KAUM KRISIS IDENTITAS


Saya melihat pengeroyokan yang berujung pada kematian terhadap seorang suporter Persija yaitu Haringga Sirilla yang dilakukan oleh oknum suporter Persib pada pertandingan Liga 1 kemarin tidak hanya dilihat sebagai bentuk rivalitas belaka antara kedua supporter. Lebih dari itu jika kita melihat secara luas bagaimana begitu mudahnya seseorang menghilangkan nyawa pihak lain, maka ada dekadensi moral yang mengakibatkan seseorang sehingga mengalami krisis identitas. Ketika seseorang mengalami krisis identitas, maka dengan mudahnya menganggap pihak lain salah. Ia mengalami krisis identitas karena merasa memiliki superioritas kelompok terhadap kelompok lain. Ia ingin menonjolkan superioritas klub yang ia dukung terhadap kelompok lain apalagi terhadap rival klubnya.

Krisis identitas ini sesungghnya bukan hanya terjadi di jagat sepakbola, tetapi di arena lain hal ini sering terjadi dan akan mengalami konflik besar jika dibiarkan berlarut. Ingatan kita belum hilang bagaimana kerusuhan di Sampit yang dilatarbelakangi sentimen suku. Ketika menganggap suku tertentu memiliki superioritas, maka akan dengan mudahnya menganggap suku lain salah. Hal ini diperparah dengan banyaknya diantara kita yang masih terjebak di kesalahan berpikir fallacy of dramatic instance (over generalisasi). Kesahalan berpikir ketika menganggap ada suku atau kelompok tertentu berbuat salah, maka dengan mudah kita menyalahkan seluruh kelompok tersebut salah.

Kita juga mungkin masih mengingat bagaimana kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa di periode 1998-1999. Kerusuhan Ambon dan Poso yang dilatarbelakangi sentimen agama juga tak pelak memperlihatkan bahwa ada yang salah dalam pemahaman kita terhadap suatu identitas. Bahkan persekusi dan agitasi terhadap keyakinan keagamaan pihak lain juga tak ayal diakibatkan terjadinya krisis identitas dalam diri. Ketika kaum Ahmadiyah dan Syiah memiliki pandangan keagamaan yang berbeda, maka pihak yang mengalami krisis identitas ini merasa perlu menjadi “pemadam kebakaran” untuk memadamkan “kesesatan” kedua kelompok ini. Hal ini seperti konyol dan terlalu berlebihan. Padahal konstitusi kita sudah menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan yang terdapat di UUD 1945 pasal 29 ayat 2.

Pada peringatan Asyura kemarin sebagai kegiatan yang umum dilakukan oleh pihak syiah, persekusi yang dilakukan kelompok krisis identitas ini kembali terjadi di Makassar dan Solo. Pola yang dilakukan sangat mirip dengan pola pengeroyokan yang dilakukan oleh oknum suporter Persib. Ketika kaum Syiah melakukan kegiatan Asyura, seketika kaum “pemadam kebakaran” ini lantang meneriakkan untuk membubarkan kegiatan ini dengan berbagai dalih dan alasan yang belum terbukti kebenarannya. Rasa benci dan superioritas kelompok lebih dominan ketimbang pembuktian kebenaran itu sendiri. Ada semacam kebanggaan ketika membubarkan sebuah acara Syiah yang mereka memang anggap sesat walaupun acara itu berupa peringatan haul cucu Nabi Muhammad SAW yaitu Imam Husain. Sepertinya mereka bangga menjadi pihak yang bersebelahan dengan mereka yang mencintai Imam Husain.

Pola ini memang sangat mirip dengan yang dilakukan oleh oknum suporter Persib pada saat melakukan penegroyokan terhadap Haringga Sirilla. Bagi oknum yang krisis identitas ini, ada kebanggan tersendiri dalam jiwa mereka jika telah memberi pelajaran terhadap suporter klub rival bahkan kalau perlu dihilangkan nyawanya. Baginya, superioritas kelompok adalah segalanya sehingga kondisi apapun tidak akan menghalangi mereka untuk melakukan aksinya. Padahal sejatinya sepakbola adalah hiburan rakyat yang seharusnya memiliki dimensi kegembiraan dan bukan dimensi duka seperti kematian. Krisis identitas telah mengakibatkan nyawa seperti sesuatu yang tidak berharga lagi demi sebuah superioritas kelompok.

Pola yang dilakukan oleh kelompok krisis identitas memang hampir mirip semua. Persekusi dan agitasi menjadi metode yang sangat ampuh untuk menunjukkan superioritas. Ini sangat berbahaya dan miris jika dibiarkan terus terjadi. Kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia sangat rentan untuk dikoyak. Kita bertetangga misalnya, hanya karena perbedaan agama, suku, ras, kelompok, atau pandangan politik menjadi faktor yang membuat kita saling benci bahkan memusuhi. Saya bahkan sempat berpikir agar yang namanya identias yang berdasar atas ras, agama, suku, atauapun kelompok tertentu dihilangkan saja. Toh elemen inilah yang menjadi akar dari kebencian kita terhadap kelompok lain. Kita sepertinya susah menerima jika ada kelompok lain yang shalat di masjid yang biasa kita pakai. Dan parahnya ini banyak dihembuskan oleh penceramah-penceramah media sosial yang memang sengaja disebar banyak-banyak demi kepentingan kelompok tertentu. Lalu apa gunanya agama jika hanya mengusir kelompok lain di masjid yang nota bane adalah rumah Tuhan. Bukankah agama yang secara etimologi berarti tidak kacau, sehingga agak lucu jika ada yang beribadah terus kita harus mengusirnya.

Juga beberapa masyarakat masih susah menerima etnis lain untuk bisa hidup berdampingan. Etnis minoritas Tionghoa misalnya menjadi semacam musuh bagi beberapa kalangan sehingga dengan mudahnya mereka dibenci dan dikucilkan. Bahkan parahnya kata-kata ganyang sering ditujukan terhadap etnis ini. Apakah etnis Tionghoa ini bisa memilih jika ia ingin dilahrikan dari etnis apa. Tentu jawabanyya tidak karena itu merupakan rahasia Tuhan. Sehingga adalah sikap berlebihan dan berbahaya jika sentimen ini terus dipupuk dan dipelihara. Bukankah kita satu Indonesia yang tidak melihat dari latar belakang etnis apapun itu.

Jadi mari kita semua stop kebencian yang dilatarbelakangi oleh elemen apapun mulai dari sekarang. Entah itu suku, agama, ras, maupun antar kelompok karena hal itu hanya akan menjauhkan kita dari sifat manusia itu sendiri. Manusia yang bisa menghargai hak hidup manusia lain dan bukan malahan melihat manusia lain sebagai objek yang harus dihilangkan demi superioritas kelompok.




Comments