Saya melihat fenomena
ketidaksukaan bahkan berujung pada tindakan persekusi dan diskriminasi terhadap
mereka yang mempunyai keturunan Cina di Indonesia masihlah sangat tinggi
apalagi jika agama yang dianutnya bukanlah agama mayoritas, maka kebencian itu
pun makin bertambah. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa mereka yang keturunan Cina
ini bukanlah pribumi jika mendefinisikan pribumi itu adalah mereka yang
memiliki sejarah budaya di nusantara. Tetapi perlakuan terhadap keturunan Cina
jika dibandingkan dengan mereka yang non pribumi dari keturunan lain sangatlah
tidak adil. Kita bisa lihat non pribumi lain misalnya keturunan Arab. Keturunan
dari pihak mereka justru menjadi kebanggaan di sebagian kalangan. Bagi mereka
bangsa Arab adalah bangsa keturunan dari Nabi Muhammad SAW sehingga perlakukan kepada
mereka sangatlah istimewa bahkan ada yang akan membelanya mati-matian. Padahal jelas
di Undang-Undang Dasar negara kita menganggap semua warga negara adalah sama.
Bagi mereka yang tidak
suka dengan warga Indonesia keturunan Cina memiliki beberapa alasan. Mulai dari
beberapa keturunan Cina yang menjadi pedagang dianggap akan menguasai
pereknomian di daerah tersebut sehingga menyulitkan penduduk asli untuk
berusaha, adanya tudingan pengkhianatan dari mereka yang keturunan Cina di
zaman penjajahan Belanda, kehidupan mereka yang dianggap ekslusif seperti contoh
membuat rumah dengan pagar yang sangat tinggi, hingga fitnah yang ditujukan kepada
mereka seperti pemasok narkoba dan pembuat barang tiruan. Apakah memang benar
seperti itu kejahatan yang dilakukan oleh warga Indonesia keturunan Cina. Ataukah
itu hanyalah ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap kalangan tertentu.
Sebelum kita membahas
berbagai tudingan yang dialamatkan kepada mereka yang keturunan Cina, saya
terlebih dahulu akan menjelaskan kesesatan berpikir yang umumnya menjangkiti beberapa
masyarakat Indonesia. Yang pertama adalah “fallacy of dramatic instance”. Kesesatan
berpikir ini berarti mengambil kesimpulan hanya dengan melihat satu atau dua
kasus untuk kemudian mengambil sebuah kesimpulan yang masih sangat prematur. Misalnya
seperti ini, pelaku terorisme di Irak adalah ISIS. Kemudian ISIS ini beragama
islam. Jadi kesimpulan yang diambil bahwa semua orang islam adalah pelaku
terorisme. Apakah hal ini adalah kesimpulan yang sudah benar. Sama juga ketika
kita melihat ada seseorang yang mengedarkan sabu-sabu. Ternyata orang itu keturunan
Cina. Dan serta merta kita mengambil kesimpulan bahwa mereka yang keturunan Cina
itu adalah pengedar sabu. Apakah hal ini juga adalah kesimpulan yang benar. Tentunya
jika kita menganggap tidak semua islam itu teroris seperti ISIS maka sudah
selayaknya kita juga menganggap bahwa tidak semua keturunan Cina itu adalah
pemasok narkoba.
