AGAMA DAN BUDAYA


Mungkinkah tradisi yang sudah turun temurun dilaksanakan harus dihentikan karena adanya sekelompok orang yang mengatasnamakan agama melihatnya sebagai perbuatan musyrik. Saya pikir ini adalah sebuah tindakan yang tidak proporsional dan cenderung prematur jika penghentiannya dilakukan secara sepihak tanpa ada diskusi diantara kedua belah pihak. Apakah memang melepaskan makanan ke laut dapat disebut sebagai kemusyrikan. Penghentian kegiatan mungkin awalnya hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi tidak menutup kemungkinan jika itu terjadi di daerah lain yang sejenis termasuk di daerah Sulawesi Selatan tempat saya berdomisili sekarang. Sebut saja tradisi Maudu Lompoa di Cikoang, Kabupaten Takalar akan menjadi sasaran berikutnya untuk dibubarkan oleh mereka yang memahami agama secara prematur. Kekhawatiran saya didasari pada viralnya postingan yang disebutkan adanya sedekah laut di Palu pasca bencana yang oleh sebagian kalangan sangat disesalkan, dianggap musyrik dan menjadi sebab bencana di daerah itu terus terjadi.

Pemikiran seperti ini yang sangat kerdil dalam memahami konteks kebudayaan tentunya menjadi hal yang sangat berbahaya terhadap kemajemukan bangsa ini. Saya dapat mengatakan jika ini berawal dari ekslusifitas dalam memahami agama. Ekslusif dalam artian menutup diri untuk mendengarkan penafsiran agama dari pihak lain. Seharusnya pembubaran sedekah laut tidak akan terjadi jika yang menganggap dirinya lebih memahami agama mau membuka ruang-ruang diskusi terlebih dahulu untuk memahami penafsiran lain tentang sedekah laut. Pertama apakah sedekah laut itu perbuatan musyrik. Kedua apakah sedekah laut itu dilarang oleh agama. Ketiga apakah kegiatan budaya yang secara spesifik tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah sesuatu yang dilarang. Keempat apakah agama hanya berbicara teks dan tidak berbicara konteks. Terakhir apakah agama dan budaya adalah dua hal yang bersifat anomali ataukah keduanya dapat berjalan beriringan. Tentu pertanyaan-pertanyaan seperti ini terlebih dahulu kita diskusikan sebelum melakukan pembubaran kegiatan sedekah laut.

Mari kita awali dengan pertanyaan apakah sedekah laut itu perbuatan musyrik. Sedekah dalam terminologi umum berarti memberikan sesuatu kepada pihak yang kita anggap membutuhkan. Misalnya ada tetangga kita yang membutuhkan beras dan kita dibantu maka hal itu dianggap sedekah. Sedangkan terminologi umum musyrik dapat dianggap menyekutukan Allah SWT, menganggap ada sesuatu yang sebanding dengan Dia, dan menganggap ada kekuatan yang setara dengan Dia (QS 112:4). Sekarang coba kita lihat dari kegiatan sedekah laut itu sendiri. Sedekah laut diisi dengan kegiatan mengumpulkan makanan dengan menyimpannya di sebuah wadah kemudian melepaskannya ke laut. Berbeda sedikit dengan acara Maudu Lompoa di Cikoang, Takalar yang mengumpulkan makanan di atas perahu kemudian diletakkan di pinggir sungai dan ini berkaitan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Mengumpulkan makanan di dalam sebuah wadah kemudian melepaskannya ke laut saya pikir tidak ada rambu-rambu agama maupun hukum positif lainnya di Indonesia yang dilanggar. Pertanyaan ini juga sekaligus menjawab pertanyaan kedua, apakah sedekah laut itu dilarang oleh agama.

Laut dalam artian disini tentu lebih spesifik dipahami sebagai makhluk hidup yang mendiami laut tersebut. Jelas makhluk hidup ini butuh makanan, sehingga melepaskan makanan ke laut dapat juga dipahami sebagai sedekah sesama makhluk hidup. Analoginya sederhana, kita mungkin pernah memberikan makanan ke kucing sebagai bentuk kepedulian kita dan apakah perbuatan itu dapat dikategorikan musyrik. Toh kucing dan hewan yang ada di laut dapat mencari makanan sendiri, tetapi keinginan kita bersedakah kepada hewan tersebut tidak boleh dengan serta merta dipahami sebagai sebuah bentuk kemusyrikan. Ini juga mirip dengan memelihara hewan tanpa tujuan komersil. Apakah kegiatan itu dapat dengan serta merta dikatakan musyrik. Sangat prematur jika pemikiran kita masih sekerdil itu. Umumnya pemikiran seperti ini sangat mengabaikan peran akal dalam memahami persoalan-persoalan agama yang kontemporer maupun tidak ada kasusnya di zaman Nabi Muhammad SAW.

