Akhir-akhir ini di tanah air selain
isu tentang virus corona, maka pembahasan tentang omnibus law mendapat sorotan
yang luar biasa dari publik. Beberapa kalangan terutama dari kalangan buruh dan
mahasiswa menyuarakan untuk menolak rancangan undang-undang ini. Mungkin mereka
mengambil pelajaran dari penolakan RKUHP kemarin yang akhirnya paling tidak
ditunda dulu pembahasannya untuk sementara bahkan berharap untuk ditolak, maka
seperti itulah tujuan protes terhadap omnibus law ini. Saya melihat berdasar
pengalaman RKUHP tahun lalu, banyak yang melakukan kritikan tetapi sebenarnya
mereka belum mendalami betul rancangan undang-undang tersebut. Mereka hanya
mengambil acuan dari status-status di media sosial dan sialnya yang melakukan
itu adalah para ketua-ketua lembaga kemahasiswaan yang seharusnya menjadi
patron intelektuaitas di kalangan pemuda.
Mari kita bedah terlebih dahulu apa
arti dari kata omnibus itu sendiri. Omnibus berasal dari bahasa latin yaitu
omnis yang berarti banyak. Tujuan dibuatnya omnibus law ini memang mencoba
merampingkan beberapa produk perundang-undangan di negeri ini dalam satu payung
hukum. Atau dengan kata lain omnibus law ini adalah rancangan undang-undang
lintas sektor. Secara garis besar rancangan undang-undang ini berbicara tentang
ketenagakerjaan, perpajakan, dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Saya tidak akan membahas ayat per ayat dari rancangan undang-undang
ini. Di artikel ini saya hanya akan membahas beberapa ayat di rancangan
undang-undang ini yang saya khususkan pembahasannya mengenai ketenagakerjaan.
Maklum hingga saat ini saya masih berstatus sebagai karyawan sehingga sangat pas
jika pembahasannya berbicara tentang perihal ketenagakerajaan.
Pembahasan di artikel ini akan
mencoba mengambil contoh pasal di dalam omnibus law ini kemudian
mengomparasikan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan yang saat ini menjadi rujukan aturan ketenagakerjaan di
Indonesia. Saya awali dengan Pasal 89 omnibus law yang berbunyi, “Pengusaha wajib
memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Waktu istirahat wajib
diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama 4 jam, dan
istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.”
Sementara di Pasal 79 UU Nomor 13
Tahun 2003 memiliki redaksi yang kurang lebih sama. Hanya yang membedakan di
poin istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari
untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Perbedaaan yang mencolok yaitu jika di undang-undang
ketenagakerjaan mengenal 2 macam istirahat mingguan yaitu ada yang 6 hari kerja
dan ada yang 5 hari kerja, sedangkan di omnibus law hanya dikenal 6 hari kerja
dengan waktu istirahat sehari dalam seminggu. Waktu kerja yang lebih banyak
satu hari di produk omnibus law bagi saya bukanlah hal yang bisa dijadikan
patokan akan terjadinya eksploitasi pekerja/buruh secara berlebihan.
Di era milenial seperti ini,
peningkatan produktivitas dan kinerja memang harusnya menjadi prioritas.
Apalagi di perusahaan swasta yang tidak disubsidi oleh pemerintah, peningkatan
hari kerja memang sangat dibutuhkan guna mendongkrak produktivitas kerja.
Bahkan seharusnya, 6 hari kerja tidak hanya ditujukan kepada pekerja/buruh
perusahaan swasta. Instansi pemerintahan dan BUMN pun seharusnya bekerja selama
6 hari kerja dalam seminggu terutama mereka yang bersentuhan langsung dengan
pelayanan masyarakat. Bukan malahan memunculkan wacana untuk memangkas hari
kerja mereka menjadi 4 hari kerja saja.
Selanjutnya adalah Pasal 89 ayat
24 omnibus law yaitu “Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring
pengaman”. Ketentuan ini tidak berlaku untuk industri kecil dan industri padat
karya. Aturan di omnibus law ini merupakan perubahan dari Pasal 88 Ayat 4 UU
ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 yang berbunyi, “pemerintah menetapkan upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup
layak dan dengan mempertimbangkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”.
