MUTIARA AHLUL BAIT


Sungguh indah rasanya ketika pertama kali mendengar istilah “ahlul bait”. Istilah yang mungkin bagi sebagian muslim masih tabu untuk didengarkan. Istilah ini masih kalah populer jika dibandingkan dengan istilah “sunnah” maupun “khalifah”. Kedua Istilah ini memang jauh lebih populer, terutama di Indonesia. Tapi harus diingat juga bahwa sudah ada sebagian umat islam di negeri ini yang sudah sangat familiar dengan istilah ahlul bait. Bagi kalangan tersebut, istilah ahlul bait merupakan istilah yang sangat khusus dan merupakan padanan yang tak tergantikan dengan Al-Qur’an.

Inilah yang menjadi salah satu alasan mereka sangat menekankan untuk menjadi pengikut ahlul bait sepanjang zaman demi keselamatan dunia akhirat. Sementara sebagian umat islam yang lain memahami istilah ahlul bait lebih umum termasuk seluruh istri-istri nabi dan juga anak-anak nabi, mertua, menantu, dan juga cucu nabi tanpa terkecuali, bahkan ada juga yang memahami keseluruhan umat muslimin. Perbedaan pendapat inilah yang menjadi semacam khazanah keilmuan di dunia islam dalam memahami siapa yang termasuk ahlul bait itu. Ada yang memahami secara khusus dan ada pula yang memahami secara umum.

Diskusi dan perdebatan tentang pemaknaan ahlul bait telah berlangsung pasca meninggalnya Rasulullah SAW hingga sekarang. Sebenarnya apa yang mendasari mengapa ada sebagian dari umat islam yang sangat mengkhususkan ahlul bait dan dalil-dalil apa yang mendukung mereka. Dan mengapa di pihak lain menganggap istilah ahlul bait bersifat umum dan tidak bersifat khusus. Di dalam tulisan ini akan dijelaskan berbagai diskusi dan perdebatan tentang itu. Insya Allah pembaca akan memperoleh pengetahuan baru yang akan menambah khasanah keilmuan di nusantara ini.

Ahlul bait merupakan hal yang sangat dekat dengan Al-Quran dan merupakan padanan yang tak tergantikan. Keengganan mereka yang mengkhusukan istilah ahlul bait itu untuk tidak merujuk pada makna umum bukan diakibatkan karena sebuah ta’ashshub (fanatisme), bukan pula karena meragukan usaha-usaha dan bukan pula karena tidak memikirkan kejujuran ataupun kebersihan jiwa. Melainkan karena berbagai dalil-dalil yang menunjukkan kepada seluruh ummat muslim untuk berpegang pada ahlul bait.  Harus juga diingat bahwa di keluarga rumah tangga Rasulullah adalah pusat nubuwwah dan risalah, tempat persinggahan para malaikat, dan tempat turunnya wahyu Al-Quran. Oleh sebab itu apa kiranya gerangan pada diri kita tidak mengikuti ahluil bait. Ketika kita melakukan penelitian maupun sebuah studi komparatif di dalam Al-Quran maupun hadist jelas dengan sangat gamblangnya untuk menuntun kita mengikuti ahlul bait. Coba kita perhatikan pada QS 33 : 33 yaitu:

“… Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sesuci-sucinya”.

Dalam shahih muslim, telah jelas bahwa Aisyah berkata:
“Pada suatu pagi, Rasulullah SAW keluar rumah menggunakan jubah (kisa) yang terbuat dari bulu domba. Hasan datang dan kemudian Rasulullah menempatkannya di bawah kisa tersebut. Kemudian Husain datang dan masuk ke dalamnya. Kemudian Fathimah ditempatkan oleh Rasulullah di sana. Kemudian Ali datang dan Rasulullah mengajaknya di bawah kisa dan membaca Surah Al Ahzab Ayat 33.

Dan juga berkaitan dengan ayat ini, Amer putra Ummu Salamah, anak tiri Rasulullah mengatakan:
“Ketika ayat ini (QS 33 : 33) diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan, dan Husain sedangkan Ali berada di belakang beliau. Kemudian beliau mengerudungi mereka dengan kain dan seraya beliau berdoa : “ya Allah mereka ini ahlul baitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya”. Ummu Salamah berkata: ‘dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda: ‘engkau tetap di tempatmu, engkau di dalam kebaikan’”. (at-Turmudzi 2 : 209, 308 ; Musykilu al-Atsar 1 : 335, Usudu al-Ghabah 2 : 12; tafsir Ibni Jarir ath-Thabari 22 : 6-7).

