KOALISI HOAX ATAU KOALISI BODOH


Drama penganiayaan Ratna Sarumpaet jika dilihat dari berbagai sisi, mengundang berbagai spekulasi. Mari kita mulai dari berbagai respon yang sangat reaktif diperlihatkan oleh kubu Prabowo-Sandi sebagai wadah politik Ratna Sarumpaet di Pilpres 2019. Dimulai dari Prabowo yang berkata jika Ratna trauma, kemudian Amien Rais yang menuntut  agar pelakunya segera ditangkap. Sekelas Fadli Zon yang menjabat sebagai anggota DPR mengatakan jika Ratna dianiaya oleh 2-3 orang. Dahnil Anzar bahkan yakin jika Ratna dikeroyok di bandara Bandung pada tanggal 21 September 2018. Bahkan Hanum yang merupakan anak dari Amien Rais juga berani mempertaruhkan profesi dokternya untuk membenarkan berita penganiyaan ini. Hingga sekaliber Rizal Ramli yang sebenarnya seorang ekonom juga menjadi korban hoax Ratna.

Melihat reaktif dan masivnya tanggapan para pendukung Prabowo-Sandi terhadap kasus ini baik lewat konferensi pers, pembuatan video bersama dengan Ratna Sarumpaet, hingga propaganda di media sosial tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu, akan sangat jelas memunculkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kapasitas mereka. Bukankah koalisi yang katanya didukung ulama lewat Ijtima Ulama jilid II ini lupa atau memang tidak pernah membaca firman Allah SWT di dialam Surah Al Hujurat Ayat 6 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”

Mungkinkah sekelas Prabowo yang dinilai memiliki latar belakang militer mumpuni mampu tertipu oleh berita murahan yang disampaikan oleh seorang nenek-nenek. Apakah dengan alasan empati menghilangkan rasionalitas dalam berpikir. Coba bayangkan jika Prabowo menjadi presiden dan memiliki pola pikir seperti ini, bisa-bisa negara kita akan menjadi tidak menentu karena seorang pemimpin tidak mendahulukan rasionalitas informasi sehingga kesimpulan yang dihasilkan bersifat prematur. Kemudian sekelas Fadli Zon yang dengan serta merta mengiyakan saja berita penganiayaan ini tanpa ada pencarian fakta terlebih dahulu. Bahkan Fadli Zon juga menyebarkannya di media sosial tentang penganiayaan ini. Narasi yang dibangun pun selalu membangun stigma negatif terhadap pemerintahan yang represif dan anti kritik. Walaupun di kemudian hari kedok hoax Ratna terbongkar.

Hanum Rais yang merupakan anak dari Amien Rais dan seorang dokter juga melakukan blunder yang sama dalam kasus ini. Mengutip sebuah peribahasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, keteledoran Hanum menyebarkan informasi bahkan berani mempertaruhkan profesinya sebagai seorang dokter mirip yang dilakukan bapaknya sendiri yaitu Amien Rais. Tanpa klarifikasi kebenaran akan suatu informasi, tiba-tiba saja membela matia-matian Ratna Sarumpaet bahkan dibuatkan video yang menggambarkan bagaimana ia sangat prihatin atas kejadian yang dialami oleh Ratna. Dan terbukti apa yang diterimanya itu bohong dan tentunya tanggung jawabnya sebagai seorang dokter pun perlu dipertanyakan.

Yang lebih naas adalah seorang ekonom senior Rizal Ramli. Menteri yang dipecat dari kabinet pemerintahan Jokowi ini ikut terbawa arus sebagai pihak yang mempercayai berita ini. Hingga akhirnya kedok kebohongan terbuka sehingga langkah Jokowi memberhentikan Rizal Ramli sebagai menteri ketika itu adalah tepat jika dilihat dari bagiaman Rizal Ramli mengambil konklusi dari kasus ini. Coba kita bayangkan jika sekelas menteri dengan mudah percaya terhadap sebuah berita tanpa melakukan klarifikasi akan kebenarannya, bisa salah analisanya nanti dan ujung-ujungnya rakyat yang akan dikorbankan.

Melihat gelagat mereka, patut dipertanyakan apakah semudah itu seorang perwira militer, politikus senior, anggota DPR, dokter, maupun ekonom dengan mudahnya dibohongi oleh seorang nenek-nenek. Jawaban dari pertanyaan ini ada dua. Yang pertama adalah jika mereka dengan tidak sadar telah dibohongi oleh Ratna Sarumpaet, maka kualitas pemikiran mereka perlu dipertayakan lagi. Mereka adalah orang-orang hebat di bidangnya sehingga ketika mereka dibohongi oleh Ratna Sarumpaet, hal ini menjadi ironi. Gelar hebat yang disandang ternyata tidak bisa menghandarkan mereka dari kesimpulan prematur.

Kedua adalah mereka bukanlah orang bodoh yang mudah dibohongi oleh Ratna Sarumpaet. Melihat latar belakang mereka, tentu kita semua akan berdecak kagum sekaligus menyiratkan dahi. Seperti ada goncangan tsunami ketika Ratna Sarumpaet telah mengakui kebohongannya. Ramai-ramai melakukan pembelaan diri dan tetap merasa tidak bersalah padahal pada awal kemunculan berita ini mereka dengan serta merta melakukan sosialisasi. Ibarat kata seperti melakukan cuci tangan, Ratna dikorbankan sebagai satu-satunya pihak yang disalahkan. Padahal jika kita ingin mengedepankan rasionalitas, tentu agak mengherankan jika kabar yang belum tentu kebenarannya ini ditanggapi secara reaktif oleh pihak Prabowo-Sandi. Setidaknya sebelum percaya sama si Ratna, harusnya dia ditanya-tanya terlebih dahulu. Dimana kejadiannya, siapa pelakunya, mana visum dokternya, dan tentunya jika ini benar, maka yang seharunya dilakukan adalah melaporkan kasus “penganiayaan” ke pihak yang berwajib. Bukan malahan menggelar konferensi pers dan rekaman video yang bisa ditafsirkan membenarkan kejadian ini.

Ingat, jangan lagi mau dibohongi dan dibodohi.




Comments