Saya
awali tulisan ini dengan mengutip sebuah ayat di dalam Al Quran.
“
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku
adil…” (QS 5:8)
Ayat
di atas sangat jelas menyebutkan bahwa kebencian kita terhadap seseorang
selayaknya tidak membuat kita untuk tidak berlaku adil. Fenomena seperti ini
saya melihat banyak menimpa beberapa teman-teman kita apalagi menjelang
perhelatan pesta demokrasi 2019. Saya tidak menampik jika presiden jokowi masih
butuh masukan untuk membangun negeri ini seperti dalam bentuk kritikan. Tetapi
kritikan yang berdasar asumsi dan tidak dapat dipertanggung jawabkan hanya akan
melahirkan tuduhan-tuduhan dan fitnah.
Mari
kita mulai dari tuduhan serbuan tenaga kerja asing. Isu ini dihembuskan dengan
cepat sehingga memantik sentiment yang sangat kuat di masyarakat. Ditambah lagi
bahwa isu ini disertai dengan sentimen primordial dengan penekanan tenaga kerja
asing yang berasal dari Cina. Padahal jika memang kita ingin mencari data yang
valid maka persoalan tenaga kerja asing tidak segawat yang banyak
digembar-gemborkan media on line.
Seperti
pada kunjungan yang dilakukan oleh komisi IX DPR yang dipimpin oleh Dede Yusuf
di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali, Sulawesi tengah. Dari
hasil pengecekannya ditemukan adanya TKA sebanyak 2.500 orang berbanding
pekerja lokal sebanyak 28.000 orang yang berarti persentase pekerja asing tidak
mencapai 10% dari jumlah total pekerja. Untuk gaji, para pekerja lokal ini
mendapatkan gaji sebesar 4 juta rupiah yang bekerja sekitar 6 bulan sedangkan
pekerja yang sudah mencapai masa kerja 2 tahun gajinya bisa mencapai 10 juta
rupiah per bulan. Bahkan sesuai dengan penjelasan dari Bupati dan ketua DPRD
tentang efek dari kawasan industri ini terhadap pendapatan daerah terasa sangat
besar. Juga termasuk angka pertumbuhan ekonomi Morowali sempat mendapat 35% dan
termasuk 5 besar tertinggi di Indonesia. Sehingga diprediksi jika hubungan Pemerintah
Daerah dan industri baik, sangat mungkin Morowali menjadi kota industri metropolitan
di masa depan dengan pendapatan daerah mencapai ratusan milyar per tahun.
Selain
itu kita juga harus lebih proporsional dalam melihat komposisi tenaga kerja
asing yang bekerja di Indonesia dan tenaga kerja kita yang bekerja di luar
negeri. Total ada 74.183 tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia atau
sekitar 0,029 % dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 250.000.000. Ada
beberapa negara yang menjadi penyumbang terbesar bagi tenaga kerja asing di
Indonesia diantaranya ada Cina sebanyak 21.271 atau sekitar 0,008%, Jepang dan
lainnya 52.912 atau sekitar 0,021%. Dilihat dari segi persentase jumlah
penduduk, ternyata nilanya tidak signifikan dan sangat kecil. Selanjutnya untuk
lebih adil memahami tenaga kerja asing ini, mari kita melihat bagaimana jumlah
tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Ada di Malaysia sebanyak
2.000.000 pekerja kita dari total 31.000.000 juta warga atau sekitar 6,45%,
Hongkong pekerja kita sebanyak 153.000 dari 7.300.000 total penduduknya atau
sekitar 2,09, sedangkan di Makau ada sebanyak 16.000 pekerja kita dari total
penduduk 612.000 atau sekitar 2,61 %. Justru tenaga kerja kita di luar negeri
memiliki angka yang signifikan dan itupun belum termasuk contoh di beberapa
negara lain terutama di wilayah Timur Tengah.
Dari
data ini jika kita mau jujur melihat bahwa tenaga kerja asing yang berada di
Indonesia secara persentase masih kalah banyak dengan tenaga kerja Indonesia
yang menjadi pekerja di luar negeri. Pertanyaannya kemudian apakah Malaysia
pernah berteriak dan mempersoalkan tenaga kerja asal Indonesia yang jumlahnya
mencapai jutaan di sana dan sangat berpotensi menjadi kekuatan untuk membuat
pemberontakan di sana. Bukankah antara Malaysia dan Indonesia pernah terjadi
konfrontasi di era Presiden Soekarno bahkan ada istilah “ganyang Malaysia”.
Apakah Hongkong, Makau, dan negara-negara tujuan lainnya pernah mengeluarkan
ancaman terhadap tenaga kerja Indonesia. Jawabannya mungkin saja ada tetapi
tidak seheboh dan sedramatisir disini. Mereka tidak manja dan menyalahkan
keberadaan pekerja asing di negaranya karena mereka yakin bahwa kualitas mereka
masih lebih baik dari pekerja asing. Sehingga tidak ada ketakutan
berlebih-lebihan yang ditunjukkan oleh mereka. Oleh sebab itu alangkah lebih
bagusnya jika kita melihat isu ini dengan lebih bijak dan proporsonal sehingga
prasangka yang didasari asumsi tidak menjadi kesimpulan.