Dan coba juga perhatikan QS 42 : 23, yaitu:
“…Katakanlah, (hai Muhammad), tiada kuminta kepadamu upah untuk itu, hanya kasih sayang pada keluargaku…”. Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf.

Kemudian Jibril pernah turun dengan membawa ayat al-Mubahalah yang khusus ditujukan kepada para ahlul bait. Adapun ayat mubahalah terdapat pada QS 3 : 103, yaitu:
“Katakanlah, marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri-diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah” (saling mendoa) kepada Allah dan mohon agar laknat (kutukan) Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta”. Setelah diturunkannya ayat mubahalah ini sebagaimana disebutkan kitab-kitab tafsir, antara lain: Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, ialah kedatangan orang-orang Nasrani dari Najran yang mengajak Rasulullah SAW berdebat soal Nabi Isan (a.s), tentang ke-Tuhanan dan lain-lain sebagainya. Ketika mereka menolak tentang kebenaran keterangan Rasulullah SAW tentang hal ini, maka Allah SWT memerintahkan beliau (dengan ayat-ayat ini), agar menantang mereka dengan cara bermubahalah dengan masing-masing membawa keluarganya yang terdekat. Hal itu untuk menunjukkan kekuatan keyakinan akan kebenaran yang telah dinyatakan oleh Rasulullah. Dan untuk itu Rasulullah SAW hadir di tempat itu dan waktu yang telah ditentukan untuk bermubahalah dengan menggandeng Ali, Fathimah, Hasan dan Husain sebagaimana dimaksudkan oleh ayat tersebut di atas. Namun utusan Najran itu tidak berani memenuhi panggilan itu.

Dan juga kita bisa melihat ayat yang menunjukkan wilayah amamah bagi ahlul bait seperti pada QS 5 : 55 dan 56, yaitu:
“Sesungguhnya pemimpin (wali) kamu hanyalah Allah dan RasulNya, (serta) orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka ruku,. Dan barangsiapa menjadikan Allah, RasulNya dan orang-orang beriman sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (hizb) Allah itulah yang pasti menang”.

Dalam Asbabun Nuzul yang ditulis oleh K.H. Qamaruddin Shaleh, H.A. Dahlan, dan Dr. M.D. Dahlan dalam Asbabun Nuzul (187:1987) bahwa dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika seorang peminta-minta datang kepada Ali bin Abi Thalib yang pada waktu itu sedang shalat tathawwu (sunnat), ia tanggalkan cincinnya dan diserahkannya kepada si peminta-minta. Maka turunlah ayat ini yang mengemukakan beberapa pemimpin yang wajib ditaati.

Diriwayatkan ole ath-Thabarani dalam kitan al-Ausath di dalamnya yang bersumber dari Ammar bin Yasir. Hadist ini diperkuat oleh Abdurrazzaq dari Abdul Wahab bin Abbas, seperti juga yang diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih melalui riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Abbas. Kemudian juga diriwayatkan oleh Inbu Marduwaih yang bersumber dari Ali, dan yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mujahid. Juga an-Nasai menyebutkan melalui riwayat dari Abdullah bin Salman bahwa ayat ini diturunkan pada peristiwa Ali tersebut. Demikian juga yang disebutkan pengarang al-Jam’u Bainash Shihah as-Sittah ketika menafsirkan surah al-Maidah. Dan juga ats-Tsalabi dalam tafsirannya al-Kabir menegaskan turunnya peristiwa itu.

 Allah SWT juga berfirman pada QS 5 : 67 yaitu:
”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak kejakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberikan hidayahNya pada orang-orang yang ingkar”.
Penjelaswan ayat ini seperti yang diriwayatkan al-Imam al-Wahidi ketika menafsirkan surah al-Maidah seperti yang tersebut dalam kitabnya Asbabun Nuzul, bahwa Abu Said al-Khudri berkata, ”ayat ini diturunkan pada hari Ghadir Khum berkenaan dengan (pidato Rasulullah SAW) tentang Ali bin Abi Thalib.

