PERLUKAH INDONESIA DENGAN PERDA KEAGAMAAN


Pidato Grace Natalie selaku ketua umum dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengenai penolakannya terhadap Peraturan Daerah (Perda) Injil dan Perda Syariah menuai pro dan kontra. Bagi saya sebelum lebih jauh membicarakan itu semua, ada baiknya memahami dari awal bahwa menolak Perda Injil bukan berarti menolak Injil dan menolak Perda Syariah bukan berarti menolak Syariah Islam. Menyamakan Injil dan Syariah dengan Perda yang dibuat sesuai kepentingan manusia adalah kesimpulan yang keliru dan sesat pikir. Penekanannya adalah penolakan adanya formalisasi agama dalam hal ini Perda Injil dan Perda Syariah dalam bingkai aturan daerah. Ini sudah sesuai dengan konsensus dan komitmen awal para pendiri bangsa untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Sehingga penolakan terhadap perda keagamaan adalah hal yang sangat wajar.

Pun beberapa Perda Syariah yang telah diformulasikan justru menjadi legitimiasi untuk mendiskreditkan kelompok tertentu. Kita bisa lihat adanya Perda Syariah di Aceh yang melarang perempuan duduk “mengangkang” pada saat berboncengan. Sudah se”kepo” inikah pemerintah daerah dalam mengurusi warganya. Sangat jelas disini objeknya adalah perempuan dan sangat diskriminatif. Apa yang salah dengan duduk “mengangkang” yang dilakukan perempuan ketika dibonceng? Apakah itu akan meruntuhkan iman seseorang? Apakah iman beberapa masyarakat Aceh hanya setipis kartu ATM? Mengapa tidak sekalian para lelaki juga diberikan pelarangan seperti itu. Hal seperti ini sangat tidak memiliki korelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Perda syariah lainnya yang membingungkan adalah mengapa pelaksaan hukuman seperti hukuman cambuk harus dilakukan di depan umum mirip yang dilakukan teroris transnasional seperti ISIS? Mengapa itu hanya terjadi pada rakyat kecil sementara jika pejabat yang melakukan kesalahan maka hal itu tidak berlaku seperti tersangka kasus korupsi Gubernur Aceh non aktif Irwandi Yusuf. Jadi akan sangat lucu karena cerminan dari itu semua hanyalah kepentingan dan diskriminasi. Perda keagamaan yang tidak kalah konyol seperti pelarangan pembangunan masjid di Manokwari dikarenakan daerah ini adalah daerah Injil. Mengapa begitu mundurnya toleransi kita dengan melegalisasi perda berbasis agama padahal itu hanya akan menjadi biang intoleransi dan diskriminasi di negara ini.

Itu belum termasuk jika urusan keyakinan yang menjadi hal paling pribadi dan prinsipil sampai diatur dalam perda tersebut. Jika sampai dilegalformilkan maka sekelompok orang akan memiliki legitimasi untuk melakukan kekerasan hanya karena perbedaan keyakinan dan penafsiran keagamaan dengan tuduhan penistaan agama. Belum hilang di ingatan kita bagaimana kekerasan yang terjadi terhadap warga Syiah di Sampang dan Ahamdiyah di Mataram hanya karena perbedaan penafsiran keagamaan sehingga dituduh sesat. Lebih parahnya lagi orang yang berbeda keyakinan dan penafsiran ini akan dikenai hukuman dan sangat jelas itu adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang paling mendasar. Ini bukan sekadar asumsi atau teori belaka, karena kekerasan sudah banyak terjadi walaupun Perda keagamaan ini belum dilegalformilkan secara keseluruhan di Indonesia. Bahkan ke depannya seseorang bisa saja dipidana karena belum shalat, atau seseorang akan dipidana karena menjual makanan di siang hari pada bulan ramadhan. Dan ini akan sangat berbahaya jika mereka yang intoleran melihat hal ini sebagai angin segar untuk melakukan aksi kekerasan mereka.

Seperti yang kita ketahui salah satu model pemeluk agama adalah ekslusivisme. Pahaman ini adalah pahaman yang meyakini bahwa hanya agama/ keyakinan mereka yang membawa keselamatan. Sementara yang lain tidak. Sikap ini merupakan pandangan yang sangat dominan dari zaman ke zaman terutama di kalangan Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam Kristen misalnya, ayat yang sering digunakan rujukan adalah

“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehNya  kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4, 12).

Dan di dalam islam pun demikrian, penganut ekslusivisme sering menggunakan Surah Ali Imran (3) ayat 19,

“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Tuhan adalah islam”

Apakah yang dimaksud keselamatan dalam koridor Kristen dan Islam adalah sebuah pemahaman institusi agama formal? Ataukah kedua hal itu justru menunjukkan kualitas atau esensi yang lebih bersifat esoterik? Paradigma ekslusif ini mempunyai ciri-ciri menonjol, seperti bahwa: (a) Agama lain, di luar agama yang dianutnya, dipandang sebagai agama buatan manusia, (b) Umat beragama lain dianggap sebagai orang yang berada di dalam kekufuran, (c) Kitab suci agama lain dianggap tidak sah, (d) cenderung bersifat formalistik-legalistik dan memahami teks-teks keagamaan secara literal. Artinya pemahaman keagamaan seperti ini memiliki korelasi positif dengan mereka yang bersuara lantang formalisasi perda berbasis keagamaan. Dan sekarang jika perda berbasis keagamaan itu dilegalformilkan, maka akan terjadi gesekan dan tentunya tidak mengakomodir kepentingan seluruh kelompok. Saya mengatakan akan terjadi gesekan karena masing-masing pemeluk agama akan merasa benar dengan tafsiran agamanya sendiri. Apalagi seperti diketahui kecenderungan sektarianisme dan pola ekslusivisme beragama masih sangat tinggi di Indonesia dan tentunya dengan sendirinya hal ini rawan memicu konflik.

Ada satu ungkapan Rumi yang seharusnya menjadi renungan kita bersama : “Aku berkelana di tanah orang-orang Kristen dari ujung ke ujung. Di tiang salib aku mencari, tapi Dia tidak ada di palang salib. Aku juga mendatangi biara tempat penyembahan, mendatangi pagoda kuno. Juga di tengah nyanyian kaum Majusi ketika memuja api, tak kutemukan Dia. Aku mendaki gunung Heart dan Kandahar. Aku lihat, Dia juga tak bersemayam di dalam dan di ujung bukit-bukitnya. Aku berlari cepat mengitari ka’bah mencari Dia, tapi di ka’bah itu yang menjadi altar perlindungan anak-anak muda dan orang tua, tak kutemukan Dia. Ketika aku memandang pada kedalaman hatiku, ya aku melihatnya, Dia di sana dan bukan di tempat yang lain.

Perbedaan agama termasuk bagaimana menafsirkannya biarkanlah menjadi urusan masing-masing individu tanpa diatur lebih mendetail oleh pemerintah, baik pusat dan daerah. Cukuplah urusan itu menjadi urusan hamba dan Tuhannya. Dan tugas utama negara disitu adalah menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan setiap warga negaranya selama tidak mengganggu pemeluk agama lain. Saya melihat itulah cita-cita luhur pendiri bangsa kita, bahwa negara ini bukanlah negara agama. Melainkan negara yang penduduknya beragama dan dijamin kekebasannya oleh konsitusi.




Comments