MENGANALISA MOTIF SERANGAN AS TERHADAP SURIAH


Tepat pada Sabtu dini hari tanggal 15 April 2018, Amerika Serikat beserta Inggris dan Prancis yang menjadi sekutunya melancarkan serangan rudal ke Suriah sebagai tanggapan atas serangan kimia yang diduga dilakukan pemerintahan Bashar Al Assad kepada rakyatnya. Serangan ini mengulangi peristiwa serupa yang dilakukan tahun lalu dengan narasi yang sama bahwa Bashar Al Assad melakukan serangan kimia terhadap warganya. Serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya ini jika dilihat dari perspektif global mengandung beberapa hal yang patut untuk kita pertanyakan.

Diawali dengan motif serangan itu sendiri. Narasi yang terbangun bahwa serangan ini sebagai tanggapan atas serangan kimia yang diduga dilakukan Bashar Al Assad adalah hal yang lucu. Mengapa saya mengatakan demikian. Mari kita berpikir sejenak, benarkah Bashar Al Assad melakukan serangan kimia tersebut. Patut diketahui bahwa akhir-akhir ini salah satu benteng terkuat pemberontak di Suriah yaitu daerah Ghouta Timur telah dikuasai lebih dari 90%. Salah satu daerahnya yang belum dikuasai adalah Douma yang diduga dijadikan sasaran serangan kimia oleh pasukan Bashar Al Assad. Jika kita ingin menggunakan akal kita untuk menganalisa kejadian ini, maka serangan kimia Bashar Al Assad ke Douma di saat pasukan Suriah meraih kemenangan demi kemenangan adalah sama dengan bunuh diri politik dan sangat tidak masuk akal. Apa keuntungan yang didapat oleh Bashar Al Assad lewat serangan itu di tengah momentum kemenangannya. Bukankah hal itu malah membuat dunia internasional akan kembali mengutuknya dan semakin melegitimasi untuk dilakukan intervensi militer ke Suriah. Dan saya rasa Bashar Al Assad beserta sekutunya seperti Rusia dan Iran tidak akan melakukan hal sebodoh ini.

Yang kedua adalah narasi seperti ini sudah sering dilakukan oleh presiden Amerika Serikat sebagai alasan untuk menyerang sebuah negara. Kita bisa melihat contoh bagaimana mantan presiden Amerika Serikat George W Bush menggunakan alasan adanya senjata kimia pemusnah massal yang dipunyai oleh mantan presiden Irak yaitu Saddam Husein untuk melakukan intervensi militer. Dan hasilnya adalah kekacauan di dalam negeri Irak, perang sektarian yang yang berlarut-larut, munculnya gerakan-gerakan ekstrim, hingga ancaman desintegrasi pasca jatuhnya Saddam Husein dan di akhir cerita intervensi militer ini tidak dapat membuktikan kepemilikan senjata kimia pemusnah massal tersebut. Mantan presiden Barack Obama pun melakukan kesalahan yang sama. Dukungannya terhadap serangan NATO dalam mengintervensi Libya membuktikan hal tersebut. Dengan narasi bahwa mantan presiden Libya Muammar Khadafi adalah seorang diktator maka Barack Obama merestui serangan ini. Dan hasilnya Libya menjadi Irak selanjutnya yang dipenuhi perang saudara dan kekacauan dimana-mana.

Melihat contoh di atas, motif utama yang dilakukan sebenarnya dalam melakukan intervensi militer terhadap suatu negara bukanlah pembelaan terhadap rakyat Irak maupun Libya. Yang dilakukan hanyalah untuk kepentingan Amerika Serikat sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Irak dan Libya adalah negara pengekspor minyak yang sangat strategis untuk dikuasai. Patut pula diketahui bahwa Saddam Husein sebelum menjadi musuh Amerika Serikat adalah salah satu sekutu terkuatnya. Bagaimana ia didukung oleh kekuatan Arab Teluk ketika itu beserta kekuatan Barat yang dikomandoi Amerika Serikat dalam perang Irak-Iran selama delapan tahun. Dan setelah Irak di bawah pemerintahan Saddam Husein sudah tidak pro lagi dengan Amerika Serikat maka negara inipun menjadi sasaran empuk serangan militer Amerika Serikat.

Taktik busuk ini juga yang ia lakukan terhadap Libya. Padahal sebelum terjadi serangan militer terhadap Libya, negara ini menjadi salah satu negara termakmur di belahan benua Afrika. Kerasnya watak Muammar Khadafi pada saat itu dalam menghadapi keinginan Amerika Serikat untuk menghegemoni kawasan Timur Tengah, menjadi alasan sebenarnya intervensi militer ini. Jika Amerika Serikat mau jujur tentang kediktatoran Muammar Khadafi di Libya dengan menggunakan instrumen lamanya ia berkuasa, maka raja-raja Arab Teluk pun tidak lebih baik. Kita mengambil contoh dari sekutu utama Amerika Serikat yaitu Arab Saudi, negara ini adalah monarki absolut. Mengapa bukan negara ini yang diajari oleh Amerika Serikat untuk berdemokrasi minimal membatasi kekuasaan raja. Dan tentunya jawaban yang didapatkan adalah negara ini akan aman selama menjadi sekutu Amerika Serikat. Jadi jargon sebagai negara pengekspor demokrasi akan tumpul ketika berhadap dengan sekutunya, sekalipun negara itu menganut sistem monarki absolut dengan kekuasaan raja yang tidak terbatas. Jadi patut dipahami bahwa narasi pembelaan Amerika Serikat terhadap rakyat di sebuah negara hanyalah alasan basi yang sekarang coba dilakukannya di Suriah.

