Pengambilan
nomor urut calon presiden dan calon wakil presiden untuk pemilihan umum tahun
2019 telah dilaksanakan. Seperti yang kita ketahui, calon presiden dan wakil
presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapatkan nomor urut dua.
Sementara calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo dan Maruf Amin
mendapatkan nomor urut satu. Ada ekspresi yang berbeda diperlihatkan antara Prabowo
dan Jokowi. Saya sebenarnya bukan seorang psikolog yang dapat memahami keadaan
jiwa seseorang dilihat dari raut wajahnya, tetapi saya mencoba menafsirkan apa
yang ada di benak kedua tokoh ini setelah mendapatkan nomor urut.
Ekspresi
Prabowo ketika mendapatkan nomor urut dua sangat datar dan cenderung seolah
bergumam dalam hati mengapa ia tidak mendapatkan nomor urut satu saja. Seperti
yang kita ketahui, angka satu cenderung banyak digunakan oleh pendukung Prabowo.
Apalagi pada pemilihan umum presiden di tahun 2014, ia memang mendapatkan nomor
urut satu. Kita tentu masih ingat di tahun 2014, pendukung Prabowo banyak
mengutip ungkapan bahwa Allah SWT menyukai angka yang ganjil, yang memang
tujuannya untuk mengarahkan pilihan ke Prabowo ketika itu. Dan sekarang justru Prabowo
mendapatkan nomor urut dua, seperti hal ini tidak sesuai dengan jargon yang
selama ini dibangun. Maka tidak mengherankan ekspresi yang muncul adalah
ekspresi yang sangat datar. Bayangkan saja bagaimana ia harus mengubah pola pikir
pendukungnya yang sudah terlanjur identik dengan angka satu yang diibaratkan
dengan angka tauhid, diubah ke angka dua dalam tujuh bulan ke depan. Dan
tentunya ungkapan Allah SWT menyukai angka ganjil sudah tidak akan digunakan
lagi.
Ekpresi
ini pula mencerminkan jika Prabowo seperti tidak percaya diri dan cenderung
pesimis. Bagaimana mungkin ia mendapatkan nomor urut yang selama ini identik
dengan Jokowi. Jika melihat ke belakang, sosok Prabowo dalam memahami kondisi
bangsa memang cenderung pesimis. Ia pernah mengutip dari sebuah novel fiksi tentang
masa depan negeri ini yang akan bubar pada tahun 2030. Coba kita bayangkan jika
nanti yang menjadi presiden adalah sosok yang pesimis. Sosok yang dengan
mudahnya percaya dengan novel fiksi dan dijadikan rujukan dalam melihat masa
depan bangsa ini bahkan dikoar-koarkan dalam sebuah rapat akbar. Jika pemimpinnya
pesimis, maka bagaimana mungkin rakyatnya akan optimis. Jika pemimpinnya
percaya Indonesia bubar di tahun 2030, maka bagaimana dengan nasib rakyatnya.
Bukankah negeri ini merupakan amanah dari para pendiri bangsa yang didirikan
pada tahun 1945. Jadi agak menggelikan jika yang ingin memimpin negeri ini
justru yang memprediksi negara ini bubar pada tahun 2030.
Ekspresi
berbeda ditunjukkan oleh Jokowi. Walaupun selama ini Jokowi dan pendukungnya
identik dengan angka dua sebagai simbol dua periode, Jokowi tetap tersenyum
lepas mendapatkan nomor urut satu. Ia seperti tidak mempermasalahkan angka satu
maupun angka dua, toh tagline satu juga bisa ia gunakan. Jika angka dua dikenal
dengan simbol dua periode, maka angka satu bisa digunakan pendukung Jokowi
sebgai simbol Jokowi satu periode lagi. Hal ini juga menyampaikan hal tersirat
bahwa apapun yang saat ini dihadapi oleh negeri kita, Jokowi tetap optimis akan
menghadapinya. Jika ada novel fiksi yang memprediksi negeri ini akan bubar pada
tahun 2030, anggap saja itu angin lalu. Kita tetap harus menatap ke depan, toh
masa depan bangsa ini bukan berada di tangan bangsa lain tetapi di tangan
bangsa kita sendiri.
Jadi
sudah sangat jelas di pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 nanti siapa
yang lebih pantas memimpin negeri ini. Apakah wjar jika kita memilih calon
presiden dan wakil presiden yang cenderung pesimis. Yang bahkan harga bahan
dapur dan ketebalan tempe saja ia tidak ketahui, bahkan program ekonomi
kerakyatan yang ia bangun dalam bentuk oke oce terancam bubar. Visinya ke depan
justru melihat ke belakang dan tidak mennyinergikan program yang ada. Membuat
program baru boleh-boleh saja, tetapi harus melihat substansi ketimbang
tampakan luar. Jokowi tidak alergi dengan program presiden sebelumnya, bahkan
jika itu berdampak bagus untuk masyarakat maka ia akan menuntaskannya seperti
contohnya bandara Kertajati, Majalengka, Jawa Barat.
Sudah
saatnya saya katakan untuk memilih Jokowi dan Maruf Amin di pemilihan presiden dan
wakil presiden 2019. Ia adalah sosok yang optimis dan tentu sosok seperti itu
sangat dibutuhkan demi mengejar ketertinggalan bangsa ini termasuk di bidang
infrastruktur. Semoga pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 aman, tanpa
hoax, dan politisasi sektarian.
Comments
Post a Comment