Tulisan
ini saya buat sebagai tanggapan dari beberapa komentar perihal postingan saya
yang seperti ini, “Dollar naik itu implikasi langsungnya di barang impor dan
tidak ke barang produksi lokal. Nasi kuning, coto, pallu basa, bakso, bahkan
kue putu sekalipun tidak akan mengalami kenaikan. Terus yang ditakutkan apa
coba? Yang risau dollar naik saya yakin membelanjakan dollar saja pasti tidak
pernah baru mau sok-sok prihatin dollar naik”. Postingan ini menuai pro dan
kontra, baik yang mengkritik dengan bahasa normatif maupun yang melemparkan
bahasa kasar hingga menyinggung instansi pendidikan saya. Bagi saya pribadi,
kritikan normatif maupun kasar itu tidak jadi masalah karena setiap orang punya
latar pendidikan yang beragam. Ada yang dahulunya yang saya kenal hanya orang
yang apatis terhadap kondisi perekonomian negeri ini, mendadak menjadi seorang
ekonom. Ada juga yang bahkan belum tamat SMA sudah berkoar-koar tentang negara
bangkrut walaupun mata kuliah ekonomi makro saja belum dia dapat. Saya tidak
ingin membahas satu persatu komentar perihal postingan saya karena waktunya
akan sangat lama. Di artikel ini saya akan mencoba menjawab pertanyaan mengenai
kenaikan dollar terhadap rupiah dan mengapa kita tidak perlu gusar.
Tembusnya
rupiah di angka 14.875,-/USD banyak yang menilai ini adalah salah Jokowi yang
tidak punya kapasitas untuk mengelola keuangan negara. Komentar itu bahkan
banyak diyakini oleh masyarakat yang ternyata banyak diungkapkan oleh mereka
yang tidak berkecimpung atau paling tidak pernah mencicipi pembahasan makro
ekonomi. Padahal di tahun 2015 rupiah juga pernah melemah dan mencapai angka
14.700,-/USD, tetapi propaganda ketakutan akan runtuhnya negara ini tidak
sekencang sekarang. Juga di tahun 1998
pada bulan Juni rupiah di berada di angka 16.800.-/USD. Ini ada apa sebenarnya,
mungkinkah ini terus diupayakan digoreng karena telah mendekati waktu pemilihan
presiden.
Patut
diketahui bahwa ada dua teori yang bisa menjelaskan mengapa rupiah bisa
melemah. Yaitu teori konspirasi dan teori makro ekonomi. Pada teori konspirasi (the
power of illuminati) disebutkan jika ada kekuatan global yang memang sengaja
melemahkan mata uang tertentu termasuk rupiah. Kekuatan ini memiliki kekuatan
politik dan ekonomi sehingga dengan mudah mempermainkan kurs mata uang suatu
negara. Saya tidak akan panjang lebar membahas teori ini, saya akan lebih
banyak membahas pelemahan rupiah lewat teori makro ekonomi.
Di
dalam teori makro ekonomi dapat dijelaskan bahwa pelemahan rupiah bisa terjadi
karena faktor eksternal dan internal. Instrumen pertama yang akan kita bahas
dalam makro ekonomi yang mempengaruhi nilai tukar rupiah adalah GDP (gross
domestic product) atau PDB (produk domestik bruto). GDP ini melambangkan pertumbuhan
dari sebuah negara dan bagi saya negara itu mirip dengan sebuah perusahaan. Di
dalam perusahaan ada pendapatan dan ada pengeluaran. Ini pula yang harus
dipahami bahwa di dalam pengelolaan negara ada pemasukan dan ada pengeluaran. Jadi
semakin tinggi GDP suatu negara maka semakin tinggi pula pertumbuhan ekonomi
dan semakin tinggi pula investasi sehingga berdampak pada naiknya foreign
direct investment (investasi asing langsung) dan jelas mengundang masuknya
capital inflow (aliran masuk modal) di negara kita.
Sekadar
pengetahuan, investasi asing langsung itu merupakan partisipasi suatu negara ke
negara lain baik dalam bidang manajemen, perusahaan patungan, transfer
tekonologi dan konsultasi pakar. Sedangkan aliran masuk modal adalah suatu
aliran dana ke perekonimian dalam negeri dari luar negeri yang dapat berupa
investasi, pembelian surat-surat berharga, pinjaman, maupun tindakan spekulasi
dari pelaku ekonomi. Jadi ada korelasi positif antara kenaikan GDP dengan
investasi sehingga banyak aliran dana yang masuk ke negara kita. Dan tentunya,
apa yang dilakukan pemerintah sekarang sudah benar dengan membangun pondasi
perekonomian yaitu pembangunan infrastruktur. Pembangunan ini jelas akan
menghemat waktu dan biaya karena terjadinya konektivitas antar daerah sehingga
meningkatkan produktivitas kerja. Meningkatnya produktivitas kerja masyarakat
tentu akan meningkatkan GDP. Ketika GDP semakin meningkat, maka mata uang kita
juga akan meningkat. Selama ini GDP kita cenderung stagnan karena kurangnya
daya saing eksport kita.