Selanjutnya kesalahan
berpikir yang sering menjangkiti juga beberapa masyarakat Indonesia adalah “argumentum
ad hominem”, yang berarti menyerang argumentasi/ sesuatu dikarenakan pada
subjeknya dan bukan pada objeknya. Misalnya seperti ini, ada seorang Cina kristen
yang berkomentar tentang ajaran agama islam. Menurut beberapa orang islam, hal
ini tidak benar mengingat yang berkomentar adalah orang Cina kristen dan bukan
orang muslim sendiri. Tetapi di lain kasus ada seorang muslim yang membicarakan
perihal keyakinan ketuhanan orang kristen dan bagi sebagian muslim hal itu
dapat dibenarkan karena itu bertentangan dengan logika. Jadi di kedua kasus ini
ada hal diskriminasi yang dilakukan. Seorang Cina kristen tidak dapat berbicara
tentang islam dikarenakan ia bukan muslim sementara seorang muslim dapat
berbicara tentang konsep ketuhanan orang kristen dikarenakan hal ini
bertentangan dengan logika padahal kedunya mengelurkan pendapat lintas
keyakinan. Jadi sangat jelas disini bahwa pembicaraan lintas keyakinan hanya
bisa dilakukan oleh orang islam kepada kepercayaan di luar islam dan itu tidak
berlaku sebaliknya. Hal yang menjadi sasaran disini bukanlah objek kajian
keagamaan itu sendiri melainkan lebih melihat subjek yang menjelaskan dalam hal
ini agama apa yang dianutnya sehingga terlihat adanya kesalahan berpikir karena
seperti ada unsur superioritas agama islam terhadap agama lainnya. Padahal sekali
lagi di dalam Undang-Undang Dasar semua warga negara sama kedudukannya.
Sekarang mari kita
lihat tudingan-tudingan kepada mereka yang dianggap keturunan Cina. Saya awali
dengan tudingan jika keturunan Cina yang menjadi pedagang akan menguasai
pereknomian di daerah tersebut sehingga menyulitkan penduduk asli untuk
berusaha. Sebenarnya hal ini tidaklah benar. Justru sejarah menjelaskan bahwa yang
membuat banyaknya orang keturunan Cina menjadi pedagang disebabkan perlakukan
diskriminasi terhadap mereka terutama di zaman Orde Baru. Pada zaman itu mereka
yang keturunan Cina dilarang untuk menjadi pegawai negeri sipil, anggota
kepolisian dan juga tentara. Padahal mereka sama dengan kita yang sah sebagai
warga negara. Bahkan di zaman itu juga mereka kerap dipaksa untuk mengganti
nama Cina mereka agar terdengar lebih pribumi. Jadi karena kebijakan
diskriminasi ini, maka mereka yang keturunan Cina kebanyakan menjadi pedagang. Justru
hal ini harusnya membuat kita meminta maaf kepada mereka terkhusus para
antek-antek Orde Baru yang telah menganaktirikan sesama anak bangsa. Mereka para
keturunan Cina ini ulet, teliti, dan bekerja keras sehingga akhirnya berhasil. Jika
ada ketakutan mereka akan memonopoli perdagangan di sebuah daerah, hal ini
tidak lebih dari sebuah ketakutan yang tidak berdasar. Karena faktanya justur dari
pihak pribumi yang melakukan tindakan diskriminasi kepada mereka.
Tudingan selanjutnya
adalah mereka dianggap melakukan pengkhianatan terhadap Indonesia di zaman penjajahan
Belanda. Jadi harus kita pahami terlebih dahulu jika sebelum adanya sumpah
pemuda 1928 maupaun proklamasi 1945, secara institusi kenegaraaan Indonesia
belumlah ada. Jadi ketika itu di nusantara setiap orang punya kepentingan
masing-masing di dalam membela haknya. Jika kita menganggap semua yang menjadi
sekutu Belanda pada zaman itu adalah pengkhianat, maka bukan hanya dari
kalangan keturunan Cina yang diberikan label seperti itu. Kita bisa melihat sejaraha
bagaimana di perang Makassar antara Kerajaan Gowa-Tallo yang berperang melawan VOC
(kongsi dagang Belanda) ternyata bersekutu dengan pihak Kerajaan Bone. Dan seperti
yang kita ketahui Kerajaan Bone adalah kerajaan asli nusantara. Apakah pilihan Kerajaan
Bone bersekutu dengan VOC ketika itu dapat dikategorikan sebagai pengkhianatan
di zaman yang Indonesia secara institusi kenegaraan belum ada.
