MEWASPADAI BAHAYA LATEN ORDE BARU



Jika ada yang berkata ingin kembali ke masa orde baru sebagai masa pemerintahan yang terbaik di Indonesia, maka hal itu perlu dikaji ulang. Pernyataan inupun didukung oleh pendapat dari Hutomo Mandala Putra (HMP) sebagai putera dari Soeharto yang berkata bahwa orde baru lebih baik daripada pemerintahan Jokowi. Orde baru yang didirikan pasca peristiwa G30S, adalah sebuah rezim usang yang memerintah lama di Indonesia dan coba untuk dibangkitkan kembali oleh para pemujanya. Rezim yang didirikan dengan sejarah hitam penggulingan Presiden Soekarno ini tercatat sebagai rezim yang banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manudia (HAM). 

Jika ada yang berteriak “stop kriminalisasi” ulama tetapi anehnya mereka adalah pihak yang merindukan kehadiran orde baru, maka mereka adalah pihak yang buta akan sejarah. Mereka seharusnya belajar bagaimana orde baru jauh sebelumnya justru telah melakukan itu. Setiap kritik terhadap pemerintahanan maka akan dijawab dengan tindakan represif aparat. Ada beberapa daerah yang mengalami tindakan represif ini, diantaranya:

1.      Di Kalimantan Selatan ada tokoh yang bernama Syafriansyah alias Ki Amang dan Jamhari Arsyad. Keduanya adalah pegawai di Departemen Agama di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Jamhari Arsyad merupakan kader Idham Chalid yang juga merupakan tokoh PPP, sehingga adalah wajar jika ia tidak mau menerima ajakan untuk memilih golkar. Setelah pemilu, malapetaka pun terjadi. Ki Amang dipecat dari jabatannya sebagai pegawai di Departemen Agama sementara Jamhari Arsyad dimutasi di Kabupaten Barito Kuala yang merupakan daerah terisolir pada masa orde baru;

2.      Pada akhir 1960, Abdullah Sunkar dan Abu Bakar Baasyir mendirikan radio yang mempromosikan reformasi islam di Kota Solo. Orde baru berpandangan jika kedua tokoh ini terlalu keras dalam mengkritik orde baru. Bahkan pada tahun 1970 radio Dakwah Islamiyah yang mereka dirikan ditutup secara sewenang-wenang oleh militer. Keduanya pun ditangkap dan dipenjara oleh pemerintahan orde baru. Setelah bebas kedua tokoh ini pun pergi ke Malaysia;

3.      Kiai Sarmin dari Banten juga menerima tindakan kekerasan karena sering memberikan ceramah yang menolak atau menganjurkan untuk tidak ikut program pemerintah seperti program Keluarga Berencana (KB). Ia menggunakan dalil-dalil agama untuk menolak program tersebut dan itu sebenarnya dilindungi undang-undang. Namun hal itu dianggap sebagai perlawanan oleh orde baru;

4.      Abuya Damayanti adalah seorang pengasuh pondok pesantren di Cidahu Pandeglang. Pada tahun 1977 menjelang pemilu ia berkata ke Kepala Desa agar warga tidak digiring untuk memilih salah satu partai karena pada saat itu Kepala Desa mencoba memobilisasi warga desa untuk memilih golkar. Kepala Desa mengatakan bahwa gokar itu adalah pemerintah sehingga dengan begitu diharapkan masyarakat awam Jawa Barat yang tidak sekolah pada saat itu memilih golkar. Tetapi ajakan ini ditentang oleh Abuya Damayanti dan olehnya dibalas dengan perkataan “pemerintah itu RI dan bukan golkar”. Menjelang pemilu 1977 situasi pun memanas dan pada 14 Maret 1977 Abuya ditangkap. Dia divonis bersalah dan dihukum 6 bulan penjara;

5.      Salah satu peristiwa pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan di masa orde baru adalah peristiwa Tanjung Priok. Menurut laporan Kontras, peristiwa Tanjung Priok bermula dari tindakan Sersan Hermanu, anggota Bintara Pembina Besa (babinsa) Koja, di Mushallah Assa’adah. Pada 7 September 1984 ia menyerukan agar poster bergambar yang berisi kecaman kepada pemerintah dicopot pada dinding mushallah. Keesokan harinya sang babinsa ini datang lagi bersama seorang kawannya dengan tujuan yang sama yaitu mencoba melepas poster tersebut. Dikarenakan tidak terlepas, maka ia menggunakan air comberan untuk menutupi poster itu.

Pada tanggal 10 September 1984 babinsa ini dipertemukan dengan ketua RW dan beberapa warga. Di hadapan warga, Hermanu yang dimintai untuk menyampaikan permohonan maaf enggan melakukannya karena menurut dia itu adalah bagian dari tugasnya. Ketika pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba seseorang muncul dan berkata “bunuh saja, kalau tidak dapat orangnya, bakar saja motornya”. Ketika sepeda motor diarak dan hendak dibakar, orang yang meneriakkan hal itu justru menghilang dan hingga kini tidak diketahui siapa orangnya. Karena peristiwa ini, beberapa warga ditangkap dan ditahan di markas kodim 050231. Mereka yang ditangkap adalah M. Noor, Syarifuddin Rambe, Syafwan Sulaeman, dan Ahmad Sahi. 

