Pemicu
kerusuhan di India dimulai ketika terjadi
serangan oleh beberapa kelompok Hindu terhadap kelompok Muslim yang menolak Undang-Undang
Citizienship Amendement Bill (UU CAB) di tengah kunjungan Presiden Amerika Serikat
Donald Trump. Bentrokan telah terjadi selama tiga hari berturut-turut dan hingga
sekarang setidaknya telah menewaskan lebih dari 30 orang baik dari kelompok pro
atau yang kontra dengan undang-undang ini maupun dari pihak kepolisian.
Bentrokan pun meluas termasuk adanya massa yang mencoba menyerang
masjid-masjid. Ada yang mengganti simbol bulan bintang di sebuah masjid dengan Bendera
Saffron yang merupakan lambang kelompok sayap kanan Hindu India. Bahkan yang
lebih parah hingga membakar masjid yang menjadi tempat peribadatan kaum muslim di
India.
Sejarah
undang-undang kontrroversial anti muslim yang memicu bentrokan ini berawal ketika
dua bulan lalu Perdana Menteri Narendra Modi meloloskan undang-undang diskriminatif
ini yang memicu kontroversi publik warga India. Bahkan, sejumlah kalangan ramai-ramai
menyuarakan protes terhadap undang-undang ini yang dianggap sangat anti muslim.
Salah satu poin di UU CAB berisi soal kemungkinan para imigran ilegal dari
Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan untuk mendapatkan kewarganegaraan,
terkecuali mereka yang beragama islam. Tentu hal ini menjadi pertanyaan mengapa
semacam ada diskriminasi terhadap imirgan yang beragama islam. Jika memang ingin
konsisten dan tulus dalam membela kemanusiaan maka seharusnya Perdana Menteri Modi
ketika melihat pemerintahan negara-negara jiran India melakukan kekerasan dan
diskriminasi terhadap warganya, dia seharusnya memperlakukan hal yang sama untuk
semua kalangan yang mengalami penindasan dan tidak mengecualikan yang beragama
islam. Apakah yang mengalami diskriminasi hanyalah mereka yang non muslim.
Bukankah yang muslim juga memiliki
potensi untuk mengalami diskriminasi walaupun ia memiliki agama yang sama
dengan penguasa di negaranya. Bahkan sangat wajar jika ada kecurigaan dari
muslim India yang beranggapan undang-undang ini dapat dipakai untuk menghalangi
muslim dalam mencari kewaranegaraan. Hal yang mirip dengan peraturan Donald
Trump soal pelarangan umat Islam dalam hal mencari suaka di America Serikat
(AS). Sehingga bisa dikatakan juga berpotensi untuk meminggirkan bahkan
mengusir muslim India dari tanah kelahirannya bersamaan dengan masifnya para
imigran dari negara tetangga.
Kemudian
yang menjadi penolakan juga bagaimana umat muslim India wajib untuk membuktikan
bahwa mereka memang adalah warga negara India. Sehingga sangat besar kemungkinan
warga Muslim India justru akan kehilangan kewarganegaraan tanpa alasan. Apalagi
supremasi Hindu di bawah pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi sejak
berkuasa hampir 6 tahun lalu sangat mencolok sehingga menimbulkan bayang-bayang
ketakutan yang sangat luar biasa bagi mereka minoritas muslim di India. Penolakan terhadap undang-undang ini sebenarnya
tidak hanya dating dari kaum muslim India, tetapi juga datang dari partai
oposisi Kongres Nasional India yang berpendapat bahwa hukum ini sangat
diskriminatif kepada umat muslim serta terkesan ironis diberlakukan di negara
sekuler yang memiliki penduduk sekitar 1miliar lebih dengan porsi 15% di
antaranya merupakan masyarakat Islam atau sekitar 150 juta. Angka yang sangat
fantastis dan melebihi jumlah muslim yang ada di Arab Saudi. Bahkan Sanjay Jha
yang merupakan juru bicara partai oposisi utama Partai Kongres mengatakan bahwa
hukum ini adalah bagian dari strategi politik dari Nasionalis Hindu Bharatiya
Janata (BJP) yang ingin memecah belah lebih dalam untuk mempolarisasi India. Tidakkah
pemerintahan Modi mengambil pelajaran bahwa di masa lalu akibat dari adanya
polarisasi agama yang berkembang di India pasca merdeka dari Inggris, negara
ini ini terkoyak dan terpecah belah menjadi India dan Pakistan.
