Suatu saat saya punya
kepentingan bisnis di Jalan Pahlawan, Kota Makassar. Terus terang ini adalah
pertama kalinya saya berkunjung di daerah itu. Pernah beberapa tahun yang lalu,
saya berkunjung di Rumah Sakit Sayang Rakyat yang ternyata tembus dengan Jalan
Pahlawan ini. Di awal pembicaraan dengan rekan bisnis, saya mencoba bertanya perihal
nama kampung atau kelurahan di daerah ini. Spontan rekan bisnis saya yang
seorang ibu itu menjawab bahwa daerah ini disebut Bulurokeng. Dan ditambahkan
lagi bahwa yang disebut asli kampung Bulurokeng itu di daerah sekitar sini.
Di tengah selingan
pembicaraan, saya sekadar bercanda dengan mengatakan ada tidak kaitan antara
Bulurokeng dan Bayaorokeng karena sama-sama memiliki kata “rokeng”. Dan menurut
ibu itu, ya memang benar bahwa kata “rokeng” di belakang kedua istilah ini
memang memiliki arti yang sama yang berarti “tidak jadi”.
Jika kita kembali ke
arti kata Bayaorokeng dapat diartikan sebagai telur yang tidak jadi menetas. Sedangkan
untuk Bulurokeng menunjukkan arti sebagai gunung yang tidak jadi. Saya kembali
bertanya, apakah arti gunung tidak jadi adalah arti denotatif ataukah itu
bermakna konotasi. Menurut ibu itu, makna yang dimaksud adalah makna denotatif
atau makna sesungguhnya dan bukanlah makna konotasi atau kiasan.
Cerita awal Bulurokeng
sendiri menurut penuturannya bermula dari kawasan yang sekarang menjadi Villa
Mutiara hingga ke Jalan Pahlawan dan sekitarnya. Dahulu daerah itu adalah
daerah yang tinggi menyerupai bukit sehingga dapat pula dikategorikan sebagai
gunung (bulu). Bekas-bekas daerah tinggi itu masih dapat kita jumpai di tengah
pembangunan Villa Mutiara yang mengikis gundukan tanah tinggi menjadi dataran
yang luas. Sehingga sebenarnya dapat dikategorikan jika awal daerah yang tinggi
itu adalah daerah yang gagal menjadi gunung dikarenakan hanya menjadi
bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi. Sehingga awal mula kata Bulurokeng
berasal dari sini.
Sekarang Bulurokeng telah
menjadi sebuah Kelurahan di dalam lingkup Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar.
Daerah ini melingkupi sebagian daerah di sekitar Jalan Pahlawan dan Villa
Mutiara termasuk di seberang jalan tol ke arah timur di sekitar Jalan Batara
Bira Baddoka hingga ke Puskesmas Bulurokeng di Jalan Ir. Sutami. Terkhusus di
Jalan Pahlawan rumah rekan bisnis saya, kawasan ini tembus ke Jalan Daengta
Qalia dan Jalan Salodong.
Mungkin untuk di Jalan
Daengta Qalia itu sendiri punya sejarah mengapa diberi nama seperti itu. Apakah
Daengta Qalia adalah nama seseorang yang berjasa untuk kawasan tersebut ataukah
bagaimana. Sama juga dengan penamaan Salodong, apakah kata itu berasal dari
nama seseorang ataukah itu memang menunjukkan suatu kampung yang tentunya punya
sejarah awal penamaan.
Sebenarnya di Kota
Makassar sendiri, banyak nama kampung, kelurahan, kecamatan, ataupun nama jalan
yang punya sejarah tersendiri mengapa daerah tersebut diberikan nama seperti
itu. Kita mungkin pernah dengan kata Kelurahan Tamamaung. Menurut sebagian
cerita orang tua disana kata “Tamamaung” berasal dari kata “Tamabangung” yang
berarti tidak jadi membangun yang bersumber dari cerita dahulu ada bangunan
yang hendak dibangun tetapi tidak jadi dibangun. Atau tentang asal kata kelurahan
“Antang” yang menurut sebagian kalangan berasal dari kata “I Lomo ri Antang”. Walaupun
nama itu berarti seseorang yang bersembunyi di Antang, tetapi beliau adalah seseorang
yang berpengaruh di daerah itu bahkan memiliki makam. Makamnya dapat kita
temukan di pertigaan Jalan Antang Raya dengan Jalan Ujung Bori.
Kita juga bisa melihat
adanya Kecamtan Wajo di wilayah kota Makassar. Memang tidak bisa dipungkiri
bahwa sejarah daerah tersebut berkaitan dengan banyaknya orang Wajo yang
tinggal di Makassar sebagai konsekuensi persekutuan Kerajaan Gowa-Tallo dengan Kerajaan
Wajo pada saat perang Makassar melawan VOC dengan sekutunya. Sehingga diabadikannya
menjadi salah satu nama kecamatan di kota Makassar merupakan simbol ucapan
terima kasih kepada sekutu Bugisnya itu karena telah mempersembahkan ribuan
prajurit yang membantu Kerajaan Gowa-Tallo dalam menghadapi VOC dan sekutunya. Walaupun
Kerajaan Wajo adalah Bugis dan Kerajaan Gowa-Tallo sendiri adalah Makassar dan
menghadapi VOC yang bersekutu dengan Kerajaan Bone sebagai Kerajaan Bugis pula,
tetapi kesetian orang-orang Wajo di dalam membela sekutunya akan selamanya dikenang
oleh orang-orang Makassar. Mungkin masih banyak daerah di Makassar yang
memiliki sejarah terkait penamaannya. Dan semoga ke depannya dapat dibuat
artikel yang menjelaskan sejarah penamaan daerah tersebut.
Ada sebagian orang yang
tidak terlalu sepakat dengan pembahasan sejarah masa lalu apalagi yang
bersinggungan dengan sentimen etnis. Karena bagi mereka pembahasan seperti itu hanya
akan menimbulkan persinggungan dengan etnis lain. Selain itu bagi mereka
sekarang kita telah bernaung di sebuah negara yang bernama Indonesia sehingga
pembahasan sejarah etnis sudah tidak relevan lagi. Tetapi bagi saya pribadi,
membahas sejarah yang berkaitan dengan etnis sama pentingnya dengan pembahasan
sejarah kebangsaan maupun sejarah agama. Sejarah etnis tidak ditujukan untuk
mencela sejarah etnis lain karena hal itu terlalu naif. Sejarah pembahasan
etnis selain bermanfaat untuk kajian ilmiah, pembahasan sejarah etnis juga
sangat erat kaitannya dengan pelestarian budaya. Karena dengan tidak adanya
pembahasan seperti itu, maka dengan sendirinya generasi muda mendatang akan
kehilangan identitas budaya. Apalagi masa sekarang serangan budaya asing baik
dari tanah Arab maupun dari Barat sangat gencar. Sehingga adalah hal yang urgen
jika dilakukan pembahasan sejarah etnis. Jangan sampai kebudayaan itu hilang
bermula dari sudah tidak pedulinya generasi muda terhadap budaya mereka sendiri.
Ah, serangan budaya arab ? Duh konotasinya kok negatif ? Kenapa bukan serangan bufaya K Pop misalnya ? Budaya arab mana yang mengancam kelestarian budaya kita (Makassar)?
ReplyDelete