Wacana pemulangan 600 warga eks
ISIS yang berasal dari Indonesia menuai beragam tanggapan dari masyarakat
Indonesia. Ada yang mendukung pemulangan itu sebagai bagian dari tanggung jawab
negara kepada warganya. Tetapi di sisi lain penolakan terhadap mereka juga
sangat masif. Banyak yang beralasan jika kepulangan mereka akan membawa dampak
buruk terhadap kehidupan masyarakat, alasan penghianatan yang dilakukan oleh
mereka, hingga ketakutan akan menyebarnya doktrin kekerasan mereka dan tentu
ini bisa menimbulkan kekacauan dimana-mana. Mari kita bedah satu persatu
berbagai dampak yang bisa saja ditimbulkan jika pemulangan mereka benar-benar
terelaisasi.
Mari kita awali dari latar belakang
mengapa mereka berangkat ke luar negeri dan bergabung dengan ISIS. Perjalanan yang
mereka lakukan atas dasar sukarela adalah demi mendamba sebuah negeri yang
makmur di bawah naungan pemerintahan ISIS. Asumsi awal yang terbangun dari
mereka adalah jihad menuju negeri yang dirahmati oleh Allah SWT. Dan ternyata
setelah sampai disana segala apa yang mereka dambakan tidak terjadi sama
sekali. Bukan kemakmuran yang diperolehnya tetapi wilayah yang dikontrol oleh
sebuah kekuatan yang menganggap kekerasan adalah bagian dari hukum islam. Dalam
sebuah wawancara mereka menyebut jika pemenggalan kepala dan pembunuhan sering
terjadi di hadapan mereka. Dan agak mengherankan mereka menggambarkan pemenggalan
kepala dan pembunuhan itu seperti hal biasa tanpa ada ekpresi ketakutan. Bisa dibayangkan
jika itu terjadi di Indonesia, maka para eks ISIS ini seperti melihat pemandangan
umum yang biasa terjadi. Dan karena hal itu telah menjadi kebiasaan, bukan tidak
mungkin mereka juga akan melakukan hal yang sama.
Keinginan mereka untuk kembali
juga sangat dipengaruhi oleh kekalahan ISIS di Suriah dan Irak. Saya melihat
itu justru menjadi alasan utama mengapa mereka menginginkan kembali ke tanah
air. Seandainya mereka menang, maka narasi yang akan dibangun oleh mereka tentu
akan bertolak belakang. Mereka akan terus menyuarakan propaganda pro ISIS walaupun
untungnya mereka menderita kekalahan disana. Bisa dibayangkan jika kekerasan ala
ISIS menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Bisa saja kita kehilngan nyawa hanya
karena masalah sepele yang dianggap bertentangan dengan hukum islam versi ISIS.
Keadaan mereka sekarang ini sementara
ditahan oleh tentara Kurdi di Suriah Utara sehingga tentu mereka akan merasa jauh
lebih baik jika kembali ke tanah air ketimbang menjadi tawanan tentara Kurdi di
Suriah. Jika mereka tidak kembali, maka status mereka adalah stateless atau
seseorang tanpa kewarganegaraan. Tentara kurdi yang berperang melawan ISIS bukan
tidak mungkin akan membawa mereka ke pengadilan karena dianggap sebagai bagian
dari ISIS. Dan tentu mereka sangat menghindari keadaan seperti ini.
Kemudian yang kedua adalah
pemerintah sebenarnya sudah tidak memiliki keterkaitan dengan mereka
dikarenakan mereka telah menjadi tentara asing tanpa melaukan koordinasi atau
izin dari presiden terlebih dahulu. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 23. Dalam pasal ini disebutkan “Warga Negara
Indonesia akan kehilngan kewarganegaraanya jika yang bersangkutan masuk dalam
dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden”. Sehingga urusan
yang terjadi terhadap mereka di kemudian hari sudah tidak menjadi wewenang
pemerintah. Semua tindakan yang mereka lakukan adalah tindakan sukarela dan
tanpa pernah ada paksaan dari pemerintah. Sehingga jika sudah seperti ini
keadaanya tentu sudah tidak menjadi urusan pemerintah Republik Indonesia. Jika di
negara lain seperti Prancis kembali menerima warganya yang eks ISIS dengan
metode penerimaan perlahan-lahan sesuai tindakan dan kategori terorisme yang
diperbuatnya, dan Jerman menerima semua warganya yang eks ISIS tanpa ada
kategorisasi, maka itu bukan berarti pemerintah Indonesia juga harus mencontoh
mereka. Karena setiap negara punya aturan sendiri dalam menyikap waranya yang
telah melakukan penghinatan terhadap bangsa dan negaranya.
Berkaitan dengan poin ini, isu
umum selain kewarganegaraan adalah tentang hak asasi manusia (HAM) para eks ISIS
ini. Mereka yang merasa menjadi pegiat HAM umumnya menggunakan narasi
pemerintah melanggar HAM jika tidak melakukan pemulangan terhadap eks ISIS ini.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, dikarenakan mereka sudah memenuhi syarat
untuk dikatakan bukan lagi warga negara Indonesia, maka tuduhan mereka yang
mengatakan dirinya sebagai penggiat HAM dalam membela eks ISIS ini tentu salah alamat.
Ini sama saja Indonesia dipaksa mengurusi urusan warga negara lain padahal
tupoksi sebuah negara hanyalah mengurusi warga negaranya sendiri.
Mereka yang mengatakan dirinya
sebagai pegiat HAM ini lupa bahwa pemenuhan hak-hak dasar warga untuk beragama
dan berkepercayaan di negeri ini justru masih menjadi PR yang besar ketimbang
mengurusi para pendamba surga versi ISIS ini. Negara juga masih belum berhasil
memulangkan para pengungsi di negeri ini yang mengungsi hanya karena perbedaan
pemahaman agama. Mereka para pengungsi Syiah yang berasal dari Sampang Madura yang
hingga saat ini masih menungsi di Sidoarjo justru lebih membutuhkan suara
lantang dari mereka yang mengataakan dirinya sebagai penggiat HAM. Ingat
pengungsi Sampang yang sekarang berada di sidoarjo itu bukanlah teroris, bukan
yang menjelek-jelekkan negara ini dengan sebuatan negara thogut, bukan pula
mereka ini kumpulan koruptor, bukan juga pengedar narkoba. Mereka hanyalah warga
yang memiliki pemahaman agama yang berbeda dan justru ini dilindungi oleh
Undang-Undang Dasar 1945 Pasl 29 Ayat 2 tentang kebebasan beragama dan
berkayakinan. Dan mereka inilah yang justru butuh suara-suara lantang dari para
penggiat HM untuk mengembalikan mereka ke Sampang dan biarlah para eks ISIS ini
menjadi urusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Yang ketiga adalah kepulangan eks
ISIS ini akan semakin menyuburkan radikalsime di tengah-tengah masyarakat. Kemarin
ada sepasang suami istri yang menjadi bomber dan membuat ketakutan di tengah
masyarakat. Coba bayangkan jika 600 orang ini melakukan doktrin untuk mencari
bomber-bomber selanjutnya. Bisa rusuh dan terjadi kekacauan dimana-mana yang
tentu dampaknya adalah perang saudara maupun desintegrasi bangsa. Tidak ada
yang menjamin jika mereka kembali dan mengikuti kegiatan deradikalisasi akan
mengubah pola pikir mereka. Sehingga menerima kembali mereka sama saja mencoba
memasukkan racun ke dalam tubuh kita yang dipercaya bisa meningkatkan daya
tubuh kita.
Comments
Post a Comment