Yang ketiga adalah pasca serangan ini, ISIS juga melakukan serangan terhadap ibukota Suriah di Damaskus. Hal ini memunculkan berbagai persepsi. Apakah serangan ini memiliki keterkaitan dengan serangan Amerika Serikat dan sekutunya. Seperti mendapatkan restu untuk ikut melakukan penyerangan juga. Serangan Amerika Serikat ini juga terjadi di saat pemerintah Suriah sedang fokus melakukan pembersihan terhadap posisi-posisi teroris. Secara langsung mungkin Amerika Serikat beserta sekutunya dengan ISIS tidak melakukan koordinasi serangan terhadap pemerintahan Suriah, tetapi mereka memiliki kepentingan yang sama yaitu sama-sama ingin menjungkalkan Bashar Al Assad dari tampuk kepemimpinan di Suriah. Dengan kata lain mereka memiliki musuh yang sama dan itu memungkinkan mereka untuk melakukan kerjasama.

Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa dalih serangan Amerika Serikat terhadap suatu negara yang sekarang coba dilakukannya di Suriah hanyalah bualan belaka. Celakanya motif ini disebarluaskan melalui media-media mainstream ke berbagai negara termasuk Indonesia. Jadi walaupun serangan ini dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap negara berdaulat yang mayoritas penduduknya islam, maka suara-suara pembelaan dari tanah air terhadap bangsa Suriah sepertinya mati suri. Narasi awal yang terbentuk bahwa Bashar Al Assad adalah dikator dan kejam sudah cukup untuk mematikan keinginan mereka mengutuk serangan ini. Bahkan beberapa kalangan di tanah air yang memiliki afiliasi terhadap pemberontak Suriah atau paling tidak menjadi pendukungnya walaupun mereka juga selama ini mengaku anti Amerika Serikat, justru mendukung serangan ini. Mungkin ia berpikir bahwa serangan akan menguntungkan posisi pemberontak sehingga mereka menjadi pendukung utama serangan ini. Dan itu sebenarnya menjadi hal yang sangat ironis bahkan seperti menampar akal sehat kita.

Faktaya Suriah di bawah kepemimpinan Bashar Al Assad dan mendiang ayahnya Hafez Al Assad adalah pihak yang terdepan dalam menolak Israel dan mendukung Palestina. Suriah pernah terlibat perang langsung dengan Israel dan hingga saat ini belum menandatangani kesepakatan damai dengan konsekuensi daerahnya yaitu Dataran Tinggi Golan masih dicaplok oleh Israel. Coba bandingkan dengan negara Arab lainnya yang telah bermesraan dengan Israel. Selain itu Suriah menjadi tuan rumah terbesar bagi pengungsi Palestina dan bahkan Hamas sebagai salah satu gerakan perlawanan disediakan tempat di Damaskus di saat negara-negara Arab tidak ingin menerima Hamas karena diintervensi oleh Amerika Serikat. Hal ironis lainnya yaitu Turki di bawah kepemimpinan Racip Erdogan malah menjadi salah satu mitra dagang terbesar Israel. Jadi seperti lelucon jika Racip Erdogan yang begitu bernafsu melengserkan Bashar Al Assad dari tampuk kepresiden ini didaulat menjadi pemimpin muslim. Apakah sudah sepantasnya ia didaulat menjadi pemimpin muslim di tengah mesranya hubungan Turki dengan Israel. Padahal kita tahu sendiri bahwa Israel hingga saat ini masih menjajah Palestina. Hal ini jelas sangat berkontradiksi karena tidak mungkin kita berteman dengan musuh teman kita sendiri. Ibarat pepatah dalam hubungannya dengan Palestina dan Israel, pemerintah Turki ini menjadi duri dalam daging terhadap perjuangan bangsa Palestina.

Jadi, masihkah kita percaya dengan sepak terjang Amerika Serikat yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Irak dan Libya. Ini belum terhitung dengan dosa pendahulu George W Bush maupun Barack Obama yang memporak-porandakan Vietnam, Grenada, Somalia, maupaun di Afghanistan. Hebatnya juga Amerika Serikat berada di pihak yang sama dengan Tukri, Arab Saudi, dan Israel yang begitu menggebu-gebu untuk menjatuhkan Bashar Al Assad. Sekarang sudah sangat jelas dan terang benderang, apakah kita berada di pihak Amerika Serikat dan sekutunya semisal Turki, Arab Saudi, dan Israel yang terbukti telah menghancurkan negara-negara muslim. Ataukah kita berada di barisan Suriah beserta sekutunya semisal Rusia dan Iran yang menjadi pendukung gerakan perlawanan di kawasan. Mari kita menggunakan data valid dalam memahami serangan Amerika Serikat beserta sekutunya ini untuk menetukan pilihan menjadi pendukung Amerika Serikat beserta sekutunya ataukah bersama Suriah menjadi garda terdepan pembela gerakan perlawanan bangsa Palestina.




Comments