SANDIWARA ERDOGAN DI TENGAH PENDERITAAN PALESTINA


Dunia dikejutkan dengan keputusan kontroversial presiden Amerika Serikat yaitu Donald trump yang akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Al Quds (Yarussalem). Secara otomatis keputusan ini menandakan pengakuan secara resmi pemerintahan Donald Trump terhadap status Al Quds (Yarussalem) sebagai ibukota Israel. Sontak keputusan ini menuai kecaman dari berbagai pihak tidak terkecuali dari presiden Turki yaitu Recep Tayyip Erdogan. Presiden Turki ini telah lama dikenal sebagai sosok yang begitu vokal terhadap apa saja yang berhubungan dengan Palestina. Tidak dapat dipungkiri sumbangsih dia terhadap Palestina sejak memegang jabatan perdana menteri hingga menjadi presiden Turki. Walaupun sebenarnya sumbangsih yang saya lihat lebih banyak pada faktor oportunisnya dia sebagai seorang politikus. Mengapa saya berpikiran demikian? Mari kita lihat faktanya:

1.    Erdogan sejak memimpin Turki baik sebagai perdana menteri maupun sebagai presiden tidak pernah secara serius ingin “bercerai” dengan Israel yang merupakan penjajah Palestina. Memang betul, pemerintahannya pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sehubungan dengan peristiwa kapal Mavi Marmara pada 31 Mei 2010, tetapi itu tidak lebih dari sebuah tanggung jawab seorang kepala negara terhadap rakyatnya. Korban dari peristiwa ini kebanyakan dari warga Turki dan Erdogan paham konsekuensi apa yang akan terjadi jika ia tidak melakukan hal luar biasa atas peristiwa ini. Dan karena ini hanyalah sebuah peristiwa politik, setelah itu lewat negosisasi alot bak drama pemerintahan Erdogan kembali menjalin hubungan diplomatik dengan Israel disertai dengan “kekalahannya” karena permintaan pencabutan blockade gaza tidak dilakukan oleh Israel;

2.   Seharusnya waktu yang begitu panjang digunakan sebaik-baiknya oleh Erdogan dalam perjuangan melawan Israel jika memang ia serius ingin membela bangsa Palestina. Tetapi pada kenyataannya, hingga saat ini kedutaan besar Israel di Ankara dan konsulat jenderalnya di Istanbul masih dengan megah berdiri. Jika di sebuah negara memiliki perwakilan konsulat jenderal, maka dipastikan bahwa hubungan kedua negara begitu dekat. Dan ternyata ini terjadi pada hubungana Turki dan Israel. Apakah dapat diterima oleh akal sehat jika kita merasa sebagai pelindung Palestina tetapi di tempat lain kita juga sebagai teman penjajah Palestina. Terjadi kontradiksi internal dan para pemuja Erdogan tidak akan pernah paham akan logika seperti ini karena hal ini telah dibungkus dengan bius khilafah muslim;


3. Erdogan yang begitu dielu-elukan sebagai pemimpin dunia muslim dengan perjuangannya memasukkan beberapa aturan islam dalam konstitusi Turki, ternyata masih terkalahkan oleh para pemimpin negara mayoritas islam lainnya yang sekuler dan dicap sesat. Kita bisa lihat presiden Suriah yaitu Bashar Al Assad yang sekuler sosialis bahkan rela membuka kantor perwakilan Hamas di Damaskus, Suriah ketika saat negara-negara arab lainnya tidak berani melakukan itu hingga Hamas melakukan blunder dengan berafiliasi kepada para pemberontak Suriah. Selain memiliki kantor perwakilan Hamas, Bashar Al Assad termasuk sejak era kepemimpinan ayahnya yaitu Hafiz Al Assad tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel bahkan tercatat ikut memerangi negara ilegal ini ketika awal dideklarasikan bersama Yordania, Mesir, dan Irak. Selain itu pemerintah Suriah adalah penampung terbesar pengungsi Palestina dan memberikan hak-hak mereka seperti warga suriah pada umumnya. Pemimpin yang dicap kafir ini ternyata lebih peduli terhadap perjuangan Palestina dengan tindakan nyata tanpa menabur benih sandiwara-sandiwara di media seperti yang dilakukan oleh seorang Erdogan;

4.  Erdogan tidak pernah serius ingin berkonfrontasi dengan Israel. Tidak seperti Suriah maupun Hizbullah Lebanon yang terlibat peperangan secara langsung, Erdogan lebih memilih bermain dua kaki. Satu kaki demi menjaga marwahnya sebagai “pemimpin” dunia muslim yang dielu-elukan bak seorang khalifah, di sisi lain tetap menjaga hubungan baiknya dengan barat termasuk dengan Israel dan NATO. Dan tentu saja bergabungnya Turki dengan NATO membuatnya tersandera oleh kepentingan oportunis dan lebih bermain aman dengan melakukan pijakan dua kaki. Coba bandingkan dengan Negara syiah seperti Iran yang dianggap sesat oleh sebagian orang, malah dengan berani memutuskan hubungan diplomatic dengan Israel pasca Revolusi 1979. Dan hal inilah sebenarnya yang membuat Turki di bawah pemerintahan Erdogan tidak akan melakukan konfrontasi langsung dengan rezim Israel walaupun kegentingan telah terjadi. Ia lebih suka menghabiskan jutaan dollar untuk melatih militan FSA demi memuluskan ambisinya menjatuhkan Bashar Al Assad yang nota bane lebih peduli terhadap perjuangan rakyat Palestina.


Itulah sekelumit kenyataan bahwa koar-koar Erdogan di media tentang kepedulainnya terhadap Palestina tidak lebih dari tindakan oportunis demi kepentingan politiknya di Turki. Saya baru akan percaya dengan semua perkataan tentang kepeduliannya terhadap palestina ketika ia berani memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel selama itu dikatikan dengan isu Palestina. Karena selama ini yang terjadi Erdogan malah kalah dengan presiden sekuler macam Bashar Al Assad yang dituduh pembantai rakyatnya sendiri, pemimpin-pemimpin syiah Iran, pemimpin komunis Korea Utara, dan pemimpin organisasi militan seperti Hizbullah dalam membela rakyat Palestina. Jadi masihkah kita percaya dengan bualan Erdogan di media-media?



Comments