Kasus penyerangan yang dilakukan oleh
sekelompok orang terhadap sebuah tempat yang sering digunakan sebagai tempat
ibadah oleh kaum muslim di Perum Agape Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi
Utara, seperti membuka kembali kodak pandora begitu intolerannya masyarakat
kita dewasa ini terhadap mereka yang berbeda agama maupun keyakinan. Kasus ini
adalah contoh kasus untuk kesekian kalinya tindakan penyerangan dan persekusi
yang diakibatkan oleh sentimen agama dan keyakinan. Tindakan intoleransi
seperti ini bukan hanya terjadi di Minahasa Utara, tetapi juga terjadi di
daerah lain yang umumnya dilakukan terhadap kaum minoritas.
Dalam catatan saya, ahmadiyah, syiah,
dan kelompok kristiani adalah pihak yang banyak mendapat kekerasan seperti ini.
Mari kita mulai dari minoritas ahmadiyah yang dalam catatan saya ada 4 kasus
mencuat perihal pengrusakan tempat ibadah mereka. Kita mulai dari kausu pengrusakan
masjid ahmadiyah pada bulan Oktober 2010 di daerah Parung, Bogor, Kabupaten
Jawa Barat. Selanjutnya di tahuan 2011 yaitu pada bulan Januari, terdapat
pengrusakan fasilitas peribadatan warga ahmadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan
dan pada bulan Februari di tahun yang sama kekerasan terhadap fasilitas
peribadatan kaum ahamdiyah kembali terjadi di daerah Pandeglang, Banten. Label sesat
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap kaum ahmadiyah menjadi alasan awal
menagapa kelompok ini sering menjadi sasaran kekerasan kaum intoleran.
Kelompok kristiani walapun sebetulnya
menempati posisi kedua dari segi kuantitas penganut agama di Indonesia, juga
menjadi sasaran kekerasan dan tindakan intoleransi para kaum intoleran ini. Dalam
catatan saya ada 3 peristiwa yang mencuat tindak kekerasan yang dilakukan
terhadap peribadatan kaum kristiani. Kita belum bisa melupakan bagaimana
kejamnya teroris yang meledakkan sebuah gereja di Samarinda, Kalimantan Timur
pada bulan November 2016. Pada bulan Maret 2018 di daerah Ogan Ilir, Sumatera Selatan
juga terjadi pengrusakan gereja. Kasus lainnya yang terbaru terjadi di kota Denpasar,
Bali pada bulan Juli 2019.
Sedangkan untuk kaum syiah, kekerasan
terhadap mereka banyak terjadi menjelang kegiatan peringatan syahidnya cucu Nabi
Muhammad SAW yaitu Husain bin Ali setiap tanggal 10 Muharram atau yang bisa
disebut hari Asyura. Ajakan penolakan hingga label sesat seringkali dijumpai
bahkan sangat masif dilakukan jauh hari sebelum peringatan Asyura. Hampir setiap
tahun persekusi terhadap kelompok ini seperti menjadi rutinitas bagi kelompok
intoleran. Kekerasan terbesar terhadap syiah di Indonesia yang paling menyayat
hati terjadi pada bulan Agustus 2012. Persekusi yang berujung pada pembunuhan,
pembakaran rumah, ternak, ladang, hingga pengusiran ini masih menjadi pekerjaan
rumah besar bagi 100 hari pemerintahan Jokowi-Maruf. Hingga kini atau berjalan 8
tahun, para pengungsi syiah masih menempati sebuah bangunan di daerah Sidoarjo,
Jawa Timur. Padahal keinginan mereka adalah kembali ke kampung halaman mereka
di Sampang, Pulau Madura dan bukan hidup terus menerus di pengungsian. Derita warga
syiah asal Sampang ini bahkan mengingatkan kita derita warga Palestina yang
diusir oleh rezim zionis Israel. Ada kalanya saya juga menyebut jika kasus
syiah asal Sampang adalah potret Palestina kecil di negeri ini.
Berbagai kasus kekerasan dan
persekusi baik terhadap rumah ibadah maupun kekerasan terhadap pemeluknya
adalah rapor merah pemerintahan Jokowi-Maruf di bidang penegakan Hak Asasi
Manusia (HAM). Jokowi seperti dalam kampanyenya yang mengatakan jika dalam periode
keduanya ini tidak memiliki beban, sudah seharusnya lebih berani melakukan
penegakan HAM sebagai bentuk keadailan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan
infrastruktur yang masif dilakukan dan pembersihan mafia-mafia di Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), seakan menjadi hambar di tengah makin intolerannya
masyarakat Indonesia. Jokowi harus berani mencabut berbagai aturan yang
menghambat pendirian rumah ibadah untuk kelompok agama tertentu seperti Peraturan
Bersama Menteri Agama Nomor 09 Tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 08
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan
Pendirian Rumah Ibadah. Aturan ini jelas adalah aturan yang bisa menjadi pemicu
awal konflik penggunaan bangunan sebagai rumah ibadah. Seperti kasus di Minahasa
Utara, tuntutan penerbitan IMB oleh beberapa warga menjadi pemicu awal konflik
ini. Apakah seseorang ketika hendak menjalani rutinitas beribadah harus meminta
izin dulu dari pemerintah. Jelas ini adalah aturan yang melanggar HAM sehingga
Jokowi harus mempertimbangkan untuk mencabut aturan ini.
Selain itu pemerintahan Jokowi
baik itu melalui Menteri Agama maupun Menteri Polhukam seharusnya
mempertimbangkan kembali keberadaan lembaga keagamaan yang bisa memicu konflik
lewat fatwa-fatwanya. Ketika ada sebuah organisasi maysarakat (ormas)
mengeluarkan fatwa sesat terhadap sekelompok kominatas agama tertentu maka itu
sama saja dengan memancing kerusuhan di tengah masyarakat. Jangankan ormas,
sekelas pemerintah pun tidak memilik hak untuk mengintervensi hak beragama dan
kerkepercayaan warganya. Apalagi jika hanya sebuah ormas yang tidak memiliki
wewenang dalam mengeluarkan sebuah produk hukum. Kita bisa lihat efek dari
fatwa yang dikeluarkan dari ormas tersebut, kaum ahmadiyah dan beberapa komunitas
syiah menjadi objek persekusi dan anehnya pemerintah terkesan hanya menjadi penonton.
Presiden Jokowi beserta jajarannya yang terkait dengan pemenuhan dasar hak untuk
beragama dan berkeperayaan sudah selayaknya tegas terhadap ormas seperti ini. Mari
kita lihat bagaimana amanat UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 :
“Negara menjamin kemerdekaaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Terakhir adalah intoleransi yang
semakin masif di tengah masyarakat kita harusnya menjadi perhatian serius
pemerintah. Perbaikan sistem kurikulum dasar dalam membetuk generasi yang
toleran, hingga perlunya aturan yang tegas terhadap para pemuka agama yang
menyampaikan kebencian terhadap pihak lain harus dilakukan oleh pemerintah saat
ini. Ingat presiden, anda ini bukan presiden kelompok tertentu. Tetapi anda ini
presiden untuk semua kelompok baik itu penganut ahmadiyah, syiah, kristen,
bahkan untuk kelompok penghayat kepercayaan tradisional sekalipun. Jangan sampai
hingga akhir jabatan anda, penegakan HAM terutama pemenuhan hak dasar beragama
dan berkepercayaan menjadi noda kening di sejarah kepemimpinan anda.
Intoleransi itu nyata pak dan akan menjadi bom waktu di suatu hari kelak ketika
anda tidak serius menanganinya.
Comments
Post a Comment