Belum lagi sejarah
mengajarkan jika beberapa peperangan diantara beberapa kerajaan di nusantara
selalau ada friksi yang dipelopori oleh VOC dengan “devide et impera” atau
politik adu domba. Apakah kita mau menyebut jika mereka berkhianat padahal Indonesia
belum diproklamirkan. Bukankah ketika itu baik antar kerajaan maupun antar
kelompok saling berebut pengaruh untuk menguasai nusantara dan salah satu
caranya adalah dengan bersekutu dengan sekutu kuat seperti VOC. Kesimpulan pemberian
label pengkhianat kepada warga keturunan Cina hanya dikarenakan kesimpulan
sejarah yang bersifat prematur membuat kita akan terjebak di kebencian rasial
yang akut. Bukankah banyak juga para anak bangsa keturunan Cina yang
berkontribusi banyak terhadap bangsa ini baik di masa lalu maupun masa sekarang.
Apakah ada yang meragukan kontribusi Liem Koen Hian sebagai anggota BPUPK yang
berperan di dalam merumuskan dasar negara ini. Dan di masa sekarang kita bisa
lihat kontribusi keturunan Cina di bidang olahraga terutama bulutangkis.
Prestasi mereka mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Apakah hal
itu tidak menjadi semacam pertimbangan untuk menghilangkan kebencian rasial
terhadap sesama anak bangsa.
Mereka para keturunan Cina
juga dianggap memiliki kehidupan yang ekslusif seperti membuat pagar yang
sangat tinggi di rumahnya. Hal ini memang banyak kita lihat di beberapa kota
besar di Indonesia. Banyak dari mereka yang punya rumah dan umumnya diberi
pagar tinggi sehingga kesannya sangat ekslusif. Hal ini menurut saya wajar karena
memang di beberapa kota besar tingkat kriminalitasnya tinggi. Jadi alasan di
balik pagar yang tinggi menjulang bukan disebabkan karena ekslusfinya mereka,
tetapi ini lebih pada persoalan keamanan. Apakah mereka yang menganggap dirinya
pribumi mau menjaga rumah warga keturunan Cina ini jika ada yang bermaksud
melakukan pencurian. Lagian juga rumah dengan pagar tinggi bukan hanya dibuat
oleh mereka yang keturunan Cina, mereka yang disebut pribumi pun banyak yang
memiliki rumah seperti itu. Dan mengapa hanya keturunan Cina yang dipersoalkan.
Saya melihat dipersoalan ini banyak yang terjebak di kesalahan berpikir “argumentum
ad hominem”. Jadi yang dikritik sebenarnya bukanlah rumah yang memiliki pagar
tinggi karena pribumi pun melakukannya. Hal yang dipersoalkan adalah karena
mereka keturunan Cina. Yang dilihat bukan objek tetapi subjeknya itu sendiri.
Untuk tuduhan warga
keturunan Cina sebagai pemasok narkoba dan pembuat barang tiruan adalah kesimpulan
yang sangat ceroboh. Saya menganggap demikian karena pemasok narkoba bukan
hanya mereka keturunan Cina. Bisa juga mereka yang keturunan Arab maupun
pribumi. Kejahatan dapat dilakukan bukan berdasarkan kecenderungan rasial
seseorang karena tidak ada fakta yang menyebutkan itu. Tindakan kejahatan dapat
dilakukan oleh semua kalangan dan bukan hanya mereka yang keturunan Cina. Jika kita
melihat ada seorang keturunan Cina melakukan tindakan kejahatan, maka kita
tidak boleh serta merta mengambil kesimpulan semua warga keturunan Cina adalah penjahat.
Selain kesimpulan seperti itu terjebak pada kesalahan berpikir “fallacy of
dramatic instance”, hal ini juga akan membuat kita dengan mudahnya menyalahkan sekelompok
orang padahal yang melakukannya hanyalah segelintir.
Jadi sudah sepatutunya
jika kita berlaku adil dan memahami bahwa keturunan Cina juga adalah warga Negara
Indonesia yang memiliki hak serta kewajiban yang sama dengan warga Indonesia lainnya.
Mari kita hentikan kebencian terhadap suatu golongan baik itu sentimen ras
maupun agama karena kita sesama anak bangsa harusnya memberikan kontribusi
positif terhadap bangsa ini. Bukan malahan kembali mengungkit-ungkti kebencian
rasial karena hal itu hanya akan membuat ancaman desintegrasi bangsa semakin
besar.
Comments
Post a Comment