Sebenarnya adalah hal yang baik ketika
semua elemen bangsa ini sudah berkata bahwa mereka adalah pembela pancasila. Baik
itu dari kelompok agamis, maupun mereka yang menamakan diri sebagai golongan
nasionalis. Hingga pembelaan itu berujung pada aksi unjuk rasa menolak RUU HIP
yang dianggap akan meronrong pancasila dalam bentuk diksi trisila dan ekasila. Sebenarnya
diksi trisila dan ekasila bukanlah diksi baru, tetapi adalah sebuah bentuk pemikiran
dari Bung Karno. Di dalam tulisan yang berjudul “Kapitalisme Bangsa Sendiri”
(1932), ia mengingatkan agar kita tidak mengembangkan suatu nasionalisme feodalisme
dan nasionalisme borjuis. Dua jenis nasionalisme itu bertentangan dengan nasib
rakyat jelata yang disebutnya sebagai kaum Marhaen. Dua jenis
nasionalisme ini juga bertolak belakang dengan keluaran dari kemerdekaan bangsa
ini yang harus menjadi jalan emas bagi perubahan struktur sosial. Itulah
mengapa ia kemudian menggagas sosio-nasionalisme. Sebuah nasionalisme yang welas
asih (socius) yang membasiskan perjuangan nasional di atas kesadaran akan
ketimpangan sosial.
Ketika Bung Karno berpidato pada
1 Juni 1945, ia memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila karena ia ingin
membangun kesinambungan antara pikiran awalnya dan ide dasar negara sebab apa yang
disebut trisila itu merupakan ide-ide awal yang digagasnya sejak 1930-an hingga
awal 1940. Ketika ia menyebut 'perasan', maka yang dimaksudnya adalah sebuah
gagasan konseptual. Sosio-nasionalisme dimaksudkan sebagai sebuah kesatuan sila
kebangsaan dengan kemanusiaan. Sosio-demokrasi dimaksudkan sebagai kesatuan
sila kerakyatan dan keadilan sosial. Ditambah dengan Ketuhanan. Arti
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sama sekali tidak berhubungan dengan
paham komunisme maupun kapitalsme. Bung Karno mendefinisikan kata sosio sebagai
masyarakat. Sehingga yang dimaksudnya adalah nasionalisme masyarakat dan
demokrasi masyarakat. Dengan demikian, sosio-nasionalisme merupakan
nasionalisme yang berdasar pada kesadaran akan ketertindasan masyarakat.
Demikian juga demokrasi, Bung Karno beranggapan bahwa yang dipenuhi bukan hanya
hak berpolitik, tetapi yang harus dipenuhi adalah hak ekonomi rakyat. Dalam sebuah
diskusi di stasiun televisi swasta, ada yang beranggapan bahwa diletakkanya
Ketuhanan di sila yang ketiga dianggap sebagai sebuah keburukan. Apakah memang
seperti itu substansi sebuah posisi terbawah dianggap sebagai posisi yang
buruk. Bagaimana jika posisi yang di bawah dianggap sebagai pondasi dari dua
sila di atasnya. Bukankah memang pondasi negara kita adalah ketuhanan.
Kemudian yang banyak disorot
adalah istilah Ketuhanan yang Berkebudayaan. Dalam pidato 1 Juni 1945, Bung
Karno menyampaikan "Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Prinsip
Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip
Ketuhanan!" Kemudian ia menambahkan, "Segenap rakyat hendaknya
bertuhan secara kebudayaan. Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan
yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya jikalau
saudara-saudara menyetujui bahwa Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan Yang
Maha Esa!" Itu yang dimaksud oleh Bung Karno sebagai Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Ia tidak berkata jika Tuhan itu harus berbudaya melainkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Ia juga hanya menganjurkan agar kita mengamalkan iman tersebut secara
berbudaya, yakni secara beradab dengan menghormati umat agama lain. Oleh karena
itu, Ketuhanan yang Berkebudayaan bukanlah mazhab keagamaan, melainkan praktik
beragama yang berbudaya. Termasuk yang dipahami tentang ekasila. Bahwa diksi
ekasila berarti nilai gotong royong tidak menghapus Ketuhanan. Justru
sebaliknya, gotong royong mempraksiskan Ketuhanan demi perwujudan kesejahteraan
bersama. Walaupun pada akhirnya ide dari Bung karno ini dalam sejarahnya tidak
disetujui oleh para peserta rapat pada saat itu, tetapi bukan berarti ide ini
adalah antitesa dari pancasila. Ini yang kadang tidak dipahami oleh sebagian
orang dan malahan sekarang dijadikan panggung untuk mendadak menjadi pembela
pancasila.
Mereka yang sekarang mendadak
menjadi pembela pancasila adalah mereka yang dalam sejarahnya menghina
pancasila dengan mengatakan sebagai toghut karena dianggap dijadikan semacam
sesembahan oleh manusia. Apakah menganggap pancasila sebagai thogut adalah
budaya yang dikaji dan diambil dari masyarakat Indonesia. Mereka yang sekarang
mendadak menjadi pembela pancasila juga adalah mereka yang tidak bisa
menghargai budaya leluhur bangsa ini. Candi Borobudur dikatakan sebagai tempat
kemusyrikan terbesar di Indonesia. Pakaian nusantara yang dalam kacamata mereka
tidak menutup aurat mau dihilangkan dan diganti dengan pakaian impor. Apakah ini
yang dinamakan membela pancasila. Bukankah mereka juga yang berpura-pura
membela pancasila ini adalah mereka yang sangat alergi dengan keberagaman. Mereka
menganggap agama dan mazhab tertentu adalah sesat dan wajib diperangi sehingga
halal darahnya untuk dibunuh. Belum termasuk juga bahwa mereka adalah kelompok
yang sangat membenci praktik kepercayaan tradisional nusantara karena dianggap
musyrik. Itu belum termasuk mereka yang dalam sejarahnya begitu getol ingin
mengimplementasikan negara khilafah dan menghilangkan sekat negara bangsa. Bukankah
itu adalah bentuk gerakan separatis yang nyata dan terang. Mengapa hingga saat
ini mereka seperti tidak tersentuh oleh hukum.
Jadi siapa sebenarnya yang
membela dan mengkhianati pancasila. Mengkritik trisila dan ekasila sebagai
gagasan Bung Karno bukanlah sesuatu yang salah karena kebebasan berpendapat
dijamin oleh negara ini seperti penghargaan terhadap kebebasan beragama dan
berkepercayaan. Tetapi mendadak menjadi pembela pancasila yang dalam sejarahnya
bahkan menjadi antitaesa pancasila seperti saja orang yang melempar batu tetapi
menyembunyikan tangannya. Pembelaan yang penuh kepura-puraan dan kedustaan
saja.
Makassar, 29 Juni 2020
Comments
Post a Comment