Sementara
itu juru bicara BJP Tajinder Pal Singh Bagga sebagai partai pendukung
undang-undang ini menampik jika partainya berada di balik semua penyerangan itu
yang setidaknya telah menewaskan 30 orang di India. Hal ini menyusul tuduhan kepada
pemimpin BJP Kapil Mishra yang disebut terlibat dalam kerusuhan tersebut
lantaran mengancam akan mengusir paksa kelompok penolak UU CAB itu usai
Presiden AS Donald Trump menyelesaikan lawatannya di India. Tajinder Pal Singh
Bagga berujar jiika partainya tidak mendukung kekerasan dalam bentuk apapun,
termasuk penyerangan terhadap demonstran yang menolak undang-undang ini. Ia
justru menuding partai oposisi yang merancang kerusuhan ini selama kunjungan
Donald Trump untuk mencoreng citra India.
Perdana
Menteri Narendra Modi sendiri baru berkomentar mengenai kerusuhan ini pada hari
Rabu setelah 30 orang dilaporkan tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ia meminta
kepada warga di Delhi untuk menjaga perdamaian dan persaudaraan serta memulihkan
situasi agar menjadi tenang dan kembali normal. Dalam rekam jejaknya sejak
terpilih sebagai Perdana Menteri India pada tahun 2014, ia seperti manata ulang
India dari sebuah negara demokrasi sekuler yang mampu mengakomodir keragaman
kepercayaan dan agama menjadi sebuah negara supremsi hindu terhadap minoritas
lainnya termasuk islam dan kristen. Modi juga melakukan penekanan terhadap
kebebasan pers dengan propagandanya “India Baru”. Setelah beberapa bulan
terpilih, langkah awal yang ia lakukan dan menuai banyak protes adalah membagi
wilayah bekas negara bagian Jammu dan Kashmir yang merupakan daerah otonom,
menjadi dua wilayah persatuan. Hal ini memberi ruang yang sangat besar kepada Pemerintah
India untuk memiliki otoritas penuh terhadap wilayah dengan mayoritas muslim
itu. Dan hasil daripada kebijakan itu bahkan sempat memicu ketegangan di
wilayah Kashmir. Kemudian puncak dari kontroversi Modi di India adalah ketika
ia meloloskan UU CAB pada Desember 2019 dan membuat warga turun ke jalan untuk
memprotesnya.
Sejarah
kelam Modi sebagai nasionalis hindu yang radikal sebenarnya tercermin sejak 2002
ketika ia menjadi Menteri Utama di negara bagian Gujarat. Ketika ia berkuasa di
daerah itu sekitar 2.500 orang tewas dan mayoritas di antaranya adalah mereka
yang Muslim. Pemicunya adalah pembakaran 59 umat Hindu hingga tewas di kereta
yang diduga dilakukan kelompok radikal muslim. Dan bahkan hingga sekarang Modi
tak pernah dihukum atas peristiwa itu kendati puluhan orang dari kedua pihak
dinyatakan bersalah baik dari pihak radikal muslim maupun dari pihak radikal
hindu. Berawal dari peristiwa itu kelompok sayap kanan hindu mulai bangkit
seiring hilangnya kepercayaan umat muslim India pada Modi. Selain menghasilkan undang-undang
yang diskriminatif, Modi yang sejak terpilih sejak 2014 ternyata tak berhasil
membawa perekonomian India ke arah lebih baik. Pertumbuhan negara ini di bawah
kepemimpinannya bahkan menjadi yang paling lambat dalam 6 tahun terakhir. Di
masanya pula persentase pengangguran di India naik dari 6,9% menjadi 7,6% pada
Januari tahun lalu. Pamor BJP sebagai partai pengusung Modi juga mengalami
penurunan dukungan dari yang tadinya berhasil menggenggam 21 dari 29 negara
bagian pada 2018, menjadi hanya tersisa 15 negara bagian.
