Menampilkan berita
tentang Suriah adalah bentuk kepedulian kita terhadap mereka di sana.
Kepedulian yang saya maksud bukan berarti ikut terjun langsung di konflik
tersebut. Kepedulian yang saya maksud lebih pada penambahan wawasan dari
kompleksnya perang tersebut. Sehingga kita bisa melihat berbagai dimensi dan
sudut pandang, bukan hanya dari satu sudut pandang saja. Hal ini dilakukan agar
kita paham dan dapat mencegah konflik serupa terjadi di Indonesia karena ada
arus yang sepertinya hendak menjadikan Indonesia sebagai Suriah selanjutnya.
Jadi seperti ini yang
terjadi. Akhir-akhir ini lagi gencar dilakukan pemberitaan terkait konflik
Suriah terkhusus yang sedang terjadi di daerah Ghouta Timur. Banyak yang
mewartakan baik dari media sosial maupun beberapa media mainstream di tanah air
tentang kondisi sulit di daerah tersebut. Perang antara tentara Suriah yang
merupakan loyalis Presiden Assad berserta sekutunya melawan para pemberontak
yang didukung oleh AS, Turki, dan Arab Saudi. Kebanyakan dari berita yang
diwartakan menyebutkan bahwa tentara Suriah dan sekutunya menggunakan gas kimia
untuk menyerang warga sipil di Ghouta Timur.
Narasi ini seperti
bernostalgia tentang pertempuran di Aleppo Timur antara tentara Suriah dengan para
pemberontak yang ditandai dengan kemenangan di pihak tentara Suriah. Perang di
Aleppo Timur yang disebut oleh banyak media mainstream dilakukan oleh tentara
Suriah dengan banyak menyerang dan menewaskan warga sipil. Bahkan banyak yang
mencoba mengumpulkan donasi dengan dalih membantu warga sipil yang menjadi
korban perang. Dan pasca perang tersbut terbukti bahwa narasi di perang Aleppo
Timur banyak yang tidak sesuai dengan fakta. Ada beberapa temuan yang di dapat
pasca pembebasan Aleppo Timur oleh tentara pemerintah diantaranya:
1.
Serangan kimia yang dituduhkan kepada
tentara Suriah hingga kini tidak terbukti dan hanya menjadi bualan media
mainstream semata;
2.
Banyak foto yang disebut sebagai korban
kekejaman tentara Suriah ternyata bohong karena terbutki bahwa foto-foto
tersebut merupakan foto yang kejadiannya di tempat lain seperti di Irak,
Afghanistan, Libya, maupun di tempat lainnya;
3.
Beberapa sekolah yang oleh para
pemberontak dijadikan sebagai markasnya, pasca pembebasan Aleppo Timur
diketahui banyak menyimpan bantuan dari masyarakat asing termasuk bantuan dari
Indonesia. Padahal tujuan awal dari bantuan itu adalah digunakan untuk
masyarakat sipil Suriah yang menjadi korban terbesar dari perang ini. Hal ini
justru menguak fakta baru bahwa bantuan yang dikumpulkan di dari berbagai
penjuru dunia ini dan beberapa daerah di Indonesia justru bukan ditujukan
kepada rakyat sipil melainkan ditujukan kepada pemberontak;
4.
Banyak dari warga Aleppo Timur yang
justru merayakan pembebasan kota mereka dari tangan pemberontak. Bahkan ketika
natal, mereka merayakannya dengan gembira tanpa rasa takut lagi seperti saat
daerah ini masih dikuasai oleh para pemberontak.
5.
Narasi pembelaan terhadap Aleppo Barat
yang dikuasai oleh pemerintah Suriah justru tidak mendapat perhatian dari media
mainstream ketimbang perang pembebasan Aleppo Timur. Padahal wilayah di Aleppo
Barat pun merupakan korban dari perang Suriah. Jelas bahwa pembelaan mereka
terhadap Aleppo Timur bukan ditujukan kepada rakyat sipil, tetapi ditujukan
untuk perlindungan terhadap posisi permberontak yang kian melemah dan terdesak
sehingga dengan adanya tekanan internasional diharapkan serangan tentara Suriah
dapat dihentikan;
6.
