Sejarah Kerajaan Gowa dapat
dimulai dengan penelusuran beberapa kerajaan yang berada di jazirah Sulawesi. Ada
puluhan kerajaan yang tercatat pernah berdiri diantaranya : Kerajaan Gowa,
Tallo, Luwu, Bone, Wajo, Tanete (Agang Nionjo), Limae, Ajatappareng (Sawitto,
Sidenreng, Suppa, Mallusetasi, dan Rappang), Massenrempulu (Enrekang, Maiwa,
Malua, Alla, dan Bonobatu), Gorontalo, Galesong, Binamu, Bangkala, Marusu,
Siang, Lombasang, Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-Parang, Data, Agang Jene,
Bisei, Kalling, Sero, dan sebagainya.
Pada sekitar abad ke-7,
para kerajaan yang berada di jazirah Sulawesi ini masih diliputi masa
kegelapan. Hal itu ditandai dengan seringnya antar kerajaan berperang satu sama
lain sehingga mengakibatkan ketidakstabilan kondisi pada saat itu. Masa menyedihkan
ini menjadikan Sulawesi sebagai medan pertempuran neolitik terpanjang dalam
sejarah dunia karena baru berakhir menjelang abad ke-14. Pasca perang yang
melelahkan itu, untuk sementara waktu situasi damai terjadi di jazirah
Sulawesi. Para raja-raja sibuk menata puing-puing sistem pemerintahannya
masing-masing. Ada beberapa kerajaan yang bersatu sehingga membentuk
persekutuan satu dengan lainnya. Walaupun penyatuan beberapa kerajaan tidak
selamanya terjadi lewat jalan damai, tetapi ada perang-perang kecil yang
terjadi namun tidak sehebat perang yang terjadi pada masa sebelumnya.
Salah satu kerajaan
yang terbentuk pada saat itu adalah kerajaan Gowa yang terbentuk dari
persekutuan sembilan raja kerajaan kecil yang lebih dikenal dengan istilah bate
salapang. Adapun kerajaan yang bergabung pada saat itu diantaranya Tombolo,
Lakiung, Samata, Parang-Parang, Data, Agang Jene, Bisei, Kalling, dan Sero. Persekutuan
ini juga menyepakati untuk menunjuk seorang paccallayya sebagai dewan hakim
pemisah yang pada era modern seperti sekarang ini semacam seorang kritikus. Tugas
dari paccallayya adalah membimbing para raja di bate salapang ini agar
senantiasa menciptakan kedamaian diantara mereka. Tetapi di dalam
perkembangannya, situasi yang terjadi beberapa kerajaan ini masih sering saling
serang seperti tidak kehabisan energi untuk berperang. Melihat situasi ini,
maka paccallayya mencoba cara lain untuk mendamaikan para raja bate salapang
ini. Maka dicobalah untuk menunjuk seorang raja yang akan mengepalai sembilan kerajaan
kecil ini.
Berdasar pada hasil “Seminar
Mencari Hari Jadi Gowa” di Makassar yang diadakan pada tanggal 10-11 September
1990 menjelaskan bahwa raja pertama dari kerajaan Gowa sebagai persekutuan dari
bate salapang adalah Tumanurung. Secara leksikal Tumanurung berarti orang asing
atau orang yang tidak dikenal dengan muncul secara tiba-tiba di suatu tempat. Dengan
diangkatnya Tumanurung menjadi Raja Gowa, maka terjadi perubahan kedudukan
diantara para raja di bate salapang ini. Dalam konteks kekuasaan pada saat itu,
para raja dari bate salapang ini tetap berkuasa atas daerahnya masing-masing
tetapi tunduk pada pemerintahan Tumanurung yang bergelar Karaeng Sombayya ri
Gowa. Kata Gowa sendiri menurut Prof Mattulada seorang dosen FIB Unhas, berasal
dari kata “Gaori” atau “Gau Ri” yang berarti penghimpunan. Pendapat ini paling
bisa diterima secara ilmiah mengingat proses terbentuknya kerajaan Gowa berasal
dari persekutuan sembilan kerajaan pada saat itu.
Perluasan wilayah
kerajaan Gowa dirintis oleh Raja Gowa ke-9 yaitu Tumaparisi Kallonna yang
dimulai dengan penyatuan kembali kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo. Awalnya
kedua kerajaan ini memang bersatu tetapi pada masa pemerintahan Tunatangka Lopi
sebagai Raja Gowa ke-6 yang melakukan kebijakan pembagian wilayah sebagai
konsep keadilan bagi kedua putra mahkotanya. Penyatuan kedua kerajaan ini
dilalui dengan jalan perang yang menghasilkan korban tidak sedikit diantara
kedua belah pihak. Setelah menyatukan kembali kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo,
ekspansi diperluas ke wilayah sekitarnya seperti Garassi, Kalling, Parigi,
Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lempangang, Mandalle, dan kerajaan-kerajaan
kecil lainnya. Hasilnya wilayah kerajaan Gowa meluas hingga hampir mencapai
keseluruhan daerah administrasi Sulwesi Selatan untuk ukuran sekarang. Di masa
pemerintahan Tumaparisi Kallonna, budaya sastra dan aksara berkembang. Sebagai seorang
“Tumailalang” (Menteri Dalam Negeri), Daeng Pamatte ketika itu yang merangkap
juga sebagai syahbandar berhasil membuat lontara Tu Riolo yang menjadi cikal
bakal lontara Bilang.
