JONRU DAN KEJAMNYA POLITIK INDONESIA

Bagi pengguna media sosial, Jonru adalah salah seorang tokoh yang begitu dikenal. Ia memiliki jutaan pengikut di akunnya bahkan postingan-postingannya sering dibagikan oleh para pengikutnya. Postingan yang dibagikannya umumnya menyerang Presiden Jokowi, baik itu bersfiat mengkritik hingga yang sudah mengarah pada fitnah.

Dalam sebuah negara demokrasi, kebebasan berpendapat adalah hal yang sangat dijamin oleh negara. Kita bisa merujuk di Pasal 28 Ayat 2 UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat. Tetapi banyak diantara kita yang tidak paham bahwa kebebasan berpendapat yang dimaksud adalah kebebasan yang tetap diatur oleh Undang-Undang. Hal inilah yang memang sepertinya kurang dipahami oleh pegiat media sosial macam Jonru Ginting. Memang betul bahwa setiap warga negara berhak untuk menyampaikan pendapatnya baik itu berupa kritikan, maupun saran dalam rangka memperbaiki kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Tetapi yang dilupakan oleh Jonru sendiri adalah bahwa banyak postingannya yang menghasut bahkan kadang memfitnah sehubungan dengan penggiringan opini publik.

Kita bisa lihat bagaimana Jonru berhasil menggiring opini masyarakat terhadap sosok Jokowi. Mulai dari isu PKI, Cina, asing dan aseng hingga puncaknya pada kegiatan 212 di tahun 2016 kemarin. Jonru Ginting beserta pahlawan lain yang terlupakan macam Buni Yani menjadi tokoh sentral yang menggiring opini masyarakat sehinga berbondong-bondong rela datang ke Jakarta. Pada saat itulah kedua tokoh ini menjadi semacam pahlawan oleh mereka yang terpanggil untuk melakukan aksi bela agama.

Tetapi kedua tokoh ini lupa bahwa keberhasilan mereka ini dalam momen 212 tidak terlepas dari trik dan permainan. Saya mengatakan trik dan permainan karena sebelum kegiatan 212 terjadi, ada banyak fitnah dan propaganda termasuk yang dilakukan oleh Jonru Ginting. Ia mungkin tidak menyadari bahwa masih ada hukum di Indonesia yang bisa menjeratnya ketika ia bersalah. Berbagai fitnah dan tuduhannya pun harus ia pertanggung jawabkan di pengadilan. Seperti yang kita ketahui pada tanggal 08 Januari 2018 lalu, Jonru mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang merupakan buah dari susah payahnya ia membangun fitnah dan kebencian di tengah masyarakat. Mulai dari hinaannya terhadap simbol negara, berita bohong yang gemar ia sebarkan, hingga sentimen negatifnya terhadap ulama sebesar Quraish Shihab ketika beliau didaulat untuk menjadi khatib shalat Idul Fitri di Masjid Istqlal, Jakarta.

Dalam dakwaannya, Jonru dikenai Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45 Ayat 2 dan/ atau Pasal 35 juncto Pasal 51 UU RI No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/ atau Pasal 4 huruf b angka 1 juncto Pasal 6 UU RI No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/ atau Pasal 156 KUHP. Di tengah persidangannya, ia yang dulu dielu-elukan bak sebagai pahlawan sekarang menjadi penyendiri yang tidak menjadi pahlawan lagi. Tidak ada pengikutnya berjumlah jutaan itu melakukan aksi bela Jonru. Tidak ada lagi kawan yang hendak memberikan bantuan hukum seperti yang ia gembar-gemborkan di salah satu acara stasiun TV swasta. Tidak ada juga seruan dari Imam Besar untuk membela sang pahlawan Jonru yang nasibnya hampir sama dengan Imam Besar sendiri dan pahlawan lainnya macam Buni Yani.

Jonru sepertinya tidak menyadari bahwa politik Indonesia itu kejam. Bahwa elit politik akan memperjuangkanmu ketika tidak ada kepentingan, itu sama saja dengan omong kosong. Realitas politik di Indonesia itu begitu pragmatis. Ibarat peribahasa, “ ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang”. Ketika kepentingan politikus sudah tercapai, maka para penggembira macam Jonru ini tidak lagi dilirik. Ia akan dilirik kembali ketika momen politik kembali muncul. Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa politkus akan melakukan apa saja untuk kepentingan politiknya. Ia tidak pernah peduli tentang apa yang dilakukannya termasuk mendompleng agama sebagai bagian dari kampanyenya. Karena baginya yang terpenting adalah kepentingan itu tercapai dan tak peduli apapun itu termasuk memanfaatkan agama.


Analisa seperti ini hanya akan dapat dipahami ketika akal difungsikan dalam beragama. Sehingga kita tidak mudah terprovokasi dengan sentimen agama untuk melakukan tindakan yang sebenarnya merugikan kita sendiri. Ingat, ketika peranan akal dihilangkan dalam beragama, maka pemahaman kita hanya akan menjadi dogma-dogma kaku yang membuat kita sangat ekslusif. Sehingga agama kelihatannya adalah sesuatu yang rapuh sekaligus menyeramkan. Rapuh karena kita merasa bahwa kita perlu membelanya padahal Allah SWT yang akan menjaga agama ini. Dan dikatakan menyeramkan karena dengan menggunakan sentimen agama, kita bisa mengancam jiwa orang lain termasuk mereka yang berbeda pilihan poltiknya.



Comments

  1. situs pokerterbaik dan terpercaya hanya di pokermulia,com dp hanya 20 rb :)

    ReplyDelete

Post a Comment