LOCK DOWN ITU BERAT, BIAR NEGARA LUAR SAJA


Semakin mewabahnya virus corona ini, memunculkan kembali untuk melakukan opsi lock down atau karantina guna membatasi penyebaran virus tersebut. Di beberapa Negara memang telah melakukan kebijakan ini guna antasipiasi penyebaran virus corona. Di China, kebijakan karantina memang membuahkan hasil yang positif. Setelah berjuang selama berbulan-bulan, negara komunis ini berhasil menekan angka penyebaran virus corona bahkan mencapai angka 0. Kebijakan ini berhasil di China dikarenakan adanya kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah. Sistem politik komunis dengan kecendurungan sentralisasi kebijakan, memungkinkan aturan ini berjalan efektif. Masyarakat, pemerintah, dan militer saling bersinergi dalam mendukung kebijakan ini.

Lain halnya dengan yang terjadi di Italia. Negara ini juga telah melakukan kebijakan karantina tetapi hasilnya hingga saat ini tidak sesuai dengan harapan. Angka kematian dan penyebaran masih meningkat sehingga Perdana Menteri Italia meminta bantuan kepada China untuk menanggulangi wabah corona ini ketika sekutu Uni Eropa dan NATO nya seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris tidak memberikan respon postiif. Italia dengan sistem pemerintahan yang cenderung liberal pasca kematian Mussolini sang pemimpin fasis, memang akan sangat sulit menerapkan karantina. Dengan latar belakang yang terbiasa bebas, masyaraktnya akan merasa terkungkung ketika harus dikarantina, dan imbasnya kebijakan ini tidak efektif. Bahkan tim medis dari China yang datang ke Italia merasa heran ketika negara sudah menetapkan kebijakan karantina, mobilitas masyarakat memang cenderung turun tetapi tetap saja protokol karantina tidak terpenuhi. Sehingga angka penyebaran virus dan kematian masih cenderung tinggi.

Terus bagaimana dengan Indonesia ketika kebijakan karantina ini diterapkan. Dalam undang-undang nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, ada beberapa poin yang harus diperhatikan ketika kebijakan ini diterapkan. Yang pertama adalah Pasal 8 yang berbunyi:

“Setiap Orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.”

Jika mengacu pada pasal ini, pertanyannya adalah apakah negara telah siap. Di undang-undang ini, ada 3 kebutuhan yang harus dipenuhi selama masa karantina berlangsung. Yaitu kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan sehari-hari. Saya akan mencoba melihat pemenuhan dari aspek kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari. Untuk aspek ini saya akan mengambil contoh batasan upah minimum di kota Makassar untuk menghitung berapa besar anggaran yang harus dipenuhi jika dilakukan karantina.

Upah minimum (UMK) kota Makassar per tahun 2020 itu adalah sebesar Rp. 3.100.000,- dengan asumsi UMK itu adalah 75% dari upah pokok dan tunjangan tetap berdasar pada Pasal 94 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berarti dalam sebulan pemerintah harus menganggarkan sekitar Rp. 4.133.333.- per kepala keluarga (KK) yang didapat dari UMK dibagi 75% (3.100.000/75%). Penduduk Kota Makassar sebanyak 1,5 juta dengan asumsi per KK itu sebanyak 3 orang, berarti jumlah KK yang ada di Kota Makassar adalah  500.000 (1,5 juta/3). Jika karantina dilakukan dilakukan selama sebulan berarti anggaran pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan sehari-hari penduduk kota Makassar yaitu sebesar Rp. 2 Trilyun lebih. Wow itu angka yang sangat fantastis bahkan hanya untuk 1 kota. Bagaimana jika itu diterapkan di dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki 24 kabupaten/kota. Hitungan kasarnya adalah Rp. 48 trilyun (Rp. 2 Trilyun x 24). Bagaimana pula jika dihitung total keseluruhan provinsi yang ada di Indonesia, tentu akan menunjukkan angka yang fantastis. Dan itu juga belum termasuk untuk kebutuhan medis yang tentu jumlahnya tidak sedikit. Apakah Negara sudah siap dengan anggaran sebesar itu.

Selanjutnya adalah pada Pasal 54 yang berbunyi:

Ayat 1 “Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan Karantina Wilayah.”

Ayat 2 “Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina.”

Ayat 3 “Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.’
Karantina itu seperti mengisolasi diri.

Pada pasal ini penekanannya adalah adanya batas garis karantina yang ditetapkan oleh pejabat kesehatan maupun kepolisian dan anggota masyarakat tidak boleh keluar dari wilayah karantina. Jika karantina dilakukan di salah satu kota, berarti anggota masyarakat tidak akan diperkenankan untuk keluar kota. Jika ini dilakukan tentu yang akan merasakan dampaknya adalah jasa transportasi antar wilayah maka tentu imbasnya adalah kelesuan di sektor itu. Kita ambil asumsi bus yang umum keluar masuk di kota Makassar menuju daerah. Harga 1 kursi adalah Rp. 150.000,- dengan kapasitas kursi dalam 1 bus adalah 30. Berarti dalam semalam untuk 1 bus ada potensi kehilangan pendapatan dari pengusaha transportasi sebanyak Rp. 4.500.000,- (Rp. 150.000 x 30). Jika karantina dilakukan selama sebulan berarti ada kerugian ekonomi sebanyak Rp. 135.000.000,- (Rp 4.500.000,- x 30 hari). Itu baru perhitungan untuk satu bus, satu perwakilan dan satu tujuan saja, maka akan luar biasa angka kerugian ekonomi yang didapat jika dikalikan dengan keseluruhan rute dan keseluruhan perwakilan.

Kemudian di Pasal 55 berbunyi:

Ayat 1 “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.”

Ayat 2 “Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.”

Untuk pasal ini, penekannya adalah seberapa besar anggaran yang harus disiapkan oleh pemerintah dikarenakan adanya penambahan tanggung jawab yaitu makanan hewan ternak selama karantina akan menjadi tanggungan pemerintah. Mungkin jika di kota-kota besar anggarannya tidak akan membengkak bahkan mungkin saj Rp. 0, tetapi di daerah sentra peternakan tentu akan menambah beban pemerintah baik pusat maupun daerah. Dan sekali lagi saya bertanya, apakah negara telah siap untuk semua ini.

Jadi bagi saya pribadi, kebijakan lock down atau karantina untuk saat ini bukanlah opsi terbaik yang harus dilakukan. Dari aspek ekonomi, karantina adalah mimpi buruk suatu negara terutama negara berkembang. Kebijakan saat ini yaitu social distancing atau jaga jarak dan kebijakan tetap di rumah adalah kebijakan yang paling tepat untuk menanggulangi penularan wabah virus corona ini tanpa harus melakukan kebijakan karantina yang akan membutuhkan anggaran yang sangat besar dan tentu berimplikasi pada penurunan produktivitas kerja masyarakat dan pada akhirnya akan terjadi kelesuan ekonomi.

Mari jaga jarak, mari tetap di rumah jika tidak ada kebutuhan yang mendesak, mari jaga kebersihan dan tetap patuhi protokol pemerintah dalam penanggulangan wabah virus corona demi kemaslahatan bersama.




Comments