Kemudian Anda juga bisa melihat QS 70 : 1-2 yang berbunyi:
“Seseorang telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Atas orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya”. Seperti yang diungkapkan K.H. Qamaruddin Shaleh, H.A. Dahlan, dan Dr. M.D. Dahlan dalam Asbabun Nuzul (545:1987). Dalam satu riwayat dikemukakan yakni firman Allah SWT QS 70 : 1 turut berkenaan dengan an-Nadlr bin Harits yang berkata dengan sinis “Wahai Tuhan! Sekiranya (ucapan Muhammad untuk mengutamakan Ali lebih dari kami) itu benar-benar dari padaMu, maka turunkanlah batu dari langit kepada kami dan kemudian turunlah batu dari langit untuk menimpa mereka, (diriwayatkan oleh an-Nasai dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.

Di tafsiran lain oleh ats-Tsalabi dan dikutip oleh al-Halabi dalam as-Sirah al-Halabiyyah ialah sebagai berikut:
“Setelah Rasulullah SAW menyampaikan khutbahnya di Ghadir Khum dan setelah isi khutbah tersebut tersiar secara meluas, maka datanglah seorang bernama Harits bin Nu’man al-Fihri menghadap Rasulullah SAW dan berkata pada beliau: “Ya Muhammad Anda telah memerintahkan kami agar bersaksi bahwa “Tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Anda adalah pesuruhNya”. Dan kami mau menerima perintah itu. Anda memerintahkan kami agar mengerjakan shalat lima kali sehari, dan kami mengerjakannya. Anda memerintahkan kami mengeluarkan zakat, dan kami menerimanya. Anda memerinthkan kami melaksanakan haji, dan kami pun menerimanya. Tapi Anda tidak merasa puas dengan itu semua, lalu mengangkat kedua lengan putra paman Anda (Ali bin Abi Thalib), dan mengutamakannya di atas kami semua. Dan Anda menyerukan: Barangsiapa yang mengakui aku sebagai pemimpin baginya, maka Ali juga adalah pemimpin baginya! Apakah hal ini dari Anda sendiri ataukah dari Allah?” Rasulullah menjawab: “Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, hal ini adalah benar-benar dari Allah Azza wa Jalla! Maka berpalinglah Harits menuju ontanya sambil berkata: “Ya Allah, jika apa yang dikatakan itu adalah haq dan benar, maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah azab yang pedih atas kami!” Pada saat itu juga sebelum Harits mencapai ontanya, Allah telah melemparkan batu ke arah tubuhnya dan membunuhnya seketika. Lalu turunlah ayat 1 dan 2 dari surah al-Ma’arij tersebut. Dan hal ini juga telah diriwayatkan oleh al-Hakim ketika menfsirkan surah al-Ma’arij dalam kitabnya al-Mustadrak. Lihat kitab teresebut pada juz III halaman 502.

Dan merekalah yang dimaksud oleh Allah SWT sebagai orang yang telah menepati janji berdasarkan QS 33 : 23 yang berbunyi:
“Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada pula yang (masih) menunggu, dan mereka sedikitpun tidak merubah janji mereka”.

Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitabnya as-Sawaiq pada pasal 5 bahwa Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang berkenaan dengan firman Allah tersebut di atas, dan beliau menjawab: “(aku mohon ampunanMu, ya Allah) Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan diriku, pamanku Hamzah dan putera pamanku: “Ubaidah bin Harits bin Muthalib. Adapun Ubaidah, ia telah gugur sebagai syahid di perang Badar. Begitupula Hamzah, ia gugur sebagai syahid di perang Uhud. Adapun aku sendiri, sedang menunggu “orang yang paling celaka” (yang dimaksudkan oleh beliau ialah calon pembunuhnya), yang akan membasahi tubuhku dengan darah, dari sini sampai ke sini (beliau menunjukkan arah janggut dan kepalanya). Demikianlah itu pesan yang disampaikan padaku oleh junjunganku Abul Qasim (Rasulullah SAW)”.

Juga bukankah dalam Al-Quran rumah mereka adalah rumah yang yang diperintahkan untuk dimuliakan, sebagaimana pada QS 24 : 36, yaitu:
“Di rumah-rumah yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya”.
Ats-Tsa’labi telah jelas dalam tafsirnya al-Kabir yang menyebutkan tentang arti ayat ini dengan sanad yang sampai pada Anas bin Malik dan Buraid, keduanya berkata: Rasulullah SAW membaca ayat ini, kemudian Abu Bakar bertanya kepadanya: Ya Rasulullah, apakah rumah ini termasuk di antara rumah-rumah tersebut?”, sambil menunjuk ke rumah Ali dan Fathimah. Rasulullah menjawab: “Ya, memang termasuk di antara yang mulai di antaranya.”

Dari seorang yang sedang belajar islam secara kaffah....




Comments