KHUTBAH POLITIK YANG MENGOTORI KESUCIAN IDUL FITRI


Apa sebenarnya makna dari Idul Fitri sendiri. Idul fitri menyiratkan kita sebagai momen untuk merefleksikan keberhasilan diri kita kembali ke fitri (suci) setelah berpuasa selama sebulan lamanya. Puasa disini bukan hanya menahan keinginan untuk makan, minum, dan berhubungan badan. Karena jika hanya itu yang dilakukan, maka seperti kata Nabi Muhammad SAW, kita hanya akan mendapat lapar dan dahaga dari puasa yang kita lakukan. Puasa sebulan yang dilakukan harus diparipurnakan dalam bentuk kesucian berbagai tindakan. Tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak mengingkari janji, tidak berkhianat terhadap suatu amanat, maupun tidak melakukan keburukan yang dapat mengotori keparipurnaan puasa kita. Sehingga kembali ke fitri (suci) betul menjadi hasil dari perjuangan puasa kita selama sebulan.

Tetapi momen idul fitri sebagai wadah kembali kepada kesucian, sepertinya tidak menyentuh semua kalangan umat muslim yang melakukannya. Di sebuah Masjid di kota Makassar, tepatnya di Masjid Baiturrahman Panaikang, khutbah yang dibawakan oleh Iqbal Parewangi dengan latar belakang sebagai anggota DPD perwakilan Sulawesi Selatan periode 2014-2019 yang bertindak sebagai penceramah telah menjauhkan makna idul fitri itu sendiri. Di awal cerahamnya, bahasa yang disampaikan sebenarnya adalah bahasa sejuk. Ceramahnya banyak menyentuh tentang  momen idul fitri yang dirayakan oleh umat islam dengan jumlah sekitar 1,8 milyar dari keseluruhan penduduk bumi. Kemudian ia kembali melanjutkan dengan penyampaian yang berhubungan dengan pendidikan sehubungan dengan aktifitasnya di bidang pendidikan. Ia mengungkapkan jika di Indonesia ada puluhan ribu lembaga pendidikan islam yang dapat menjadi cikal bakal pendidikan awal umat islam di Indonesia.

Ceramahnya mulai melenceng ke arah politik ketika ia hendak berdoa. Diawali dengan mengingatkan jamaah bahwa ramadhan tahun ini adalah ramadhan terakhir sebelum pilkada serentak 2018, pilpres 2019 dan pileg 2019. Kemudian dilanjutkan dengan doa untuk memiliki presiden baru ditahun 2019. Presiden yang tidak membenci ulama, presiden yang pro ummat, dan terakhir yang disebutkannya presiden yang bukan antek asing. Sontak konten ceramah ini membuat telinga saya agak merasa aneh dan janggal. Saya tidak paham mengapa seorang senator yang berlatar belakang pendidikan ini masih tidak paham jika acara keagamaan tidak boleh dijadikan sebagai lahan politik praktis seperti kampanye. Ini seperti mengotori sakralitas idul fitri itu sendiri. Momen yang seharusnya mengembalikan kita ke fitri (suci) dan memperkuat persatuan sesama umat muslim, justru dijadikan sebagai ajang pecah belah. Senator ini mungkin lupa jika sangat banyak tokoh yang tidak sependapat jika tempat ibadah dijadikan sebagai lahan politik praktis.

Seperti yang disampaikan Mardani Ali Sera sebagai ketua DPP PKS kepada Tirto, “… Yang tidak boleh itu kampanye pilkada, pilpres, kampanye yang bersifat personal..”

Hal senada diungkpan oleh wasekjen PKB Jazilul Fawaid seperti dikutip Tirto, “… Yang tidak boleh itu menyuarakan kebencian kepada satu pihak. Kampanye secara terang-terangan. Itu kami tidak setuju.”

Wakil ketua MUI Zainut Tauhid Sa’adi dalam siaran persnya seperti dikutip CNN Indonesia mengatakan, “… Masjid tidak boleh dijadikan tempat pelaksanaan politik praktis. Misalnya kampanye dan mengajak atau mempengaruhi masyarakat untuk memilih calon pemimpin tertentu.”

Sedangkan menurut aturan yang berlaku berdasar Pasal 68 Ayat (1) poin J  PKPU Nomor 4/2017 tentang kampanye Pilgub, Pilbup, dan Pilwalkot yang berbunyi: (1) Dalam kampanye dilarang; (J) Menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan.

Bukankah sebagai seorang senator ia hendaknya mengetahui aturan dalam berpolitik itu sendiri karena keterpilihan dirinya dari jalur politik. Makanya ketika ia berkampanye di perayaan ibadah maka sangat berkontradiksi dengan posisinya sebagai seorang senator. Saya sebenarnya tidak memiliki masalah dengan mereka yang berkeinginan untuk memiliki presiden baru di tahun 2019 karena itu adalah hak yang dijamin oleh konstitusi kita seperti jaminan yang seharusnya diberikan kepada mereka yang berbeda penafsiran agama sehingga mereka tidak dipersekusi lagi. Tetapi yang saya permasalahkan adalah ketika tempat ibadah dijadikan sebagai tempat politik praktis apalagi dengan membawa-bawa nama Tuhan. Itu adalah pelanggaran yang nyata dan menjadikan proses demokrasi kita mengalami kemunduran.