Pada
tahun 2009-2011 pemerintahan kita mengambil kebijakan keliru dengan membuat
rupiah pada saat itu sangat kuat di angka 8.455/USD. Dan hal ini dibiarkan
selama 4 tahun sampai dengan angka maksimal 10.000/USD. Kita bisa bayangkan di negara
yang sudah seharusnya ekspor justru tidak bisa dengan efektif melakukannya
karena disebabkan oleh kebijakan ekspor yang tidak jelas, birokrasi
bertele-tele, hukum buruh kacau balau, ditambah rupiah sangat kuat. Dan tentu hal
ini menjadi pertanyaan bagaimana eksportir akan bertahan di tengah keadaan
seperti ini. Dan mau tidak mau pada saat itu kebijakan impor pun dinaikkan
karena melihat adanya pelemahan dollar sehingga sejak itu dengan mudah kita
akan menjumpai bahwa barang impor terutama dari Cina banyak membanjiri pasar
Indonesia. Dan beberapa tahun kemudian terjadilah gelombang current account
deficit (defisit neraca perdagangan) sebagai akibat lebih banyaknya impor kita daripada
ekspor.
Setelah
kebijakan keliru itu terjadi, pada akhirnya terjadi current account deficit
pada tahun 2013 sebesar 4,06 miliar USD. Dan setelah dollar kembali menguat
terhadap rupiah, maka inflasi pun naik dan implikasinya terjadi pula kenaikan
barang-barang. Dalam kajian ekonomi makro, inflasi itu ada 2 yaitu demand pull
inflation dan cost push inflation. Demand pull inflation bisa dikatakan inflasi
yang bagus karena kenaikan harga barang-barang disebabkan oleh permintaan
(demand) masyarakat yang tinggi. Sedangkan cost push inflation adalah inflasi
yang terjadi dikarenakan kenaikan biaya produksi, gaji buruh naik, inefisiensi,
naiknya harga minyak, melemahnya rupiah. Dan ketika itu pula subsidi jelas akan
dinaikkan sehingga neraca perdangan kembali akan negatif dan rupiah akan ikut melemah.
Selama
Jokwoi memimpin, rupiah terdepresiasi di angka 20%. Coba bandingkan dengan negara
tetangga Malaysia yang terdepresiasi hingga 40%. Selian itu Thailand juga
mengalami depresiasi di angka 14% dan bahkan negara seperti Cina juga ikut
terdepresiasi di angka 16%. Artinya kenaikan dollar bukan hanya terjadi atas
rupiah, negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand serta negara kuat seperti
Cina pun mata uangnya terkena dampak
depresiasi. Momen melemahnya rupiah seharusnya dijadikan momentum untuk
melakukan ekspor besar-besaran. Tetapi hal itu masih agak sulit terjadi karena
investor lebih memilih berinvestasi di negara lain. Banyak faktor yang
mempengaruhi keengganan para investor seperti hukum yang bertele-tele, buruh
minta upah naik terus sedangkan produktivitasnya rendah. Sialnya lagi
perusahaan asing yang sudah berinvestasi di negara ini, demi mendapatkan tenaga
kerja yang professional dengan produktivitas tingga maka mereka mendatangkan
dari luar negeri. Dan ini justru banyak yang menuduh jika Jokowi pro asing.
Padahal perusahaan asing butuh tenaga yang kompteten demi pemangkasan biaya
produksi yang belum mampu dipenuhi oleh pasar Indonesia.
Jadi
sekali lagi kenaikan dollar terhadap rupiah tidak serta merta memperlihatkan
jika Jokowi bukan orang yang kompeten dalam pengelolaan Negara. Ada faktor
eksternal dan internal yang sangat mempengaruhi. Tentu juga kenaikan ini tidak
serta merta pula berdampak pada isu akan runtuhnya perekonomian negara kita
seperti yang dialami oleh Yunani. Kita tidak usah takut akan terjadinya PHK
besar-besaran karena naiknya harga barang impor, padahal tidak semudah itu. Ada
mekanisme dan aturan yang mengatur tentang ketenagakerjaan. Selain itu
perusahaan importir banyak yang merupakan perusahaan besar sehingga tidak akan
bisa dengan serta merta secepat kilat melakukan PHK. Justru momen ini dapat
kita jadikan sebagai langkah awal mengurangi ketergantungan impor dan
memperbesar ekspor.
Dan
akhirnya kita pun masih bisa makan nasi kuning, coto, pallu basa, kue putu maupun
tempe yang kita beli juga tidak setipis kartu ATM dan dengan harga yang stabil
dikarenakan fundamental ekonomi kita telah dibangun Jokowi. Ia membangun
infrastruktur, meningkatkan penerimaan pajak, mengurangi subsidi BBM dengan
mengalokasikan ke hal yang lebih produktif, dan tentu saja menaikkan suku bunga
sehingga capital inflow di negara kita tetap terjaga. Anda pun tidak usah galau
jika uang Rp. 100.000 hanya cukup membeli cabai seperti yang disampaikan oleh
seorang politikus, karena yakinlah pernyataan itu justru memperlihatkan jika ia
tidak berpengalaman pergi ke pasar seperti yang biasa dilakukan
oleh emak-emak. Jadi apa yang anda risaukan?
Ahh ini baru pencerahan yg super jelassss save joko 2 priode
ReplyDelete