Umur kerajaan Gowa
sudah mencapai 7 abad yang ditandai dengan silih bergantinya para karaeng (raja)
dalam memimpin. Adapun nama-nama karaeng yang pernah memimpin kerajaan dari
awal hingga bergabungnya di dalam ke dalam Republik Indonesia adalah sebagai
berikut:
1
Tumanurung Bainea (1320 - )
2
Tumasalangga Baraya ( - )
3
I Puang Loe Lembang ( - )
4
I Tuniata Banri ( - )
5
Karampang ri Gowa ( - )
6
Tunatangka Lopi (1400 - )
7
Batara Gowa Tuniawangngang ri Paralekkanna (1445-1460)
8
I Pakere Tau Tunijallo ri Passukki (1460 - )
9
Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi Tumaparisi Kallonna (1460-1510)
10
I Manriwagau Baeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1510 – 1546)
11
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta (1546 – 1565)
12
I Maggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565 – (40 hari))
13
I Tepo Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bontolangkasa Tunipasulu Tumenanga ri
Butung (1565 – 1593)
14
I Mangngerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593 -
1639)
15
I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung Sultan Muhammad Said Tumenanga ri
Papambatunna (1639 – 1653)
16
I Malombasi Daeng Mattawang Kareang Bontomangngape Muhammad Bakir Sultan Hasanuddin
Tumenanga ri Ballapangkana (1653 -1670)
17
I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Lakiung Sultan Amir Hamzah Tumammalianga ri
Allu (1670 - 1677)
18
I Mappaossong Daeng Mangewani Karaeng Bisei Sultan Muhammad Ali Tumenanga ri
Jakattara ( 1677 – 1682)
19
I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanro Bone Sultan Abdul Jalil Tumenanga
ri Lakiung (1682 – 1688)
20
La Pareppa Tu Sappewalia Karaeng Ana Moncong Sultan Ismail Tumenanga ri Somba
Opu (1688 – 1709)
21
I Mappaurangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tumenanga ri Passiringanna (
1709 – 1711)
22
I Manrabia Karaeng Kanjilo Sultan Najamuddin Tumenanga ri Jawayya (1712 – 1724)
23
I Mappaurangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tumenanga ri Passiringanna
(penobatan kembali, 1724 – 1729)
24
I Mallawagau Karaeng Lempangang Sultan Abdul Khair Al Masyur Tumenanga ri Gowa
(1729 – 1735)
25
I Mappababbasa Sultan Abdul Kudus Tumenanga ri Bontoparang (1735 – 1742)
26
Amas Madinao Batara Gowa Lio Sultan Usman (dibuang ke sailan/sri lanka, 1742 –
1753)
27
I Mallisu Jawa Daeng ri Boko Karaeng Tompobalang (1753 - 1767)
28
I Temmasongeng/ I Makkaraeng Karaeng Katangka Sultan Zainuddin Tumenanga ri
Mattoanging (1767 – 1769)
29
I Mannawarri/ Sumaele Karaeng Bontolangkasa Karaeng Mangasa Sultan Abdul Hadi
Tumenanga ri Sambung Jawa (1769 – 1778)
30
I Mappatunru/ Manginyarrang Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Rauf Tumenanga
ri Katangka (1778 – 1810)
31
La Oddangriu Daeng Mangeppe Karaeng Katangka Sultan Muhammad Zainal Abidin
Abdul Rahman Amiril Mukminin Tumenanga ri Suangga (1825 – 1826)
32
I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Aididin
Tumenanga ri Kakuasanna (1826 – 1893)
33
I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Muhammad Idrus Tumenanga ri
Kalabiranna (1893 – 1895)
34
I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Muhammad Husian Tumenanga
ri Bunduna (1895 _ 1936)
35
I Mangngi-Mangngi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhamamd Tahir
Muhibuddin Karaeng Ilanga Tumenanga ri Sungguminasa (1936 – 1946)
36
Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Laloang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin
Tumenanga ri Jongaya (1946 – NKRI)
Ekpansi dan perluasan
wilayah diteruskan oleh raja ke-10 yaitu I Manriwagau Baeng Bonto Karaeng
Lakiung Tunipallangga Ulaweng. Selama masa
pemerintahannya ada dua benteng yang dibangun yaitu Benteng Barombong dan
Benteng Jumpandang. Selain kedua pembangunan benteng tersebut, raja I
Manriwagau menetapkan aturan baru di dalam peperangan yaitu mengharuskan
perampasan hasil perang dari pihak yang kalah sebagai ganti rugi biaya
peperangan. Selama menjabat sebagai raja, ia berhasil menaklukkan kerajaan
Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Bulo-Bulo, Kajang, Lamatti, Bengo, Camba, dan
memulai peperangan terhadap kerajaan Bone.