Merespon penangkapan ini, warga pun menuntut pembebasan mereka melalui Amir Biki. Pada tanggal 12 September 1984 pukul 10.00 WIB, Amir Biki mendatangi Laksuda Jaya untuk menemui Mayjen Try Soetrisno guna membicarakan asas tunggal Pancasila dan kondisi Tanjung Priok. Malamnya pada pukul 20.00 WIB diadakan pengajian di Jalan Sindang dan Amir Biki pun hadir. Ia pun memberikan ultimatum kepada aparat agar melepaskan empat jamaah yang ditahan dan dikembalikan sebelum pukul 23.00 WIB. Amir Biki juga sempat menghubungi lewat telepon ke pihak kodim 050231 untuk menyampaikan tuntutannya, dan jika tidak massa akan mendatangi kodim.

Karena hingga waktu yang ditentukan keempat warga tersebut tidak dibebaskan, maka massa pun bergerak ke makodim 050231. Massa dibagi menjadi dua, ada yang menuju ke kodim dan massa yang sebagiannya lagi mendatangi Polsek Koja. Dan akhirnya terjadilah bentrok yang tidak seimbang antara massa dengan aparat yang bersenjatakan lengkap. 

Jumlah korban yang tewas pun lalu beragam. Menurut keterangan pemerintah melalui panglima ABRI Jenderal L B Moerdani menyebut hanya 18 orang tewas dan 53 luka-luka. Menurut Komnas HAM ada 24 orang yang tewas dan 55 orang yang terluka. Sedangkan menurut SONTAK (Solidaritas Nasional Untuk Peristiwa Tanjung Priok) ada sebanyak 400 orang yang tewas dan itu belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Diantara yang tewas terdapat juga Amir Biki. Pasca peristiwa ini, ada banyak tokoh yang ditangkap karena dituduh terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok diantaranya A M Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, dan Abdul Qodir Jaelani.

Selain tindakan represif yang dilakukan oleh orde baru dalam hal ini soeharto, tindakan seperti itu juga dilakukan oleh puteranya yaitu Hutomo Mandala Putra (HMP). Pria yang saat ini mendirikan partai berkarya dan akan ikut dalam pemilu 2019 pernah divonis oleh Mahkamah Agung (MA) selama 18 bulan kurungan badan dan denda 30,6 milyar atas kasus tukar guling antara PT. Goro Batara Sakti dan Bulog bersama Ricardo Galael. Tidak terima dengan putusan MA, HMP memili kabur dan menyewa pembunh bayaran untuk mengahibis nyawa Syafiuddin Kartasasmita yang ketika itu adalah hakim MA. Guna memburu HMP, maka kepolisian membantuk tim cobra yang ketika itu diketuai oleh Tito Karnavian yang sekarang menjadi Kapolri. Setelah melakukan pengejaran, HMP akhirnya ditangkap di daerah Bintaro. HMP akhirnya divonis hukuman penjara selama 15 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. HMP mengajukan Peninjauan Kembali dan oleh Bagir Manan yang ketika itu menjabat sebagai MA, akhirnya hukuman HMP diringankan menjadi hanya 10 tahun walaupun fakta persidangan membuktikan bahwa HMP terbutki menyimpan senjata api dan bahan peledak, terlibat pembunuhan Syaifuddin Kartasasmita, dan melarikan diri saat ditahan.

Maka akan sangat menggelikan jika ada yang saat ini rindu akan keadaan seperti di zaman orde baru. Zaman dimana ulama yang kritis terhadap pemerintahan akan dipenjara. Zaman dimana hak untuk berpendapat sangat dikekang bahkan adakalanya akan ditebus dengan nyawa sekalipun. Ini mungkin tidak disadari oleh mereka yang termakan oleh propaganda neo orde baru ini. Dalam kajian kesalahan berpikir, mereka adalah kaum paralogisme yang terhegemoni sebuah propaganda tertentu yang disebarkan oleh para kaum shopis dalam hal ini para politikus yang jelas berafiliasi dengan gerakan cendana.

Dan jelas pemikiran seperti ini justru dijadikan momen oleh HMP untuk menaikkan pamornya. Dengan berbagai propaganda “piye kabare, enakan jamanku toh”, HMP berusaha untuk meraih simpati sebagai penerus klan cendana. Orang mungkin akan lupa bahwa HMP adalah seorang koruptor sekaligus sebagai pembunuh karena tertutupi kisah ayahnya yang dijuluki sebagai bapak “pembangunan” Indonesia. 

Marilah kita coba membayangkan jika seorang koruptor dan pembunuh menjadi pemimpin negeri ini, maka masa gelap orde baru akan terulang. Dan inilah yang harus kita waspadai, “bahaya laten orde baru”. Bahaya yang tersembunyi dan tidak kalah berbahayanya dengan PKI ini berusaha untuk dibangkitkan kembali oleh para pemujanya. Dan jelas yang disasar oleh mereka adalah mereka yang tidak paham akan sejarah kekejaman orde baru baik yang tidak paham karena belum lahir pada saat itu maupun mereka yang tidak paham karena tidak memiliki minat literasi untuk mencari tahu tentang bahaya laten orde baru.



Comments