Kemudian
tentang kriminalisasi ulama. Isu ini didompleng bahwa pemerintahan sekarang
adalah rezim yang otoriter dan kerap mengkriminalisasi ulama. Mungkin para
pengkritik Presiden Jokowi lupa jika orang seperti Rizieq Shihab pernah
dipenjara di zaman SBY dan pada saat itu belum ada istilah kriminalisasi ulama.
Sama halnya dengan gembong teroris Abu Bakar Baasyir yang dijatuhi hukuman
sejak era SBY. Bukankah kedua orang ini kadang disebut ulama oleh kelompok 212
dan pada saat itu tidak ada teriakan kriminalisasi ulama. Apakah pentolan 212
mengalami penyakit lupa yang akut pada saat ini sehingga dengan mudah melupakan
peristiwa yang terjadi belum genap 10 tahun yang lalu itu. Ini seperti
kekonyolan yang disengaja dan artinya dapat saya simpulkan ada sudah ada
perencanaan isu kriminalisasi ulama. Isu ini sengaja dipropagandakan ke
masyarakat dengan tujuan menghegemoni masyarakat. Dalam kajian kesalahan
berpikir pola ini disebut sebagai sofisme yang berarti seseorang atau
sekelompok orang sengaja melakukan sesat pikir kepada pihak lain sehingga pihak
lain itu menjadi sesat. Dan ironisnya banyak dari mereka yang justru menikmati
kesesatan berpikir ini.
Isu
selanjutnya adalah tentang hutang luar negeri. Hutang Indonesia tercatat hingga
tahun 2018 sebesar Rp. 4.034,80 trilyun yang berarti setara dengan 29,24%
terhadap produk domestik bruto (PDB). Artinya rasio ini masih aman karena tidak
melebihi 60% rasio hutang terhadap PDB sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 Tentang Keuangan Negara yang memperbolehkan rasio hutang hingga menyentuh
60% dari PDB karena dianggap masih aman. Jika kita membandingkan rasio hutang
terhadap PDB dari tahun 2004 adalah sebesar 54,90%, 2009 adalah sebesar 31,76%,
2014 adalah sebesar 32,95%, dan pada tahun 2018 sebesar 29,24%. Selain
mempertahankan tren rasio hutang terhdap PDB dibawah 60% sesuai amanat Undang-Undang,
untuk memahami korelasi hutang dan PDB maka mari kita mulai dari defnisi. PDB
adalah nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi dalam wilayah
tersebut dalam jangka waktu tertentu. Artinya ketika sebuah negara melakukan
peminjaman dan persentasenya tidak melebihi angka 60% dari semua potensi
produksi di dalam dalam jangka waktu tertentu, maka itu bisa saja dilakukan.
Contoh
kecil dapat dipahami dalam siklus sebuah perusahaan. Jika sebuah perusahaan
ingin melakukan peminjaman untuk penambahan modal dalam rangka peningkatan
kinerja operasional perusahaan, maka faktor produksi yang berimplikasi pada
pendapatan setahun harus menjadi acuan nominal pinjaman yang hendak kita
ajukan. Jika nilai pinjaman kita masih bisa tertutupi dengan pendapatan setahun
atau paling tidak rasionya tidak melebihi 60%, maka pinjaman itu masih dalam
kategori aman. Karena hampir semua perusahaan berkembang dan perusahaan besar,
selalu memerlukan modal dalam hal ini pinjaman untuk menjalankan aktivitas
perusahaannya. Begitupula yang dilakukan oleh negara ketika berusaha menggenjot
pembangunan infrasturktur yang diharapkan meingkatkan produktivitas masyarakat,
maka harus memodali pembangunan itu dan salah satunya adalah dengan melakukan
pinjaman ketika penerimaan dari pajak dan ekspor belum bisa menutupi. Selain
itu pemerintahan Jokwoi juga berhasil mempertahankan rasio deficit APBN di
angka 2,49% dan belum menyentuh angka 3% sesuai amanat undang-undang. Sehingga
ketakutakan bahwa negara ini akan bangkrut seperti Yunani lebih banyak didasari
pada asumsi yang sebenarnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang
pengelolaan keuangan negara.
Tuduhan
lainnya seperti kenaikan pajak padahal realitasnya tidak ada kenaikan tarif pajak
yang dikelola oleh pusat. Justru yang naik adalah pajak yang dikelola oleh
pemerintah daerah seperti kenaikan NOP PBB di DKI Jakarta semasa pemerintahan
Anies Sandi. Ada juga tuduhan senjata ilegal sebanyak 2 kontainer di Morowali
yang sampai sekarang tidak terbukti. Dan masih banyak lagi tuduhan-tuduhan yang
sebenarnya lebih banyak didasari pada kebencian daripada rasionalitas berpikir.
Sehingga yang terjadi adalah tuduhan dan fitnah terhadap pemerintahan Jokowi
dan bukan kritkan yang kosntruktif. Marilah sama-sama kita membangun negeri ini
dengan mengdepankan sikap kritis yang rasional dan proporsional sehingga lebih
konstruktif. Dengan begitu maka akan berimplikasi terhadap kemajuan bangsa ini
ketimbang menjadi produsen kebencian dan hoax dan akan semakin membuat bangsa
ini tidak produktif dan terpuruk.
Comments
Post a Comment