Bagi
sebagian kalangan umat muslim, momen bulan Muharram dimaknai sebagai bulan
hijrah dari suatu keadaan yang baik menuju kepada keadaan yang lebih baik lagi.
Hal ini berdasar pada hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah yang
dijadikan sebagai awal dasar penanggalan hijriah dalam islam. Hijrah menuju
keadaan yang lebih baik memiliki banyak interpreatsi. Bisa saja di suatu
denominasi islam memiliki pemahaman berbeda dengan denominasi lainnya mengenai
makna dari hijrah itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa contoh hijrah itu
dari seseorang yang tidak berjilbab menuju yang berjilbab. Ada juga yang
berpendapat jika hijrah yang dimaksud lebih ditekankan pada aspek nilai seperti
peningkatan moral dan akhlak. Bahkan yang lebih ekstrim, seseorang akan
dikatakan hijrah (bagi perempuan) ketika ia telah menggunakan cadar ataupun
berjanggut panjang dan bercelana cingkrang (bagi laki-laki).
Pendapat
seperti ini sah-sah saja karena setiap orang memilik argumentasi untuk mendukung
pendatanya masing-masing. Tetapi yang perlu diingat adalah, makna hijrah akan
lebih baik jika dilihat dari apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau
SAW melakukan hijrah dalam rangka menyebarkan agama islam. Kota yang dituju
dalam konteks hijrah Beliau SAW adalah kota Yastrib (Madinah). Dalam perjalanan
dakwah Nabi Muhammad SAW, hal yang pertama kali diajarkan adalah tentang
keesaan Allah SWT. Makanya dalam rukun islam diawali dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat maupun rukun iman yang diawali dengan percaya kepada Allah
SWT. Ada persaksian tentang keesaaan Allah SWT dalam konteks pondasi keagamaan.
Artinya dalam konteks yang lebih luas, dakwah Nabi SAW dimulai dari konteks
mengesakan Allah SWT ketimbang berbicara tentang syariat.
Dan
jika dikomparasikan dengan keadaan sekarang, sangat banyak yang memaknai hijrah
dengan demonstrasi syariat ketimbang pengetahuan tentang keesaan Allah SWT.
Model bagi pria dengan janggut panjang dan celana cingkrang serta dengan
perempuan yang memakai cadar sangat dominan ketimbang memaknai awal bulan Muharaam
sebagai momentum hijrahnya pemahaman akidah kita dari materialis menuju
transenden. Tren hijrah simbolis seperti celana cingkrang, janggut panjang, dan
cadar (walaupun bagi saya ini lebih berbicara budaya ketimbang syariat) justru
tidak memperkokoh akidah kita dalam memahami islam. Sosok demonstrasi islam
yang lebih mengedepankan simbol justru membuat islam ini makin kering dan kaku.
Kita
bisa lihat bagaimana teroris dan koruptor tidak sedikit yang mengdepankan simbol
islamnya itu. Sehingga kesan yang muncul dari pihak di luar islam bahwa
tampilan mereka mewakili substansi dari ajaran islam itu sendiri, walauapun
nyatanya tidak demikian. Dakwah Nabi Muhammad SAW yang diawali dengan
mengesakan Allah SWT seharusnya dapat dipahami bahwa dakwah yang dilakukan
adalah perbaikan pola pikir awal mengenai akidah dan tidak serta merta
berbicara syariat. Karena jika pemahaman islam diawali dengan perubahan pola
pikir, maka umat islam akan memahami agama secara substansi dan bukan lewat simbol
semata.
Kita
bisa lihat bagaimana seorang mantan hakim MK yang memiliki tampilan syari dengan
tetapi tetap korupsi. Ini menandakan bahwa hijrah syariat tanpa didasari hijrah
pola pikir akan menumbuhkan pemikiran islam simbolis saja. Islam yang hanya
sampai pada penampilan luar tetapi tidak terinternalisasi dalam jiwanya. Jika
ia memang mempercayai adanya Allah SWT, pastilah ia tidak akan melakukan
kejahatan korpusi. Tetapi sialnya, agama yang dipahaminya hanya sampai pada
tampilan luar saja. Hal ini tidak berbeda jauh dengan pemahaman para teroris.
Dengan tampilan yang begitu syari dan cenderung menakutkan, mereka melakukan
tindakan bar-bar terhadap sesama ciptaan Allah SWT. Toh jika memang agama sudah
ia pahami secara substantif, tentu akan sangat berat baginya melakukan
pembunuhan sesama manusia. Tetapi pada kenyataannya apa yang mereka lakukan
sangat jauh dari nilai agama itu sendiri.
Jadi
dapat dipahami bahwa hijrah sebagai sejarah awal dari penanggalan tahun hijriah
itu bukanlah momentum menjadikan kita sebagai islam simbolis saja. Bukan simbol
yang akan mengantarkan kita pada terwujudnya masyarakat madani seperti yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tetapi adalah akhlak dan moral yang menjadikan
itu. Akhlak dan moral yang menjadi parameter sebagaimana yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW hingga beliau digelari Al-Amin. Percuma tampilan kita syari
kalau hanya membuat kerusakan di muka bumi ini. Tentu itu bukan ajaran Nabi
Muhammad SAW, tetapi lebih pada kesalahan interpretasi yang sangat simbolik.
Dan tentunya pula kita jangan terjebak pada wilayah ini.
Comments
Post a Comment