Adalah hal yang tidak masuk akal ketika
tentara Suriah menyerang rakyat sipil bahkan menggunakan senjata kimia di saat
posisi mereka sedang naik daun. Hal yang mungkin justru dilakukan adalah para
pemberontak yang perlahan kehilangan posisi di Aleppo Timur melakukan itu untuk
meminta simpati internasional guna mengamankan posisi mereka yang kian
terdesak.
Dan fakta-fakta ini
seharusnya menjadi dasar kita untuk kembali melihat perang di Ghouta Timur lebih
objektif. Seperti yang kita ketahui, posisi Ghouta Timur untuk saat ini hampir
sama dengan posisi Aleppo Timur menjelang pembebasannya. Ghouta Timur adalah
daerah yang kini masih dkuasai oleh pemberontak dukungan AS, Turki, dan Arab
Saudi tetapi perlahan-lahan daerah mereka menyusut menysul kemajuan tentara
Suriah beserta sekutunya. Keadaan mendesak seperti ini menyebabkan mereka harus
melakukan propaganda busuk demi meraih simpati internasional guna menghentikan
serangan tentara Suriah ke posisi-posisi mereka.
Penggalangan dana pun
marak dilakukan karena mereka sudah kekurangan bantuan dan parahnya itu banyak
terjadi di Indonesia. Penggalangan dana ini juga demi meraih simpati publik
akan disertai dengan gambar-gambar palsu yang banyak diambil di tempat lain dan
diberikan narasi bahwa ini adalah korban kekejaman Presiden Bashar Al Assad.
Walaupun hingga saat ini bahkan Amerika Serikat pun sendiri mengakui bahwa
mereka tidak mempunyai bukti yang kuat tentang keterlibatan tentara Suriah dan
sekutunya dalam tragedi senjata kimia di Ghouta Timur.
Jika kita mau jujur dan
mau melihat secara luas konflik Suriah, maka kita harus memperhatikan beberapa
hal, diantaranya:
1.
Apa keuntungan yang didapat oleh Assad
dan sekutunya jika dalam perang di Ghouta Timur justru membunuh warga sipil.
Bukankah Assad dan sekutunya berada di atas angin dalam perang ini sedangkan
posisi pemberotnak semakin lemah;
2.
Jika para pemberontak ini adalah
benar-benar mujahidin, mengapa tidak terlebih dahulu menyerang Israel yang
sangat dekat dengan Suriah. Posisi mereka yang berdekatan dengan Dataran Tinggi
Golan (daerah Suriah yang dicaplok Israel) justru menjadi awal yang baik untuk
melakukan penyerangan itu. Maka tidak heran jika ada pertanyaan seperti ini, mengapa
para pemberontak ini justru lebih doyan memerangi Assad ketimbang memerangi
Netanyahu. Apakah Netanyahu yang jelas-jelas membantai rakyat Palestina dan mencaplok
tanah warga Palestina lebih baik daripada Assad yang jelas-jelas membantu
rakyat Palestina. Sepertinya pemberontak ini menjadikan Netanyahu sebagai tuan
dalam memerangi Suriah karena sama-sama merupakan musuh Presiden Assad;
3.
Kebanyakan para pemberontak ini adalah
imigran ilegal. Mereka berasal dari beberapa negara Timur Tengah, Eropa,
Kaukasus Utara, termasuk ada juga yang datang dari Indonesia. Logika sederhanya
seperti ini, jika perang ini diinginkan oleh rakyat Suriah, mengapa kebanyakan
pemberontak adalah warga asing. Jika benar Presiden Assad sudah tidak didukung
oleh rakyatnya, mengapa ia masih tegar berdiri sebagai presiden walaupun
diserang oleh pemberontak dari berbagai Negara. Ingat bagaimana Ben Ali di
Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, dan Saddam Husein di Irak akan kalah ketika
tidak mendapat dukungan dari rakyatnya sendiri;
4.
