STOP POLITISASI PAHLAWAN NASIONAL


Di sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan berpendapat menjadi hal yang elementer untuk dijamin. Tak terkecuali dengan Indonesia, negara yang berpenduduk 250 juta ini menganut sistem demokrasi pancasila. Sistem ini adalah sebuah sistem demokrasi yang memiliki perbedaan dengan sistem demokrasi liberal di beberapa negara Eropa maupun Amerika. Sebenarnya sistem demokrasi ini secara umum sama dengan demokrasi liberal yaitu kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Perbedaan spesifiknya terletak pada kebebasan berpendapat. Jika di negara demokrasi liberal setiap orang berhak melakukan kritik entah yang bersifat membangun, satir, maupun bersifat sarkasme tanpa adanya aturan yang membatasi sedangkan di Indonesia demokrasinya sangat dipengaruhi oleh adat ketimuran yang menjunjung tinggi kesopanan dan tatakrama di dalam menyampaikan sebuah pendapat.

Di negara demokrasi liberal, seorang presiden pun dapat diidentikkan dengan badut seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Bagaimana boneka Donald Trump sebagai seorang presiden menjadi bahan ejekan di sebuah demonstrasi bahkan boneka yang ditampilkan sangat bersifat merendahkan. Hal ini tentu berbeda dengan demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Menyampaikan pendapat seperti kritik tetap memiliki batasan. Banyak hal yang bisa dikatakan menjadi batasan dalam menyampaikan pendapat di negeri ini seperti pendapat yang berdasar hoax atau berita bohong, pendapat yang bisa memantik sentiment primordial, hingga yang terbaru adalah politisasi pahlawan nasional di sebuah demonstrasi politik.

Ada sebuah kejadian menarik di sebuah demonstrasi politik yang berlangsung di lapangan Monumen Mandala kota Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12 Agustus 2018. Demonstrasi ini adalah pengerahan massa dengan isu utama yang diangkat adalah ganti presiden pada tahun 2019. Sebenarnya tidak ada masalah dengan kegiatan ini karena memang hak politik seperti mengganti seorang presiden dijamin oleh negara sepanjang dilakukan secara konstitusional. Tetapi yang menjadi persoalan adalah dilekatkannya demonstrasi ini oleh sebagian massa kepada salah seorang pahlawan nasional. Beliau adalah Yang Mulia Sultan Hasanuddin yang dipasang di sebuah spanduk dengan tanda pagar 2019 ganti presiden.

Seperti yang dijelaskan oleh salah seorang komisioner KPU Wahyu Setiawan. Ia mengatakan pihaknya melarang memasang gambar pendiri bangsa dan pahlawan nasional di alat peraga kampanye (APK) dan semua bahan kampanye yang difasilitasi oleh KPU. Dikarenakan mereka merupakan tokoh yang berjasa terhadap republik ini. Artinya ada hal yang harus diketahui bahwa mereka yang telah bergelar pahlawan nasional tidak seharusnya dilibatkan dalam kegiatan politik praktis atau dengan kata lain dilarang untuk mempolitisasi pahlawan nasional. Sedangkan untuk kepentingan internal parpol boleh saja memasang foto pahlawan nasional karena memang tidak ada aturan yang melanggar. Seperti PDIP tidak dilarang memasang foto Bung Karno di kantornya. Begitu juga berlaku untuk partai lain selama tidak digunakan untuk kampanye pengerahan massa di tempat terbuka.


Lanjut dari poin sebelumnya, Yang Mulia Sultan Hasanuddin adalah milik seluruh orang Makassar dalam hal ini mereka yang bersuku Makassar tanpa ada sekat perbedaan preferensi politik. Sehingga pencantuman Yang Mulia Sultan Hasanuddin ke dalam sebuah kegiatan demonstrasi politik adalah hal yang tidak proporsional dan seharusnya dihindari. Sekarang coba kita kembalikan kepada mereka yang dengan seenaknya mengambil gambar beliau, apakah memang beliau mendukung pergantian presiden di tahun 2019? Ataukah memang ada dari keluarga beliau yang mendukung gerakan itu? Jika tidak ada, mengapa dengan berani anda mengambil gambar beliau dan dijadikan sebagai bahan jualan?

Hal yang harus diingat bahwa kepahlawanan beliau tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan pilpres di tahun 2019. Beliau adalah pahwalan nasional yang sudah seharusnya tidak dibawa-bawa ke dalam pusaran politik yang lebih banyak didominasi kepentingan kekuasaan. Jika memang kita belum mampu menjaga marwah beliau, paling tidak jangan membuat hal-hal yang justru mempolitisasi beliau sehingga kesannya ada pengklaiman terhadap pilihan politik Yang Mulia Sultan Hasanuddin.

Inilah yang saya maksud jika demokrasi di negara kita adalah demokrasi pancasila yang tetap memiliki koridor dan aturan yang jelas mengenai penggunaan kebebasan berpendapat itu sendiri termasuk di wilayah politik. Sah-sah saja jika ada yang berpendapat di tahun 2019 ganti presiden atau tetap presidennya lanjut 2 periode, tetapi hentikan politisasi terhadap pahlawan nasional termasuk Yang Mulia Sultan Hasanuddin apalagi tidak ada pernyataan resmi dari pihak keluarga dan keturunan beliau perihal preferensi politik di tahun 2019. Mari berpolitik sehat dengan rasionalitas, tidak menyebarkan berita hoax, tidak menyebarkan berita yang dapat memancing sentimen primordial, dan yang tidak kalah penting jangan sekali-kali mempolitisasi pahlawan nasional demi kepentingan syahwat politik.




Comments