KESEPAKATAN LICIK TRUMP DI ABAD INI


Pernyataan Donald Trump tentang kesepakatan abad ini antara Israel dan Palestina menuai banyak penentangan yang sebagian besar berasal dari pihak pro Palestina. Selain itu di pihak lain ada beberapa negara arab yang mendukung kesepakatan ini sebagai solusi atas antara Israel dan palestina. Diantara beberapa poin yang menjadi kesepakatan ini adalah:

Mari kita awali dari point bahwa “blok pemukiman di Tepi Barat yang diduduki oleh Israel dan ilegal menurut hukum internasional akan membentuk bagian dari Israel.” Poin ini tentu sangat merugikan pihak Palestina. Dimana aneksasi dan perluasan pemukiman ilegal ini terus berlangsung secara masif di daerah Tepi Barat yang sebenarnya menjadi bagian dari wilayah otoritas Palestina. Sehingga kesepakatan ini tak lebih adalah penyerahan kedaulatan Palestina kepada Israel. Kita bisa lihat bagaimana semakin menipisnya daerah yang menjadi otoritas Palestina. Dimulai dari tahun 1946 ketika awal mula migrasi besar-besaran bangsa yahudi Eropa ke Palestina. Bahkan daerah Palestina semakin mengecil pasca penetapan PBB untuk pembagian tanah bagi yahudi Israel Arab Palestina. Jika dahulu para pemukim yahudi Eropa ini hanyalah menempati daerah kantong di wilayah Palestina, tetapi sekarang justru sebaliknya yang terjadi. Wilayah Palestina baik Jalur Gaza maupun Tepi Barat perlahan-lahan dicaplok oleh pemerintaahan zionis dengan dalih perluasan pemukiman yahudi.

Kemudian adalah poin yaitu “Yerusalem atau Al Quds tidak akan dibagi untuk menjadi ibukota Palestina seperti yang diakui oleh internasional tetapi akan diatur oleh Israel dan ibukota Palestina hanya akan menempati daerah pinggiran Al Quds yang luasnya tak lebih dari 4 KM2.” Poin ini semakin menandaskan betapa kesepakatan ini sangatlah merugikan Palestina. Mereka yang pro terhadap Palestina baik yang masih sering bernegosiasi dengan Barat maupun kelompok militan yang umumnya berafiliasi dengan Iran dan Hizbullah jelas menolak mentah-mentah jika Al Quds akan diserahkan sepenuhnya kepada Israel.

Dalam sejarahnya seperti yang kita ketahui sejak perang dunia I dan akhir perang dunia ke II, mereka yang membentuk negara Israel adalah para imigran gelap yang kebanyakan berasal dari Eropa. Dasar pembuatan negara Israel sebenarnya berasal dari Deklarasi Balfour yang mencapai titik terangnya ketika Nazi Jerman sebagai pihak yang begitu membenci dan ingin melakukan pemusnahan massal bangsa yahudi akhirnya kalah dan menyerah kepada sekutu. Seperti yang kita ketahui Deklarasi Balfour adalah sebuah surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Britania Raya Arthur Balfour kepada Lord Walter Rothschild, seorang pemimpin komunitas yahudi Britania untuk transmisi ke Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Teks deklarasi tersebut diterbitkan dalam pers pada tanggal 9 November 1917. Deklarasi ini adalah sebuah pernyataan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah Britania saat Perang Dunia I yang mengumumkan dukungan untuk pendirian "tanah air bagi orang yahudi" di Palestina. Yang saat itu merupakan sebuah kawasan Utsmaniyah dengan populasi minoritas Yahudi yang berbunyi:

“Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina tanah air untuk orang yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk membantu tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang yahudi di negara-negara lainnya.”

Inilah yang menjadi petaka awal bangsa Palestina hingga sekarang. Walaupun di dalam surat Deklarasi Balfour ada pesan untuk tidak merugikan komunitas keagamaan non yahudi disana, tetapi pada kenyataannya pendirian rezim ilegal ini justru menghancurkan harmonisasi kehidupan di Palestina terutama mereka yang non yahudi.