Suriah adalah satu-satunya negara Arab
yang berperang langung dengan Israel yang hingga saat ini tidak melakukan
perjanjian damai. Bahkan daerahnya menjadi tuan rumah yang baik sekaligus
terbesar bagi para pengungsi Palestina di Kamp Yarmouk;
5.
Apa sebenarnya tuntutan pemberontak ini
terhadap Assad. Jika menuntut demokrasi, seharusnya mereka ikut mendaftar
ketika dilakukan pemilu presiden. Namun nyatanya mereka tidak mendaftarkan diri
untuk ikut bertarung dan hasilnya Assad
memenangkan pemilu dengan dukungan diatas 80% suara. Dukungan yang sangat
banyak ini bahkan mengalahkan dukungan sebuah pemilihan umum di berbagai negara
Eropa;
6.
Negara-negara pro pemberontak seperti
Israel, AS, Turki dan Arab Saudi justru merekalah yang melakukan genosida dan
kejahatan perang di tempat lain. Israel melakukannya di Palestina, AS
melakukannya di Afghanistan dan Irak, Turki melakukannya di Afrin (daerah utara
Suriah), dan Saudi melakukannya di Yaman.
Narasi tragedi di
Ghouta Timur memang penuh kebohongan dan rekayasa. Mereka yang pro pemberontak
justru terdiam ketika Turki menyerang Afrin. Apakah pro Turki ini tidak
memahami bahwa Afrin adalah sebuah daerah yang masih menjadi teritorial Suriah.
Bukankah memasuki sebuah daerah di negara lain tanpa izin dari pemerintahan sah
negara tersebut adalah tindakan yang salah dan melanggar hokum internasional.
Walaupun dengan alasan memburu teroris dan menjaga keamanan perbatasan. Hak
pemerintah Turki tidak ada di situ. Itu belum termasuk dengan korban kekejaman
tentara Turki yang banyak membunuh warga Afrin yang dicurigai sebagai tentara
pembebasan Kurdi.
Dan setali tiga uang. Apa
yang dilakukan oleh Arab Saudi terhadap Yaman bahkan lebih parah lagi. Peperangan
dan blokade yang telah memasuki tahun ke 3 ini terjadi di tengah bungkamnya masyarakat
internasional terhadap kekejaman Arab Saudi dan para sekutunya dalam
membombardir Yaman. Kita bahkan tidak menemukan adanya pengumpulan donasi untuk
korban perang di Yaman. Media mainstream pun tidak seheboh memberitakan
kekejaman ini. Apakah para korban ini bukan orang islam seperti yang sering
digelorakan oleh mereka pencari donasi sehingga tidak ada kepedulian untuk
mereka padahal mereka dalam keadaan kekurangan pangan akibat serangan dan
blokade Arab Saudi. Apakah orang Yaman itu bukan orang Arab sehingga mereka
yang kearab-araban tidak peduli bahkan membenarkan tindakan Arab Saudi ini.
Apakah mereka yang di Yaman ini bukanlah salah satu jenis manusia sehingga
layak untuk diperangi, diracuni, hingga diblokade dan tidak mendapatkan
pemberitaan yang layak. Dan para pengagum Raja Salman pun terdiam melihat fakta
ini.
Perang di Timur Tengah terkhusus
di Suriah sesungguhnya jika kita melihat fakta di atas tidak lebih dari perang
memperebutkan kekuasaan. Perang proxy antara Iran dan Arab Saudi. Perang proxy
antara Rusia dan Amerika Serikat. Perang ekonomi dan gas antara blok Suriah dan
sekutunya melawan blok Turki dan sekutunya. Perang yang sesungguhnya
dimanfaatkan oleh Israel dalam melemahkan gerakan perlawanan yang memang kontra
dengan mereka. Ketakutan Israel sebenarnya bukan pada banyaknya orang islam dan
Arab di Timur Tengah. Tetapi ketakutan Israel lebih pada kuatnya poros
perlawanan yang akan terbentuk. Bisa dibayangkan jika kerjasama Iran, Irak, Suriah,
Lebanon, dan Yaman terjadi. Maka kesempatan untuk melawan Israel akan semakin
besar.
Comments
Post a Comment