Adanya
dikotomi yang saya sebutkan seperti judul di atas antara Hamas dan NU, tidak
menyiratkan adanya sebuah keinginan untuk memecah belah perjuangan kemerdekaan Palestina.
Hamas dan NU adalah organisasi yang memiliki platform berbeda di dalam
perjuangannya. Platform itu didasari pada kondisi geografis maupun demografi yang
berbeda antara Palestina dan Indonesia. Hamas berjuang dengan jalan peperangan
dikarenakan kondisinya mengharuskan seperti itu dan itu sangat berbeda dengan
NU yang berada di Indonesia. Kondisi Indonesia yang telah merdeka menjadikan NU
lebih memahami ada banyak cara memperoleh kemerdekaan itu selain dengan jalan
peperangan. Dan ini yang kadang tidak dipahami oleh mereka yang masih
berpikiran sempit.
Mari
kita tengok ke belakang bagaimana bangsa Indonesia berjuang memperoleh
kemerdekaannya. Indonesia berjuang memperoleh kemerdekaan ada yang melalui
jalur peperangan seperti perjuangan yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman maupun
Bung Tomo termasuk para kyai NU yang berperan dalam mengeluarkan Resolusi Jihad
dalam pertempuran 10 November di Surabaya. Ada pula yang berdiplomasi melalui
jalur perundingan seperti yang dilakukan Bung Karno, Bung Hatta, maupun Bung Syahrir.
Dan hasilnya adalah lahirnya kemerdekaan kita pada tanggal 17 agustus 1945. Jadi
ada kombinasi yang tepat dan pelajaran yang dapat kita ambil jika perjuangan
bukan hanya di medan perang, tetapi ada jalur lain. Ini yang sepertinya tidak
bisa dipahami oleh mereka yang berpikiran seperti “katak dalam tempurung”. Apalagi
di musim politik seperti ini, maka isunya akan dengan cepat dimanfaatkan untuk
menjatuhkan marwah kyai-kyai NU.
Sekarang
kita lihat bagaiaman Hamas berjuang untuk Palestina. Jalur perjuangan utama
Hamas adalah melalui jalur peperangan dalam melawan penjajahan Israel. Hal ini adalah
salah satu metodologi dalam memperoleh kemerdekaan. Dan hasilnya sekarang
adalah Palestina belum merdeka. Apakah Tuhan menakdirkan Palestina akan selamanya
terjajah ataukah ada yang salah dari perjuangan Hamas. Selain dikarenakan
strategi Hamas yang cenderung kaku dan monoton, gerakan ini telah
bermetamorfosis menjadi gerakan yang oportunis. Mari kita lihat penjelasannya.
Pertama
adalah tentang egoisme Hamas dalam gerakannya. Jika Hamas memang mengerti
perjuangan tentang persatuan Palestina, seharusnya ia menggandeng faksi
perjuangan lainnya seperti Jihad Islam maupun Fatah di Tepi Barat. Bukan malahan
membentuk blok pemerintahan sendiri di Jalur Gaza yang justru melemahkan
perjuangan kemerdekaan Palestina. Coba bayangkan betapa sulitnya membangun
persatuan antara Tepi Barat dengan Jalur Gaza yang dipisahkan oleh daerah yang
dikontrol penuh Israel. Memang benar kemenangan pemilu Hamas tidak diakui oleh
Fatah, tetapi harusnya ada jiwa besar dari pimpinan-pimpinan Hamas untuk
merangkul Fatah. Mari kita belajar dari seorang Kyai NU yaitu Gus Dur. Bagaimana
ketika Gus Dur dilengserkan secara inkonstitusional oleh kekuatan politik pada
saat itu, beliau lebih memilih mengalah daripada Indonesia harus terjerumus di
dalam perang saudara yang berkepanjangan. Disinilah jiwa negarawan seorang
Kyiai NU yang tidak gila kekuasaan. Sangat berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh Hamas di Palestina.
Kedua
adalah Hamas merupakan organisasi yang oportunis. Masih ingat bagaimana gerakan
ini membuat Iran dan Suriah berang karena mendukung pemberontak Suriah. Padahal
Iran telah menjadi donator utama mereka dan Suriah merupakan pelindung mereka
ketika para negara Arab menolak Hamas. Ibarat pepatah, Hamas ini seperti “kacang
yang lupa pada kulitnya”. Hanya dikarenakan yang memberontak ke pemerintah
Suriah itu sebagian merupakan gerakan Ikhwanul Muslimin, maka Hamas pun balik
memerangi negara yang telah memberikan mereka dukungan. Bahkan Hamas pun
termakan isu “kekejaman Assad” kepada saudara-saudara ikhwanul musliminnya, sehingga
melakukan tindakan bodoh dengan memerangi pemerintahan sah Suriah di bawah
pimpinan Bashar Al Assad.