Poin selanjutnya yang disebutkan oleh Trump sebagai kesepakatan abad ini adalah “Orang-orang Palestina yang tinggal di Al Quds akan menjadi warga negara Palestina tetapi Israel akan tetap bertanggungjawab atas pemerintahan kota tersebut dan atas tanahnya. Negara Palestina yang baru dibentuk akan membayar pajak kepada pemerintah kota Israel untuk bertanggungjawab atas pendidikan di kota itu bagi warga Palestina.” Dan kembali poin ini menunjukkan kobodohan para pembuat kesepakatan yang nyata-nyata telah merusak harga diri warga Palestina. Logika sederhanya adalah apakah pantas sebuah bangsa yang dahulunya tidak berada di Al Quds atau Palestina menjadi pemegang kekuasaan otoritas disana. Para imigran gelap ini dalam sejarahnya adalah imigran dari Eropa yang mencaplok tanah Palestina.

Analoginya poin ini seperti Belanda yang datang ke Indonesia kemudian tetap mengakui kita sebagai bangsa Indonesia tetapi keseluruhan kontrol otoritas menjadi wewenang dari bangsa pendatang tersebut. Bukankah ini adalah sebuah bentuk penjajahan. Begitu juga yang akan berlaku bagi bangsa Palestina jika kesepakatan abad ini terimplementasi. Jadi bagi saya adalah wajar jika bangsa Palestina tetap melakukan perlawanan untuk mengusir bangsa Israel dari tanah mereka. Perlawanan yang dilakukan mereka tentu bukanlah tindakan terorisme seperti propaganda Barat, tetapi itu adalah bentuk perlawanan untuk mengusir penjajahan sebagaimana bangsa Indonesia mengusir Belanda dan Jepang dari nusantara.

Sebenarnya masih banyak poin kontreversi lainnya dalam kesepakatan ini seperti status quo di situs-situs suci, tawaran Mesir untuk memberikan sebidang tanah negara “Palestina Baru” guna membangun bandara, pabrik, dan pertanian tetapi bangsa Palestina tidak akan diizinkan untuk hidup di tanah ini, hingga poin-poin lainnya yang sangat banyak merugikan bangsa Palestina. Dan lucunya kesepakatan ini disepakati oleh beberapa negara arab seperti Yordania, Mesir dan Uni Emirat Arab. Entah ini adalah murni dari pemikiran jernih para pemipin negara Arab tersebut ataukah mereka sudah menyerah dan menghamba kepada Amerika Serikat (AS) guna memenuhi keinginan Israel.
Bagi saya, solusi untuk tanah Palestina tetaplah one state solution atau solusi satu negara. Watak zionisme jika implementasi dua negara terwujud maka yang akan terjadi adalah Palestina tetap akan menjadi bulan-bulanannya. Zionis ini bahkan secara terang-terangan terus melanggar resolusi PBB tahun 1947 untuk batas-batas kedua negara. Dalam sepakterjanganya, zionis seperti meluapkan kekejaman yang mereka alami yang dilakukan oleh Nazi Jerman kepada bangsa Palestina dan mereka sepertinya mengidap penyakit neo holocaust. Karena watak itulah, semestinya cukup satu negara saja yang mencakup keseluruhan daerah ini. Jadi warganya adalah keseluruhan pemilik sah di seluruh wilayah Palestina sebelum pembagian 1947. Hak-hak pengungsi Palestina yang berada di luar negeri dikembalikan terutama tanah dan ladang mereka yang dirampas secara paksa oleh para imigran Eropa yahudi ilegal ini. Dan nasib imigran ilegal tersebut juga akan diperjelas bahwa mereka bukanlah pemilik sah tanah Palestina kecuali mereka membeli dengan harga yang pantas. Dan jika pemilik sah tidak rela menjual tanah mereka, maka para imigran gelap ini sudah selayaknya diekstradisi berdasarkan garis nenek moyang mereka. Atau jika orang-orang Jerman yang selalu merasa bersalah atas kekejaman Nazi terhadap yahudi di masa perang dunia ke II, maka mereka selayaknya memberikan sebidang tanah di daerah Jerman sebagai kompnensasi moral terhadap bangsa Yahudi.

Bagi saya, hanya itu solusi tanah Palestina dan bukan kesepakatan abad ini versi Trump dan beberapa negara Arab.




Comments