RADIKAL AGAMA DAN RADIKAL BUDAYA


Assalamu alaikum
Shalom Aleichem
Om swastiastu
Namo budhaya
Rahayu
Salamakki

Mungkin selama ini radikalisme yang banyak terlihat didominasi oleh kaum beragama. Tetapi faktanya di kelompok lain pahaman ini juga tumbuh subur, salah satunya di komunitas pecinta budaya. Saya banyak melihat postingan-postingan di grup budaya nusantara yang hampir mirip dengan kaum radikal di kalangan agama. Selalu ada eksklusifisme dan cenderung memonopoli.

Sebelum berpanjang lebar, ada baiknya kita membahas secara sederhana apa yang dimaksud dengan radikalisme itu sendiri. Radikalisme berasal dari kata radikal dan isme. Radikal berasal dari bahasa Yunani yaitu Radix yang berarti akar dan isme yang berasal dari bahasa inggris yaitu ism yang berarti pahaman. Jadi secara sederhana radikalisme berarti pemahaman akar. Secara terminolgi maksud dari pemahaman akar berarti ingin melakukan perubahan kembali pada sistem awal.

Sebagai contoh kaum radikal agama, berarti mereka ingin mengembalikan tatanan sekarang menuju tatatan dahulu sebagaimana zaman Nabi Muhammad SAW sesuai pemahaman yang mereka anggap benar. Mereka menganggap bahwa keseluruhan sendi kehidupan harus kembali ke zaman beliau SAW. Mulai dari hal yang sangat bersifat simbolis seperti pakaian dan kebiasaan, hingga sistem sosial. Maka tidak mengherankan, para radikalis ini menganggap bahwa demokrasi sekarang harus diubah dan kembali ke Al Quran dan sunnah. Dan bisa kita lihat dampak dari pemahaman ini, pembunuhan adalah sesuatu yang biasa terjadi demi menegakkan nilai-nilai agama yang mereka yakini.

Hal serupa juga terjadi pada mereka yang dijangkiti radikalisme budaya. Jika para radikalis agama ingin kembali pada zaman Nabi Muhammad SAW sesuai versi mereka, maka para kaum radikalis budaya ini ingin kembali mengembalikan simbol-simbol budaya di tengah zaman modernitas. Sebenarnya menggunakan simbol-simbol budaya bukanlah hal yang menakutkan tetapi seperti penyakit kaum radikalis agama, para kaum radikalis budaya ini mementingkan eksklusifisme dalam pemahaman mereka.

Jika di kalangan radikalis agama menolak mentah-mentah budaya yang mereka sering aggap musyrik dan bidah karena dinilai menyekutukan Tuhan serta tidak ada dasar pelaksanaan dari Nabi Muhammad SAW, maka kaum radikal budaya juga berpikiran yang sama. Mereka menolak mentah-mentah pengaruh agama yang mereka anggap akan merusak nilai keluhuran budaya serta tidak sesuai dengan tuntunan yang mereka pahami. Dengan kata lain, eksklusifisme mereka secara garis besar menolak adanya akuluturasi.

Mereka mungkin lupa bahwa di zaman dahulu, para pemuka agama yang melakukan penyebaran agama sangat sulit ditemukan riwayat peperangan dengan kaum pribumi yang pada saat itu masih memegang teguh adat dan istiadat mereka. Peperangan besar hanya sekali terjadi antara kalangan beragama dengan kalangan budaya pada saat Perang Paderi di Sumatera Barat. Hal ini tidak lain karena dipicu oleh ekspansi ajaran kaum radikal agama yang menolak mentah-mentah kebudayaan pada saat itu sehingga terjadilah perang besar. Tetapi di daerah lain, penyebaran agama yang damai dan tidak dilakukan oleh mereka para radikal agama dapat diterima oleh para budayawan setempat. Bahkan banyak contoh terjadinya akulturasi karena mereka sama-sama paham bahwa agama dan kebudayaan dapat berjalan beriringan.

Kita bisa lihat di tanah Jawa bagaimana islam disebarkan berbarengan dengan budaya baik lewat lagu gamelan maupun pertunjukan wayang kulit. Belum lagi masjid menara kudus yang mencerminkan adanya perpaduan islam yang datang belakangan dengan ajaran hindu dan budha yang banyak dipengaruhi kebudayaan sansekerta. Termasuk juga akulturasi peutup kepala berupa songkok yang disebut songkok guru/nibiring yang digunakan pembesar kerajaan Gowa sebagai simbol pengislaman kerajaan lain. Dan bahkan ini menjadi contoh ketika agama dan budaya telah menemukan titik temu, justru agama akan disebar luaskan dengan perpaduan simbol budaya.

Dan sebaliknya jika kita memakai pemahaman  para kaum radikal agama dan budaya, maka akan terjadi terus menerus perang. Tetapi nenak moyang kita dahulu terlalu arif sehingga pertumpahan darah yang disebabkan oleh persoalan agama dan budaya dapat dihindarkan. Justru sekarang semangat untuk saling membentukan antara agama dan budaya mulai kencang dilakukan baik dari kalangan radikal agama maupun radikal budaya. Jika di kalangan radikal agama menolak mentah-mentah ajaran budaya seperti wayang kulit, nyanyian, dan semacamnya karena dingaap musyrik dan bidah, di kalangan radikal budaya bahkan mengolok-olok orang yang menggunakan kebaya tetapi menggunakan jilbab karena dianggap tidak sesuai tuntunan pemakainnya. Apakah dengan bernyanyi dan memainkan sarana seperti wayang kulit keimanan kita langsung luntur. Apakah juga ketika seorang perempuan yang berkebaya tetapi berjilbab serta merta menghilangkan kesakralan dan penghormatan kita terhadap budaya.

Mereka yang berpikiran radikal baik dari agama maupun budaya telah melakukan simplifikasi. Agama dan budaya tidak sesimpel itu. Melakukan akulturasi tidak serta merta membuat kita musyrik, bidah, maupaun menghilangkan kesakralan budaya. Justru dengan melakukan akulturasi, ada titik temu antara agama dan budaya yang telah dicontohkan oleh nenek moyang kita. Jika di zaman dahulu agama dan budaya dapat berjalan beriringan, mengapa sekarang kita persoalkan. Justru dengan mempersoalkan itu, sangat jelas kelihatan pemahaman agama dan budaya mereka sempit sehingga dengan mudah menjustifikasi menjadi sebuah kesalahan.

Wa alaikum salam
Shalom Aleichem
Om santi santi om
Namo budhaya
Rahayu
Salamakki




Comments