapi saya tidak yakin jika ia betul memahami falsafah Marhaenisme. Putra
Mahkota Cikeas sebagai pelanjut generasi SBY jika hanya menggandeng nama besar
ayahnya, maka akan sulit menjadi pemimpin di negeri ini apalagi jika kelasnya
hanya karbitan. Itu belum termasuk dengan munculnya salah satu penerus Dinasti Cendana
yang akhirnya mendirikan partai. Latar belakangnya sebagai pembunuh Hakim Agung
mengindikasikan bahwa orang ini sangat berbahaya ketika diberikan kesempatan
memegang tampuk kekuasaan nasional. Bisa jadi jika kita berbeda pendapat, maka
nasib kita akan seperti Hakim Agung yang dibunuh dengan keji.
Kembali ke Jokowi, apakah
kegemilangan Jokowi berkarir hingga menjadi Presiden adalah jaminan bahwa Jokowi
itu sosok sempurna untuk Republik yang berdiri pada 17 Agustus 1945 ini. Maka jawaban
saya adalah “bukan”. Betul bahwa Jokowi mendobrak kemapaman sistem dinasti
politik di negeri ini, tetapi bukan berarti ia adalah sosok yang sempurna. Betul
bahwa ia melakukan pembangunan yang sangat masif di negeri ini dari Sumatera
hingga Papua. Betul bahwa ia membantu masyarakat miskin berobat dengan gratis
dalam sistem yang terintegrasi secara nasional yaitu konsep JKN. Betul bahwa ia
adalah sosok yang berani membubarkan sebuah organisasi transnasional yang ingin
mengganti pancasila. Tetapi tetap saja Jokowi punya catatan merah di rapor
pemerintahannya.
Jokowi lemah dalam penegakan HAM terutama
dalam pemenuhan kebebasan beragama dan berkeyakinan selama hampir 6 tahun
menjadi Presiden. Kasus konflik Sampang yang berlatar belakang sentimen agama walaupun
ini warisan dari Rezim Cikeas tetapi tetap saja ada tanggung jawab negara untuk
memulangkan mereka ke kampung halaman. Hingga saat ini Jokowi seperti
membiarkan warga yang menjadi korban konflik Sampang menjadi pengungsi di Sidoarjo
selama hampir 8 tahun atau 6 tahun selama kepemimpinannya. Bahasa yang
dikemukakannya ketika debat capres bahwa di periode keduanya ini ia sudah tidak
memiliki beban, pada kenyatannya sama sekali tidak menyentuh pengungsi konflik Sampang
di Sidoarjo. Ia dan tentu saja Khofifah sebagai Gubernur Jawa Timur terlihat tidak
punya kemampuan memenuhi kebutuhan dasar warga konflik Sampang yaitu kebebasan
beragama. Mereka seperti macan ompong ketika harus berhadapan dengan ormas lokal
yang menggunakan fatwa lokal untuk mempersekusi sekelompok orang berdasarkan
pemahaman agama. Padahal fatwa sebuah ormas bukanlah produk hukum positif yang
mengikat dan dijadikan dalih untuk menindak sekelompok orang. Selain kasus Sampang,
masih banyak persekusi yang dilatar belakangi oleh sentimen agama dan keyakinan
yang itu terjadi di zaman Jokowi, dan sepertinya ia kurang tegas di persoalan
ini.
Jokowi juga lemah dalam memilih
dengan tepat kebutuhan dan skala prioritas susunan kabinetnya. Ia membentuk
staf khusus milenial yang ujung-ujungnya hanyalah untuk menghabiskan anggaran. Para
pemuda-pemudi yang bahkan tidak pernah merasakan keringat demonstrasi dan
sekaligus saya katakan mereka itu karbitan, pasca dilantik sebagai staf khusus
milenial sama sekali tidak memiliki visi dan misi yang jelas dalam membangun
negeri ini. Jokowi juga masih menggunakan wajah-wajah lama dalam penunjukan
menterinya yang sebenarnya sudah layak diganti dengan kaum muda yang militan,
progresif, dan nasionalis. Masih ada wajah Sri Mulyani Indarwati yang konsep
ekonominya masih berhaluan neo liberalisme. Masih ada menteri segala urusan
yang sebenarnya kadang melompati tupoksinya sendiri. Memakai Meneteri Agama
dari kalangan militer yang nyatanya tidak bisa menjadi menteri semua agama
karena yang banyak diurus hanyalah urusan umat islam. Bahkan cenderung hanya
diam terhadap persekusi yang dilatar belakangi sentimen keagamaan. Termasuk
juga Menteri Kelautan yang dengan pemikiran sempit justru menjual benih
lobster. Padahal sudah selayaknya ia diberhentikan dan dikembalikan posisi Ibu Susi
Pudjiastuti. Dan sebenarnya masih banyak contoh yang lain lagi.
Terlepas dari itu semua, apa yang
dilakukan oleh Jokowi saya apresiasi dengan sangat tinggi. Ia sudah berbuat
banyak untuk masyarakat Indonesia walauapun tetap saya katakana disana sini
masih banyak kekurangan. Semoga 4 tahun sisa masa pemerintahannya segala
kekurangan tersebut dapat diperbaiki. Selama ulang tahun Pakde, saya
pendukungmu yang rasional. Saya memang memilihmu selama 2 kali pilpres tetapi
tidak segan-segan saya akan mengkritikmu jika memang pantas dikritik. Awasi orang
di sekelilingmu Pakde, mereka bisa saja menusukmu dari belakang. Salam hormat
dari saya.
Makassar, 22 Juni 2020
Comments
Post a Comment