Raja Gowa yang ke-11 yaitu
Karaeng Tunibatta yang menggantikan kakaknya meneruskan peperangan terhadap kerajaan
Bone. Ia gugur oleh prajurit kerajaan Bone pada saat perang sehingga sebagai bagian
dari hukum perang klasik yang berbunyi seorang raja yang ikut perang tidak
boleh dibunuh oleh prajurit, maka dibuatlah perjanjian damai antara pihak
kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa sebagai rasa penyesalan petinggi Kerajaan Bone
atas terbunuhnya raja Gowa di tangan prajurit. Dari masa raja ke-12 hingga raja
ke 13, keadaan kerajaan Gowa masih belum stabil. Selain peperangannya dengan
beberapa kerajaan bugis, pada masa ini raja Gowa ke 13 diturunkan paksa oleh
para pemangku Hadat Gowa dikarenakan sifatnya yang keras kepala dan gemar
membunuh sehingga akhirnya dilakukan langkah seperti itu.
Pada masa raja ke-14,
disinilah awal mula kerajaan Gowa menjadi kerajaan islam yang ditandai dengan
masuk islamnya raja yang pada saat itu menjabat yakni I Mangngerangi Daeng
Manrabbia Tumenanga ri Gaukanna yang bergelar Sultan Alauddin. Secara ototmatis
kerajaan Gowa pun berubah menjadi kesultanan. Masa diplomasi menarik terjadi
pada saat raja Gowa ke-15 naik takhta. Dialah Sultan Muhammad Said yang
tersohor akan kepandaiannya berbahasa asing, tata pemerintahan, dan menguasai
konsep ekonomi makro. Ia semasa dengan Kareang Pattingalloang selaku
pabbicarabutta (raja Tallo ke-8). Merekalah yang membuat kerajaan Gowa-Tallo mencapai
puncak kejayaannya. Bahkan ada seorang penyair Belanda yang terkagum-kagum
padanya dan menuliskan “Wiene aldoor amuffelende brein, Eeen gensche wereld
valt te klein” yang berarti “Orang yang pikirannya selalu sibuk mencari,
sehingga seluruh dunia terlalu kecil baginya”.
Raja Gowa yang paling
tersohor adalah Sultan Hasanuddin sebagai raja Gowa ke-16. Belanda memberinya
julukan “Haanstjes van het oosten” yang berarti “Ayama jantan dari timur”. Reputasinya
sangat baik dalam hal ekspansi karena berhasil menambah perluasan wilayah
kerajaan Gowa hingga mencakup Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone. Pada masa
pemerintahnnya, ia membangun tiga benteng sebagai persiapan perang dengan kongsi
dagang Belanda (VOC) yang pada saat itu sudah menguasai kepulauan Maluku. Tiga benteng
yang dibuat adalah benteng Mariso, Marannu, dan Bayoa serta merenovasi kekuatan
dan ketebalan benteng yang telah dibuat sebelumnya. Selain benteng, peninggalan
dari masa pemerintahan Sultan Hasanuddin dalam menghadapi Belanda adalah
dibuatnya Meriam yang diletakkan di benteng Jumpandang yang disebut-sebut
sebagai meriam terbesar di nusantara pada saat itu.
Perang pun pecah pada
tahun 1666-1669 yang ditandai dengan penyerangan VOC dibantu sekutu bugisnya
Arung Palakka dari kerajaan Bone dan perompak maniak asal Ambon yang lebih
dikenal dengan nama Kapten Jongker Ternate. Perang besar ini sebenarnya dapat
dimenangkan oleh armada kerajaan Gowa jika seandainya tidak ada bantuan dari
kerajaan Bone dan para perompak Ambon kepada pihak VOC. Setelah perang berakhir
dengan kemenangan di pihak VOC dan sekutunya, Kerajaan Gowa sudah tidak
segemilang dahulu lagi. Perjanjian Bongaya sebagai akhir dari peperangan ini
mengakibatkan kerajaan-kerajaan yang tadinya berada di bawah kekuasaan kerajaan
Gowa melepaskan diri dengan bantuan VOC sebagai pihak yang memenangkan
peperangan. Konsekuensi lain yang timbul dari perjanjian Bongaya ini adalah VOC
mulai memonopoli jalur perdagangan dari Maluku ke Makassar. Walaupun pihak
kerajaan Gowa dikalahkan dalam perang ini, tetapi perlawanan terhadap VOC tetap
dilanjutkan hingga menjelang integrasi wilayah kerajaan Gowa ke dalam Republik
Indonesia walaupun skalanya tidak sebesar dulu lagi.
Comments
Post a Comment