Adanya penambahan redaksi di
omnibus law yang mengecualikan upah minimum bagi industri kecil dan padat karya
yang tidak terdapat di undang-undang ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat
penting untuk memacu pertumbuhan industri kecil seperti UMKM karena tidak takut
lagi jika di kemudian hari akan dituntut oleh karyawannya karena melakukan
penggajian di bawah upah minimum. Kita mengambil contoh untuk ilustrasi
penggajian berdasar upah minimum untuk perusahaan yang baru berdiri, misalnya
perusahaan donat. Dalam 1 lusin penjualan anggaplah keuntungan donat mencapai
Rp. 10.000,- dengan asumsi per hari ada 10 lusin yang terjual maka ada
keuntungan senilai Rp. 100.000,-/hari. Sehingga dalam sebulan ada keuntungan
yang di dapat sebesar Rp. 3.000.000,-. Kemudian biaya yang keluar adalah sewa
tempat anggaplah Rp 500.000,-/bulan sehingga keuntungan yang di dapat setelah
biaya sewa tempat senilai Rp. 2.500.000,-.
Itu belum termasuk dikurangi
dengan biaya BBM, listrik, penyusutan etalase donat yang mungkin saja mencapai
Rp. 200.000,- sehingga keuntungan sisa menjadi Rp. 2.300.000,-. Jika perusahaan
donat tersebut diharuskan menggaji karyawan minimal UMP, kita ambil contoh untuk
wilayah kota Makassar yang hampir mencapai Rp. 3.000.000,- maka tentu
perusahaan tidak akan sanggup menggajinya. Padahal target utama presiden Jokowi
adalah menggenjot pertumbuhan UMKM. Bagaimana UMKM mau tumbuh jika diharuskan
memberikan gaji kepada karyawan ketika hitungannya justru akan merugi. Ini yang
saya lihat rancangan omnibus law efektif untuk menggairahkan pertumbuhan UMKM
tanpa harus menggaji karyawannya dengan besaran minimal upah minimum di saat
mereka baru mencoba untuk merintis usaha. Upah minimum yang sangat tinggi bisa
menjadi buah simalaka, di satu sisi tentu akan sangat memberikan dampak positif
kepada karyawan, tetapi di sisi lain akan mematikan industri UMKM di negeri ini
karena akan mengeluarkan biaya besar untuk gaji karyawan sementara usaha mereka
baru berjalan dengan omzet seadanya.
Selanjutnya adalah pasal 89 ayat
45 dalam omnibus law perihal pemutusan hubungan kerja. Redaksinya sangat mirip
dengan undang-undang ketenakerjaan nomor 13 tahun 2003 pasal 156. Bahwa ketika
terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon,
uang penghargaan, dan uang pergantian hak. Rincian yang membedakan hanyalah
uang penghargaan. Jika di undang-undang ketenagakerjaan maksimal masa kerja 24
tahun atau lebih akan memperoleh 10 bulan upah. Sedangkan di omnibus law
maksimal yang didapat adalah 8 bulan upah untuk kategori karyawan 21 tahun ke
atas masa baktinya. Alasan di balik penurunan ini adalah banyanya kasus dimana
perusahaan tidak sanggup memenuhi kebutuhan ini sehingga pemerintah melihat ada
angka ideal yang bisa dipenuh perusahaan dan di sisi lain tetap akan memberi
perlindungan yang maksimal kepada karyawan pasca ia dirumahkan.
Setelah melihat beberapa poin di
omnibus law yang sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan
undang-undang ketenagakerjaan, ada kesan apriori dari mereka yang menolak.
Padahal di omnibus law ada ruang yang sama diberikan untuk keadilan pengusaha
terutama mereka yang baru merintis umumnya teman-teman UMKM. Ingat bahwa rakyat
Indonesia bukan hanya buruh dan mahasiswa, para pengusaha dan calon pengusaha
pun adalah rakyat Indonesia yang harus diberikan hak dan kewajiban yang layak
dan adil. Jika pekerja/buruh menuntut upah minimum kepada pengusaha UMKM, maka
pengembangan caon-calon wirausaha akan sangat sulit karena dibayangi keharusan
menggaji karyawan dengan upah minimum di saat usaha mereka masih minimum.
Terakhir saya ingin sampaikan, mari kita cermati dulu sesuatu baru kemudian
kita mengkritisinya supaya kelihatan lebih ilmiah.
Comments
Post a Comment