Mengawali tulisan ini saya
mengucapkan selamat hari jadi kepada seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam
(HmI) yang ke 73 pada tanggal 05 Februari baik yang berada di Indonesia maupun
yang lagi berada di luar negeri. Saya lebih senang menggunakan diksi maupun
istilah Indonesia dalam penyebutan peringatan hari lahir baik untuk individu
maupun organisasi ketimbang menggunakan bahasa asing seperti dies natalis yang
diserap dari bahasa Latin, milad mubarak yang diambil dari bahasa Arab maupun
happy birthday yang berasal dari bahasa Inggris. Saya melihat di beranda laman
aplikasi media sosial, ucapan selamat hari jadi dengan menggunakan bahasa asing
masih terlihat dominan. Apakah proses Arabisasi, Latinisasi, maupun Westernisasi
telah juga merambah kader HmI yang dikenal memiliki intelektuaitas yang sangat
tinggi.
Sedikit koreksi mengenai
penggunaan kata selamat hari lahir yang digunakan oleh kader HmI hanyalah
pembuka dari tulisan ini. Titik sentrum tulisan saya lebih pada perjalanan HmI
dalam sejarah Indonesia yang telah memasuki umur 73 tahun. HmI tidak bisa
dipisahkan dari proses panjang perjalanan republik ini. HmI yang didirikan oleh
Lafran Pane beserta kolega di tahun 1947 telah menjadi bagian yang sangat
penting dalam mewarnai kehidupan bangsa ini hingga memasuki tahun 2020. Di awal
masa kemerdekaan, HmI memiliki peran yang sangat penting dalam usaha
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang ketika itu bersiap
menghadapi kembalinya sekutu setelah berhasil mengalahkan Jepang dalam perang
dunia ke II, maupun dalam menghadapi agresi militer Belanda ke-I dan ke-II.
Setelah usaha mempertahankan
kemerdekaan dalak menghadapi Belanda telah selesai dengan disepakatinya Konferensi
Meja Bundar (KMB), pada proses politik selanjutnya HmI secara tidak langsung
juga berperan dalam tumbangnya orde lama. HmI menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam proses ini terutama peralihan dari orde lama versi Bung Karno
menuju orde baru versi Soeharto. Dalam perjalanan selama orde baru, HmI
dironrong perpecahan dengan adanya keinginan pemerintah saat itu untuk
menjadikan asas tunggal pancasila sebagai satu-satunya asas untuk keseluruhan
organisasi yang ada di Indonesia. Oleh beberapa kalangan, kebijakan ini tidak
menjadi masalah demi tetap eksisinya HmI di tengah kuat dan reprsifnya orde
baru ketika itu terhadap apa dan siapapun yang hendak melawan mereka. Perubahan
asas hanyalah taktik dalam menghadapi orde baru ketika itu. Artinya substansi
asas tidak akan berubah karena itu akan tetap menjadi pedoman dalam proses
perkaderan. Tetapi di sisi lain oleh beberapa kader, perubahan asas ini tidak
diterima. Mereka tetap menggunakan asas lama dan kemudian menamakan diri dengan
sebutan HmI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).
Seiring berjalanannya waktu dan
tumbangnya orde baru di tahun 1998, HmI kembali mengambil peran di peristiwa
itu. Walaupun HmI secara tidak langsung menjadi pihak yang menaikkan Soeharto
di tampuk kepemimpinan nasional, itu tidak menyurutkan kader HmI tahun 1998
mengambil sikap yang berbeda dengan seniornya yang berhasil menurunkan Soeharto
dan orde baru. Di era presiden setelahnya terutama di momen pelengseran paksa
Gus Dur, HmI kembali mengambil peran. Entah karena memang tuntutan rakyat
ketika itu, ataukah hanya kepentingan-kepentingan kader HmI sehingga jalan
pelengseran Gus Dur sebagai presiden yang sah ketika itu diambil. Dalam buku
“menjerat Gus Dur” ada banyak kader HmI yang terlibat dalam kejatuhan Gus Dur.
Ada yang berperan secara politik ketika itu dengan berkolaborasi dengan ketua
MPR, ada juga yang dianggap membuat propaganda di tengah masyarakat untuk
meyakinkan mereka bahwa Gus Dur memang layak dilengserkan. Saya menilai,
blunder terbesar yang pernah dilakukan oleh kader HmI adalah di peristiwa ini.
Kader-kader HmI dan mereka yang
begitu bernafsu menjungkalkan Gus Dur dari tampuk kepemimpinan nasional dengan
propaganda-proganda murahan ternyata hingga sekarang tidak terbukti. Kasus
bulog dan Brunei yang dituduhkan ke Gus Dur hanyalah kebohongan semata yang
dihembuskan ke masyarakat. Dan seandainya Gus Dur bukanlah seorang negarawan,
maka ketika itu bisa saja ia mempersilahkan pendukungnya yang kebanyakan
berasal dari Jawa Timur untuk berangkat ke Jakarta guna membela dirinya dari
proses kudeta. Coba bayangkan jika ini terjadi seperti yang terjadi di Suriah, maka
Indonesia yang ketika itu baru seumur jagung mencicipi demokrasi akan terjermus
di perang saudara yang tidak berkesudahan. Dan beberapa kader HmI akan
menanggung dosa jariah senadainya perang saudara ini terjadi.
Sekarang di era Jokowi, kader HmI
banyak yang masuk ke pemerintahan. Ada Jusuf Kalla yang pada periode pertama
Jokowi menjabat sebagai Wakil Presiden hingga beberapa kader HmI di periode
yang kedua ini menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Ada juga beberapa kader
HmI yang konsisten menjadi pengkritik pemerintahan Jokowi. Saya pikir itu sehat
dalam sebuah negara demokrasi ketika ada yang melakukan evaluasi dari luar
termasuk yang melakukan evaluasi itu adalah kader HmI. Semoga ke depannya
sumbangsih HmI untuk negara yang kita cintai bersama ini tidak pernah berhenti.
Terakhir yang ingin saya
sampaikan perihal pengalaman saya ber HmI, organisasi ini bukanlah organisasi
komando seperti organisasi kepemudaan lainnya. HmI tidak memiliki seseorang
yang dianggap ulama yang akan selamanya diikuti walaupun itu salah karena yang
menjadi acuan bukan itu. Bukan pula senior, guru, atau yang lainnya. Acuan HmI
adalah rasionalitas seperti bahasa Al Quran bahwa kitab ini diturunkan untuk
orang-orang yang berpikir. Selamat hari jadi ke 73, bahagia HmI…
Comments
Post a Comment