Peristiwa
syahidnya Imam Husain cucu Nabi Muhammad SAW pada tanggal 10 Muharram di
Karbala tentu meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi umat islam.
Kematiannya dengan tebusan pedang dan pemenggalan kepala yang dilakukan oleh
musuh-musuh islam, tentu pula menyisakan kepedihan yang amat sangat. Dimensi
perjuangan yang dilakukan oleh Imam Husain tentu bukanlah perjuangan biasa
melainkan dimensi ketauhidan demi tegaknya agama yang dibawa oleh kakeknya Nabi
Muhammad SAW. Ia rela menghadapi kebengisan tentara Yazid demi tegaknya agama
Allah SWT di muka bumi ini. Ia juga tidak menghiraukan lagi jika pengikutnya
berkurang sedikit demi sedikit di padang Karbala, karena baginya kematian
memperjuangkan kebenaran itulah tujuan dari revolusi yang ia lakukan.
Sehingga
adalah wajar jika mereka yang mengaku sebagai pecinta Nabi Muhammad SAW juga memperingati
kesyahidan Imam Husain. Memperingati syahidnya Imam Husain bukan berarti
mencoba mengadu-domba umat ini karena setiap sejarah memang harus disampaikan
secara terbuka dan ilmiah. Tentu kita tidak akan tahu jika negara kita pernah
dijajah oleh beberapa bangsa asing jika sejarah itu tidak pernah diajarkan. Toh
pengetahuan sejarah kelam bangsa ini tidak menjadikan kita hanya meratapi peristiwa
masa lampau, tetapi lebih dari itu bahwa sejarah memberikan kita pelajaran yang
berharga.
Sama
halnya dengan kitab suci Al Quran yang banyak memuat peristiwa masa lampau
mulai dari Firaun di Mesir hingga Abu Lahab yang merupakan paman Nabi Muhammad SAW
diabadikan kisahnya bahkan dijadikan hingga satu surah. Peristiwa masa lampau
dikisahkan tidak hanya menjadi pajangan dalam memenuhi ayat-ayat dalam Al
Quran. Tetapi subtansi dari semua itu adalah bagaimana kita bisa mengambil
banyak pelajaran dari peristiwa lampau. Bahwa yang namanya raja zalim seperti
Firaun akan terus ada sepanjang masa. Bahwa yang namanya orang bebal dan
tertutup terhadap kebenaran seperti Abu Lahab akan terus menghiasi perjalanan
sejarah manusia. Toh sejarah akan terus berulang hingga kiamat tiba. Diawali
oleh kisah Habil dan Qabil, Nabi Musa AS dengan Firaun, Nabi Muhammad SAW
dengan Abu Lahab, Imam Husain dengan Yazid, hingga di akhir zaman pertarungan
antara Imam Mahdi dengan Dajjal.
Jadi
agak mengherankan dan miris jika majelis duka yang dilakukan guna memperingati
kisah asyura 10 Muharram oleh sebagian kalangan dianggap kegiatan sesat dan
harus dibubarkan. Padahal kegiatan ini adalah untuk mengenang perjuangan
revolusi Imam Husain dalam melawan kezaliman Yazid. Bukankah Yazid adalah
seseorang pemimpin yang zalim pada saat itu. Bukankah pula ayah Yazid yaitu
Muawiyah adalah seseorang yang memerangi Imam Ali yang pada saat itu adalah
seorang khalifah. Bukankah pula kakek Yazid adalah Abu Sofyan (klan Bani Umayyah)
yang selalu memerangi keturunan Bani Hasyim. Jika kita mengaku sebagai umat
Nabi Muhammad SAW, tentu kita tidak akan menjadikan orang yang memerangi beliau
dan keturunannya sebagai panutan.
Jadi
jelas bahwa, posisi mereka yang menolak peringatan syahidnya Imam Husain adalah
mereka yang kontra dengan perjuangan beliau. Ini hanyalah semacam kamuflase
ketika mereka yang mengaku sebagai pecinta dan pengikut Nabi Muhammad SAW
justru membenci kegiatan-kegiatan yang mengenang perjuangan Nabi Muhammad SAW
beserta keturunannya. Tentu premis yang terbangun adalah ketika kita mencintai
Nabi Muhammad SAW berarti kita juga harus mencintai keturunannya dan begitupun
sebaliknya. Sehingga akan terjadi kontradiksi internal di saat yang sama
mencintai Nabi Muhammad SAW sekaligus
mencintai mereka yang memusuhi Nabi Muhammad SAW. Ini seperti topeng yang
digunakan oleh para pembenci Nabi Muhammad SAW, di luar mereka mengaku sebagai
pecinta tetapi sebenarnya mereka adalah pembenci. Ibarat pepatah bagaikan
“serigala berbulu domba”. Di luar tampak bersahabat tetapi sebetulnya di dalam
justru mematikan.
Kemudian
dari perspektif konstitusi, peringatan kegiatan keagamaan seperti asyura 10
Muharram adalah sesuatu yang dilindungi oleh konstitusi kita. Di dalam UUD 1945
Pasal 29 Ayat 2 berbunyi:
“Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Jelas
bahwa ada pijakan konstitusi yang menjamin setiap kegiatan keagamaan di
Indonesia bebas untuk dilaksanakan selama tidak menggangu ketertiban umum.
Sehingga tindakan pelarangan hingga pembubaran peringatan asyura 10 Muharaam
adalah tindakan yang inkonstitusional dan seharusnya para pelakunya diseret ke
meja hijau untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Kita bisa melihat mereka
yang terlibat dalam kegiatan asyura 10 Muharram adalah mereka yang tidak pernah
melakukan tindakan melawan hukum. Mereka tidak pernah terlibat dalam terorisme
maupun korupsi. Sedangkan umumnya yang melarang kegiatan ini adalah mereka yang
intoleran. Mereka yang tidak bisa menghargai perbedaan dalam menafsirkan ajaran
agama.
Terakhir
ingin saya sampaikan bahwa peringatan 10 Muharram bukan hanya menjadi kegiatan
dari mazhab tertentu. Kegiatan ini merupakan kegiatan seluruh umat islam yang mengaku
sebagai pecinta Nabi Muhammad SAW. Bahkan revolusi Imam Husain telah melintasi
batas kepercayaan sehingga banyak dari kalangan non muslim yang menjadikan
revolusi Karbala sebagai tonggak awal dalam melawan kezaliman. Bahwa pesan tersirat
Imam Husain, tegakkanlah kebenaran mesti nyawa menjadi taruhannya. Karena
sesungguhnya kematian dalam memperjuangkan kebenaran akan selalu abadi di dalam
sejarah umat manusia daripada kematian yang hanya terjadi di atas pembaringan.
Setiap
hari adalah asyura, setiap tempat adalah karbala. Kami memenuhi panggilanmu, Ya
Husain. Engkau adalah simbol perlawanan terhadap tirani dan kezaliman. Sehingga
kami tidak tahu lagi jika engkau tidak melakukan revolusi Karbala, mungkin
tidak akan lagi ada perlawanan terhadap kezaliman.
Comments
Post a Comment