Selain politik praktis di tempat ibadah, konten ceramah dari senator ini yang berisi dengan pernyataan tidak bertanggung jawab semakin menggerus makna kesucian di hari fitri ini. Ungkapannya bahwa ia menghendaki pemimpin yang tidak membenci ulama, yang pro umat, dan bukan antek asing secara tidak langsung ditujukan kepada pemerintahan sekarang. Benarkah pemerintahan sekarang membenci ulama, tidak pro ummat, dan antek asing. Mari kita lihat realitasnya.

Yang pertama adalah benarkah pemerintahan sekarang membenci ulama. Apa sebenarnya parameter yang seseorang dikatakan membenci ulama. Apakah jika seseorang melakukan kesalahan walaupun ia seseorang yang disebut “ulama” kemudian diproses hukum maka ini disebut sebagai kebencian terhadap ulama. Apakah ketika mereka yang disebut “ulama” menghina kepercayaan agama lain, menghina budaya tertentu, menghina jenis pekerjaan tertentu, kemudian ia ditetapkan sebagai tersangka maka itu disebut sebagai kebencian terhadap ulama. Apakah ketika pemerintahan sekarang menetapkan hari santri nasional itu bukan apresiasi terhadap umat islam dan ulama. Bukankah santri adalah cikal bakal ulama di negeri ini. Apakah mengajak ulama-ulama berzikir di istana negara tidak dikategorikan sebagai penghargaan terhadap ulama. Jadi apakah konten ceramah Iqbal Parewangi berisi fakta ataukah hanya fantasi semata yang ujung-ujungnya bisa menjadi fitnah.

Yang kedua adalah pernyataan bahwa pemerintahan sekarang tidak pro ummat. Jika dikatakan pro ummat disini adalah umat islam karena ceramahnya disampaikan di perayaan islam, maka ada baiknya kita melihat realitas yang terjadi sekarang. Ummat islam hingga kini di bawah pemerintahan Jokowi bebas menjalankan ibadahnya termasuk idul fitri di tahun ini yang begitu marak. Jadi tidak pro ummatnya dimana. Masih berkaitan dengan idul fitri, di tahun ini mereka yang mudik tidak mendapatkan lagi macet parah seperti tahun-tahun sebelumnya. Bukankah yang mudik kebanyakan adalah umat islam, sehingga mudik yang lancar justru bertolak belakang dengan klaim pemerintahan tidak pro ummat. Itu belum termasuk THR idul fitri di tahun ini yang juga diterima oleh para pensiunan. Jadi nikmat mana lagi yang kau mau dustakan. Sang senator dalam hal ini lebih banyak memprovokasi tanpa bukti yang jelas.
Terkahir tuduhan pemerintahan sekarang pro asing. Parameter pro asing sebenarnya harus diperjelas disni. Jika ia menganggap pro asing itu memilik banyak tenaga kerja asing, maka parameter ini absurd. Karena justru jika dibandingkan kondisi tenaga kerja asing di negeri kita dan tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri, hal itu tidak sebanding. Tenaga kerja asing di negera kita berkisar di angka 80.000-100.000an orang yang tidak sebanding dengan jutaan tenaga kerja kita di luar negeri. Contoh saja dengan Malaysia yang memiliki sekitar 2.000.000 TKI/TKW kita berbanding 30.000.000-an penduduk Malaysia. Artinya ada sekitar 6,66% penduduk kita disana. Apakah orang Malaysia merasa terganggu dengan TKI/TKW kita. Apakah mereka menyebut pemerintahan mereka sebagai antek asing dikarenakan memiliki jutaan tenaga kerja asing. Saya rasa mereka tidak segegabah beberapa masyarakat Indonesia.

Yang banyak juga disinggung bahwa pemerintahan sekarang itu pro asing dilihat dari jumlah utang kita yang sudah menembus angka 4.000 trilyun. Angkanya memang fantastis jika hanya dilihat dari satu sisi saja. Tetapi angka sebesar itu ketika dapat ditopang dengan devisa yang banyak dan PDB yang terus meningkat, maka tidak ada masalah. Ibarat perusahaan, hutang merupakan salah satu sumber modal. Selama kita memiliki asset dan pendapatan yang dapat menutupi pembayaran hutang kita yang telah jatuh tempo, maka itu masih aman-aman saja. Konsep dasar akuntansi adalah aktiva (asset) itu harus setara dengan hutang+modal (pasiva). Artinya ketika aktiva dan pasiva berimbang, maka akan aman-aman saja. Apalagi jika ditambah perusahaan sehat dengan memilik banyak pendapatan yang bisa digunakan untuk membayar hutang yang telah jatuh tempo, maka itu lebih bagus lagi. Lagian pemerintahan sekarang mengalokasikan hutang ke sektor yang lebih produktif, seperti infrastuktur baik berupa jalan, irigasi, bandara, pelabuhan, maupun lainnya yang diharapkan dapat menumbuhkan sumber-sumber ekonomi baru bagi masyarakat yang selama ini tidak tersentuh pembangunan. Seharusnya jika sang senator mengerti ekonomi, ia menjelaskan ini ke publik.

Jadi kesimpulannya adalah, konten ceramah yang disampaikan oleh sang senator selain salah tempat sesuai dengan aturan dari pemilihan umum itu sendiri, kebanyakan yang disampaikan apalagi yang berhubungan dengan politik praktis banyak menyerang pemerintahan sekarang yang tidak lebih dari sekadar fantasi dan bisa menimbulkan fitnah.




Comments