MENAKAR BIDAH

Mengutip laporan situs berita al-Tawafuq yang menyebutkan, Abdul Aziz Al Sheikh, seorang mufti wahabi Saudi kembali menyebut peringatan hari kelahiran Nabi SAW atau maulid sebagai bid'ah di saat lebih dari satu milyar umat Muslim di seluruh dunia tengah bersuka cita menyambut peringatan kelahiran manusia agung itu. Pertanyaan yang kemudian akan timbul, apakah setiap hal yang dikerjakan harus didasari oleh perintah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW? Bagaimana jika hal itu tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW? Apakah kita tidak boleh melaksankannya? Dan apakah hal itu akan membuat dosa karena kita telah membuat hal baru dalam agama? Beberapa orang akan menunjukkan hadist-hadist untuk memperkuat argumentasi mereka tentang pelarangan bid’ah, diantaranya :

“Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah kitab Allah dan seutama-utama petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad. Sementara seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang dibuat-buat, dan setiap yang bidah itu adalah kesesatan” (Musnad Ahmad bin Hanbal Juz 3);

 “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang dibuat-buat, dan setiap yang bidah itu adalah kesesatan” (Shahih Muslim, An Naisaburi Juz 3);

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan bid’ah? Apakah perkara baru yang dibuat tanpa pernah dilakukan Rasul SAW adalah bid’ah? Kalau memang seperti itu, bagaimana dengan penambahan-penambahan yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan seperti melaksankan shalat tarawih secara berjamaah, adanya shalat sunnah dhuha, penambahan kata “ashshalatu khairun minannaum” pada adzan shubuh, adanya adzan kedua pada shalat jumat, dan masih banyak lagi. Termasuk juga ketika Aisyah binti Abu Bakar melakukan doa di makam Rasul SAW untuk meminta hujan padahal itu tidak memiliki dasar yang jelas. Seharusnya sebagai sikap objektif, maka hal seperti itu harus kita pertanyakan.

Belum lagi kalau kita dibenturkan pada kondisi modernitas seperti sekarang ini. Bagaimana dengan ceramah via internet, apakah itu pernah dilakukan oleh Rasul SAW? Bagaimana dengan pengeras suara yang dipergunakan oleh muadzdzin ketika mereka adzan, apakah itu ada di zaman Rasul SAW? Dan masih banyak hal-hal baru yang lain, yang sejujurnya itu tidak pernah dilakukan oleh Rasul SAW.

Sebenarnya masalah yang diperselisihkan dan diperdebatkan adalah dalam hal penentuan mana yang bid’ah dan mana yang merupakan tradisi baik dan dianjurkan? Sebagian dari kaum muslimin yang berpegang teguh pada teks-teks di atas secara harfiyah, maka mereka menganggap banyak sekali amalan kaum muslimin mayoritas yang bisa dianggap sebagai bidah dan wajib untuk dihindari, seperti yang telah disebutkan di atas. Dan juga yang lagi ramai dilakukan seperti berdzikir dengan bersama-sama, merayakan peringatan maulid atau hari kelahiran Nabi SAW dan orang besar lainnya atau sebaliknya memperingati hari wafat Nabi SAW dan orang besar lainnya yang sering disebut dengan kata "haul", membaca doa setelah shalat, berjabat tangan setelah shalat, bertawassul kepada Rasul SAW dan keluarganya, mengambil tabarruk kepada orang-orang yang dianggap suci dan mengucapkan shadaqallahul 'adzim setelah membaca Al Quran. Tetapi sebagian lagi menjawab bahwa hal itu adalah sebagai sebuah kebaikan yang harus dipelihara karena kita juga tidak menemukan hal-hal yang melarang kita untuk melakukan itu.

Untuk itulah, mari kita berangkat dari sebuah pemahaman tentang apakah yang dimaksud dengan bid’ah. Bidah diambil dari arti bahasa seperti yang disebutkan dalam kamus Lisanul Arab dan Al'Ayn memiliki makna sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak ada contohnya sebelumnya. Sementara para ulama islam telah mendefinisikan bid’ah diantaranya :

Ibnu Rajab Al Hanbali berpendapat bahwa bidah adalah sesuatu yang dibuat dan tidak memiliki dasar di dalam syariat. Adapun yang memiliki dasar, maka tidak dianggap sebagai bidah secara syar'iy walaupun secara bahasa disebut dengan bidah. (Jamiul Ulum Wal Hikam Hal. 160). Juga Allamah Majlisi mengatakan bahwa bidah di dalam syariat adalah yang dilakukan pasca zaman Rasulullah SAW dan tidak memiliki dalil khusus (atas keabsahannya) serta tidak masuk ke dalam dalil global (ummat). Sedangkan menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya yaitu riwayat Abu Nu’aim. Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’. Sementara riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i menyebutkan bahwa 'Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’, inilah bid’ah dhalalah/sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.

Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan para pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam Ibnu ‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain. Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dhalalah/sesat atau haram, maka amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw, semuanya itu akan menjadi sesat/dholalah atau haram, misalnya antara lain:

Yang pertama adalah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf  (Kitab) yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal;

Kedua adalah perbuatan khalifah Umar bin Khattab yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarwih bermakmum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’. (Shahih Bukhari hadits nomor.1906);

Yang ketiga adalah mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, dan sebagainya adalah haram karena itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasul SAW. Yang keempat adalah tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at, yang dilaksanakan pada zamannya Khalifah Usman bin Affan. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan karena bertambah banyaknya ummat Islam (HR,Bukhari hadits nomor.873) .

Dari penjelasan di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa sesuatu itu dapat dikatakan bid’ah jika memiliki kriteria sebagai berikut :

Yang pertama tidak ada dalil sama sekali yang menjelaskannya baik secara khusus atau umum tentang dasar amalan itu. Sebab jika masih ada dalil umum yang bisa kita terapkan amalan tersebut padanya, maka tidak bisa dianggap hal itu sebagai bidah. Jadi yang disebutkan oleh para ulama memiliki dasar tidak harus dalil khusus, tapi cukup dalil umum, karena dalil umum itu juga adalah dasar dari syariat;

Kedua adalah di saat tidak ada dalil sama sekali yang menjelaskan tentang amalan tersebut secara khusus atau umum, namun kita anggap amalan tersebut sebagai amalan islami atau yang diajarkan di dalam Islam. Karena di dalam penisbatan itu ada kebohongan atas nama Allah dan Rasul yang pasti adalah sebuah kemunkaran yang jauh lebih besar dosanya dari pada kebohongan biasa;

Yang ketiga adalah amalan yang diada-adakan itu adalah amalan yang masuk dalam kategori ibadah mahdhah dan bukan yang termasuk pada ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang dijelaskan secara terperinci baik di dalam Al-Quran maupun sunnah Rasul SAW baik dari cara pelaksanaan, waktu, dan beberapa lain persyaratan dalam ibadah tersebut. Contohnya seperti shalat, puasa, zakat, haji. Sementara ibadah ghairu mahdhah adalah ajaran yang disampaikan dalam Al Quran atau sunnah Rasul SAW namun secara global dan tidak disebutkan tentang tata cara untuk melaksanakan perintah tersebut secara khusus. Seperti perintah mencintai Nabi SAW dan keluaraganya (QS Asy-Syura : 23), di dalam Al-Quran tidak dirincikan bagaimana cara mencintai Nabi SAW dan keluaraganya.

Berdasarkan ayat itu, maka banyak tipe umat islam yang mencintai Nabi SAW dan keluargnya. Ada dengan cara menziarahi makam beliau, bershalawat kepada beliau, memperingati maulid (kelahiran) dan haul (kesyahidan) beliau, dan masih banyk lagi contoh yang lain. Yang kesemuanya itu tidak mencederai dan mengubah esensi kecintaan kita kepada beliau. Begitu juga dengan perintah menutup aurat, di dalam Al Quran disebutkan secara global artinya tidak disebutkan model dan warna tertentu, karenanya bebas-bebas saja orang laki atau perempuan menggunakan pakaian yang memenuhi syarat dari sisi penutupan aurat selama tidak masuk dalam hal yang dilarang, misalnya orang laki tidak menggunakan baju perempuan dan begitu juga sebaliknya, tidak menggunakan pakaian yang model atau warnanya akan menarik perhatian (sensual) dan beberapa larangan lain.

Terakhir menutup tulisan ini, saya hanya ingin kita dapat bersikap objektif dalam melihat perbedaan dan harus kita ingat bahwa tidak ada larangan dalam islam mengenai amalan baru yang dibuat-buat selama itu tidak berhubungan dengan ibadah mahdhah (yang penjelasannya telah terperinci, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah beliau). Semoga tulisan ini bermanfaat.




Comments