Apa
yang terjadi di India seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah dan masyarakat
Indonesia. Aturan yang cenderung diskriminatif sangat berpotensi untuk memicu
kerusuhan apalagi jika itu dilatarbelakangi oleh sentimen keagamaan. Hingga saat
ini berbagai aturan diskriminatif masih menjadi semacam bom waktu yang
sewaktu-waktu bisa memicu kerusuhan horizontal seperti yang terjadi di India. Misalnya
aturan pendirian rumah ibadah yang dibuat oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
dalam bentuk peraturan bersama di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
seharusnya dicabut karena sangat diskriminatif. Mengapa ketika hendak mendirikan
sebuah rumah peribadatan harus memenuhi unsur-unsur seperti adanya Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), persetujuan dari masyarakat sekitar yang diharuskan
mencapai 60 orang, hingga pemeluk agama bersangkutan harus mencapai 60 orang
dengan menyertakan KTP. Padahal di dalam Undang-Undang (UU) 1945 Pasal 29 Ayat
2 sudah sangat jelas jika negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengan kepercayannya itu.
Jika
aturan ini benar-benar dijalankan, bukan hanya bangunan seperti gereja yang
akan menuai kesulitan untuk dibagun. Saya yakin bahkan beberapa bangunan masjid
di beberapa wilayah di Indonesia tidak memiliki IMB. Coba bayangkan jika umat kristen
memersoalkan IMB beberapa masjid sebagai imbas dari penolakan pendirian gereja mereka
yang diakibatkan ketiadaan IMB, maka hal ini tentu menjadi hal yang wajar
mereka pertanyakan. Dan jika IMB di beberapa masjid tidak ada apakah berani
untuk disegel bahkan dirobohkan. Tetapi yang terjadi justru aturan ini hanya
berlaku untuk mereka yang minoritas dalam hal pendirian rumah ibadah. Ini yang
saya lihat bahwa aturan ini sangat mirip dengan apa yang terjadi di India. Ada aturan
yang cenderung diskriminatif sehingga sangat berpotensi menjadi bom waktu yang
bisa meledak kapan saja. Dan bukan hanya aturan ini, masih banyak aturan-aturan
diskriminatif lainnya yang seharusnya sudah dicabut karena menghasilkan produk hukum
yang tidak adil.
Saya
bersimpati dengan korban kekerasan dan diskriminatif di India. Bagi saya tidak
ada tempat di dunia ini bagi aturan yang tidak adil dan diskriminatif apalagi jika
dilatar belakangi oleh sentimen keagamaan. Silakan mengutuk peristiwa di India
baik lewat jalur demonstrasi maupun menyampaikan nota protes langsung melalui
jalur keduataan besar. Tetapi ingat apa yang dilakukan oleh Narendra Modi
disana justru banyak juga dilakukan oleh masyarakat kita disini. Selain menghalagi
pemeluk agama tertentu untuk mendirikan rumah peribadatan seperti contoh di
atas, ada juga sekelompok masyarakat yang hobi melarang orang/ kelompok lain
untuk melaksanakan ibadahnya hanya karena dianggap sesat padahal fatwa sesat
yang dikeluarkan oleh sebuah organisasi masyarakat tidaklah menjadi aturan negara
sehingga tindakan itu adalah tindakan yang inkonstitusional. Jadi bisa
dikatakan, mereka para kaum radikal yang mengutuk kekerasan dan diskriminasi
terhadap muslim di India itu sebenarnya adalah Narendra Modi versi Indonesia. Mereka
sama saja, hanya agama dan wilayah geografis yang berbeda. Tetapi pola pikir yang
merasa superioritas itulah yang sebenarnya menjadi penyakit mereka yang
ujung-ujungnya mengahsilkan manusia yang radikal.
Comments
Post a Comment