Tanggal 21 Juni dalam sejarah bangsa Indonesia
menjadi momen yang spesial. Bagaimana tidak, di tanggal ini terjadi sebuah peristiwa
besar nan memilukan yaitu wafatnya sang proklamator sekaligus Presiden Pertama Republik
Indonesia yaitu Soekarno atau yang lebih lebih dikenal dengan sapaan Bung Karno
pada tahun 1970. Prosesi menjelang pemakaman Bung Karno salah satunya
diabadikan oleh Anwari Doel Arnowo. Ia bercerita ketika itu tanggal 21 Juni
1970 sudah berada di sekitar sebuah liang lahat yang sederhana sekali seperti
pada liang laha pada umumnya. Di sekitar situ sudah ada banyak manusia yang
bermuka murung. Ada yang matanya penuh dengan air mata tetapi bersinar dengan
garang dan kelihatan roman muka yang marah. Ia pun sebagai orang yang berada di
pemakaman itu ikut marah. Tetapi harus tetap menahan diri agar tidak terlau
kentara oleh intel. Sesuai amanat almarhum, Bung Karno meminta agar dimakamkan
di sebuah tempat pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat.
Hampir semua berasumsi bahwa yang dimaksud oleh Bung Karno adalah rumahnya di Batu
Tulis Bogor.
Tetapi wasiat itu urung dilakukan oleh penguasa
pada saat itu yang secara sepihak memutuskan agar jasad sang proklamator
dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah tempat kelahiran Bung Karno. Ini adalah sebuah kecerobohan sejarah karena
faktanya Bung Karno lahir di Surabaya dan bukan di Blitar. Bung Karno lahir
dengan nama Koesno yang merupakan anak dari pasangan Raden Soekemi
Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Setelah matahari tinggal sepenggalan
sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat
tujuan. Tampak komandan upacara Jenderal Panggabean memulai upacara. Menurut
Kapolri saat itu Hoegeng Imam Santoso antrian yang mengiringi pemakaman Bung Karno
ini hingga di batas Kota Wlingi atau sepanjang 11 KM. Ada yang dari Madiun, Banyuwangi,
bahkan ada yang dari Bali. Ia pun menambahkan dalam bahasa Inggris bahwa
peristiwa ini adalah “There goes a very great man”. Apalagi ambulans saat itu
yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang proklamator
seperti beliau.
Setelah proses pemakaman selesai, beberapa hari
kemudian semua makam pahlawan di Taman Makam Pahlawan ini dipindahkan ke
Mendukgerit. Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan bahwa di lokasi
pemakaman sudah penuh. Padahal pada kenyataannya kemudian ada proyek
pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar. Sejarah mencatat
bahwa sejak 1971 hingga 1979 makam Bung Karno tidak bisa diakses secara umum
dan dijaga ketat oleh satu pasukan tentara. Jika hendak mengunjungi makam ini,
harus ada izin terlebih dahulu dari Komando Distrik Militer (KODIM). Ini
menjadi tanda tanya besar mengapa ketika kita ingin berziarah ke makam salah
satu manusia besar yang pernah dilahirkan di Indonesia ini harus meminta izin
ke pihak KODIM. Apa urusan militer dengan izin kunjungan ke makam pahlawan
proklamator. Toh jika ini berbicara keamanan dan ketertiban negara, maka
tupoksi dari itu semua adalah pihak kepolisian. Tupoksi dari militer adalah
alat pertahanan negara dan bukan sebagai alat untuk membatasi akses ziarah ke
makam pahlawan. Inilah kerancuan tupoksi yang dibangun oleh rezim orde baru
ketika itu.
Bagi para pemuja Bung Karno, beliau bukan hanya
sekadar seorang proklamator. Tetapi lebih dari itu bahwa Bung Karno adalah
adalah seorang pemimpin dan juga adalah seorang bapak. Apapun yang
disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka, maka itu semua
dianggap omong kosong saja. Dalam hubungan Bung Karno dengan rayat, tidak ada
unsur uang yang berbicara. Mungkin sebagian kalangan menilai bahwa itu adalah
hal yang berlebihan, tetapi dalam sejarahnya Bung Karno memang adalah Bung Besar
yang jasanya sangat besar untuk negeri ini. Ia adalah sang Putra Fajar yang
sanggup mempersatukan nusantara dalam bingkai Indonesia. Dan bahkan siapapun
yang ingin mengerdilkan peranannya bahkan meminggirkannya dalam perjuangan
bangsa Indonesia, maka hal itu akan menjadi kesia-siaan saja.
Saya teringat dengan peristiwa besar G30S, sebuah
peristiwa yang mengguncang skala politik nasional ketika itu sebelum ia turun
dari tampuk kepemimpinan. Peristiwa yang dianggap kudeta gagal ini malah
membuatnya turun dari jabatan sebagai Presiden. Sangat berkontradiksi dengan
logika kudeta yang seharusnya. Ketika kudeta berhasil maka yang melaksanakan
kudeta akan menjadi pemimpin dan yang dikudeta akan turun dari jabatannya. Dan
ketika kudeta gagal, seharusnya tampuk kepemimpinan tidak akan berubah. Tetapi
yang terjadi menjelang berakhirnya jabatan Bung Karno justru antitesa dari logika
kudeta yang seharusnya. Pelaksanaan kudeta yang gagal justru menghasilkan pergantian
tampuk kepemimpinan. Ini aneh dan bahkan sejarah mencatat rezim yang berkuasa
setelah era Bung Karno adalah rezim terlama yang memimpin negeri ini.
Terima kasih Bung Besar karena atas jasamu dari Sumatera
hingga Papua bisa menjadi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Panasakkang Maros, 21 Juni 2020
Comments
Post a Comment