Sedekah laut tidak bisa diartikan bahwa laut menjadi sebab utama kesejahteraan hasil laut itu sendiri karena kita yakin bahwa kesejahteraan laut telah ditentukan oleh Allah SWT sebagai sebab utama. Sementara sedekah laut hanya merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menyejahterakan laut. Bukankah Allah SWT tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika bukan mereka sendiri yang mengubahnya (QS 13:11). Toh ini merupakan usaha untuk menyejahterakan laut dengan memberikan makanan kepada hewan laut karena selama ini manusia telah mengambil manfaat dari situ. Analogi sederhananya seperti ini, kita meminum obat dan kemudian sembuh terus apakah dengan serta merta kita dianggap musyrik karena meyakini bahwa ada kekuatan yang terdapat di dalam obat tersebut. Tentu usaha meminum obat adalah usaha menyedekahkan ke tubuh kita yang lagi butuh perawatan untuk tetap sehat. Betul bahwa obat itu mengandung bahan yang akan membuat tubuh kita kembali sehat, tetapi obat hanyalah wadah dan bukan sebab utama yang menyembuhkan. Kita tetap memahami bahwa yang menyebuhkan itu adalah Allah SWT melalui wadah obat.

Kemudian yang ketiga apakah kegiatan yang secara spesifik tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah sesuatu yang dilarang. Tentu ini berbicara konteks baik dilihat dari perspektif zaman maupun dari segi geografis sekaligus menjawab pertanyaan keempat. Ini tentu berkaitan dengan perkara baru dalam agama yang diada-adakan atau lebih umumnya kita menyebutnya bidah. Pengertian bidah yang identik dengan hal baru dalam agama memiliki banyak perspektif di kalangan para ulama. Ada yang menganggap jika hal baru dalam agama yang tidak bertentangan dengan ajaran agama secara umum maka hal itu boleh dilakukan atau biasa disebut dengan bidah hasanah. Alasan di balik itu semua berkaitan dengan perkembangan zaman dan teknologi. Tentu dahulu kala di zaman Nabi Muhammad SAW pengeras suara masjid belum ada, media sosial belum ada, kendaraan belum ada. Dan masih banyak hal-hal baru yang belum terdapat di zaman Nabi Muhammad SAW. Jika semua hal baru dalam agama dilarang, maka tentu saat ini kita tidak boleh menggunakan pengeras suara ketika mengumandangkan azan karena itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Tentu juga kita tidak boleh menggunakan media sosial sebagai wadah dakwah dalam menyebarkan ajaran islam karena hal itu tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika kita berpikiran sempit dengan menggunakan teks saja tanpa memahami konteksnya, tentu konsekuensi logisnya adalah agama ini tidak sempurna karena tidak mengikut perkembangan zaman.

Jadi apakah sedekah laut dilarang hanya karena Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukannya. Ingat bung, jika beliau SAW berdakwah di Mekah dan Madinah yang bukan daerah laut. Tentu konteks sedekahnya bukan di laut, dan ini berbeda dengan Indonesia yang banyak dikelilingi oleh laut. Sama halnya dengan kegiatan Maudu Lompoa di Cikoang, Takalar tentu tidak dapat dipahami sebagai hal yang dilarang karena Nabi Muhamamd SAW tidak pernah melakukannya. Toh Maudu Lompoa dengan akar sejarah adalah wujud kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Apakah salah mencintai beliau SAW diwujudkan dengan memperingati hari kelahirannya. Lagipula ada tidak dalil yang melarang memperingati hari kelahiran beliau SAW. Justru saya menganggap mereka yang selama ini ini anti maulid adalah mereka yang patut dipertanyakan kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka biasanya yang melarang ini, justru mengalami kontradiksi internal dalam implementasi keagamaannya. Mereka melarang memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tetapi justru memperingati milad organisasinya. Ini kan lucu bin ajaib dan bisa saya anggap organisasinya lebih patut dipahami sejarahnya ketimbang memahami sejarah Nabi Muhammad SAW dalam mendakwahkan islam.

Kemudian yang terakhir apakah agama dan budaya adalah dua hal yang bersifat anomali ataukah keduanya dapat berjalan beriringan. Tentu saya katakan bahwa agama dan budaya bukan sesuatu yang bersifat anomali. Keduanya bisa berjalan beriringan dengan saling memahami satu dengan lainnya. Agama datang bukan untuk menghilangkan budaya, tetapi agama datang sebagai pelengkap khasanah pluralitas di nusantara. Tentu agama tidak bisa dijadikan tameng untuk menghilangkan budaya selama tidak ada pelanggaran hukum positif dari kebudayaan itu sendiri. Sedekah laut tentu tidak ada yang dirugikan dari kegiatan ini. Begitupun dengan Maudu Lompoa maupun dengan kegiatan budaya lainnya. Selama kegiatan budaya ini bukan dengan tujuan memaksakan pemahaman maupun mengagresi keyakinan, tentu hal ini sah-sah saja dilakukan. Justru yang ironis adalah mereka yang paling mengaku beragama, anti musyrik dan anti bidah justru menjadi benalu di republik ini. Ekslusifitas beragama dan penolakan terhadap pluralitas berimplikasi meningkatnya pahaman radikal adalam beragama. Kita bisa lihat mereka yang menjadi teroris, adalah mereka yang memahami agama secara ekslusif. Sementara mereka yang mengadakan sedekah laut maupun Maudu Lompoa, hingga saat ini belum ada dari mereka yang terindikasi menjadi teroris.



Comments