Jika
ingin jujur, seharusnya negara yang diperangi Hamas itu adalah Turki. Karena negara
yang dipimpin oleh Erdogan ini merupakan salah satu mitra dagang terbesar Israel
di Timur Tengah. Coba kita kalkulasi, seberapa besar keuntungan yang didapat
dari hubungan ini terutama dari pihak Israel. Bukankah keuntungan dari hubungan
ini terutama di dalam bidang eknomi justru dijadikan oleh Israel sebagai sumber
anggaran militer mereka yang ujung-ujungnya digunakan untuk membunuh rakyat Palestina.
Apakah para pemimpin Hamas dapat memahami bahwa Erdogan harus dilawan karena
berteman dengan Israel walaupun ia sendiri berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin
seperti afiliasi Hamas. Bukan malahan menyerang Suriah yang jelas-jelas menjadi
penyokong gerakan perjuangan Palestina dan bahkan menjadi penampun pengungsi
terbesar Palestina di Kamp Yarmouk.
Ketiga
adalah Hamas bukanlah organisasi suci yang tidak memiliki celah. Ada beberapa
petingginya seperti Khalid Meshal yang justru menikmati kehidupan berkecukupan
di luar Jalur Gaza, sementara rakyat Palestina di sana harus berjuang
mati-matian. Dia seharusnya belajar dari Bashar Al Assad presiden Suriah yang
ia perangi. Assad adalah pemimpin yang tidak pernah lari dari negaranya ketika
Suriah diserang oleh para pemberontak termasuk pemerontak yang berafiliasi
dengan Ikhwanul Muslimin. Ia berdiri teguh bersama rakyat Suriah dalam mengusir
teroris dari negaranya walaupun sempat diancam akan dijatuhkan oleh Amerika
Serikat.
Terakhir
yaitu Hamas lebih mengarah kepada organisasi yang ekslusif sehingga cenderung sektarian.
Pola gerakannya lebih menekankan pada konsep sealiran mereka yaitu afiliasi Ikhwanul
Muslimin. Hamas justru tidak berhasil membangun komunikasi politik internal
Palestina yang kuat seperti ke gerakan Fatah, Jihad Islam, lebih-lebih ke
gerakan Komunis Palestina. Ini berbeda dengan NU di Indonesia. NU adalah
organisasi yang inklusif dan sangat memperjuangkan hak-hak kaum minoritas yang
cenderung dipersekusi. Kita bisa lihat pembelaan mereka terhadap kaum non
muslim maupun minoritas muslim lainnya seperti Syiah dan Ahmadiyah. Sehingga jika
ada dari kelompok minoritas seperti dari Syiah dan Ahmadiyah yang mengecam
kunjungan kyai NU ke Israel sebagai pembicara, ia mungkin lupa bagaimana kyai-kyai
NU berada di garda terdepan dalam melindungi hak-hak minoritas.
Bagaimana
Gus Dur mengkampanyekan bahwa NU itu Syiah minus imamah dan Syiah itu NU plus
imamah. Bagaimana Kyai Said Aqil Siradj terus menyuarakan Syiah adalah bagian
dari islam walaupun dengan konsekuensi beliau dicap juga Syiah. Bukankah itu
adalah pembelaan terhadap eksistensi Syiah di Indonesia yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh NU. Apakah Hamas pernah membela Syiah. Apakah Hamas pernah berjuang
mati-matian dalam membela Syiah di tengah tudingan kessesatan yang dilontarkan
kepada mereka. Tidak usah jauh-jauh ke Indonesia, dimana suara Hamas ketika Syiah
di daerah sekitarnya ditindas seperti di Yaman dan di Bahrain. Tidak ada,
karena Hamas hanya mementingkan kelompoknya sendiri.
Jadi
marilah kita berpikir objektif. Daripada mengecam tokoh NU yang berjuang untuk Palestina
lewat jalur diplomasi, lebih baik kaum minoritas membangun komunikasi yang
lebih baik dengan NU maupun organisasi islam lainnya terutama dalam pemulangan
korban Tragedi Sampang maupun saudara-saudara Ahmadiyah di NTB. Kita memang tidak
boleh melupakan penderitaan rakyat Palestina karena itu adalah urusan
kemanusiaan, tetapi persoalan bangsa ini juga tidak kalah besar. Masih banyak
saudara-saudara kita yang menjadi pengungsi di negeri sendiri. Apalagi terakhir
terdengar kabar jika ada pengungsi Sampang yang meninggal dan tidak bisa
dimakamkan di kampun halamannya, ini sungguh ironis. Dan tentunya menunggu
tindakan nyata dari kita semua.
Comments
Post a Comment